Di sebuah yang altar itu tampak begitu indah bernuansa putih dengan hiasan kelopak bunga berwarna pastel yang menambah kesan romantis, Nathanael William Rudolf berdiri menunggu calon pengantinnya yaitu Clara. Dia terlihat begitu tampan dan berwibawa dalam balutan setelan tuxedo berwarna hitam dengan bagian dalam kemeja putih serta rompi berwarna gold sementara dasi berwarna sepadan dengan rompi, serta menyisir rambutnya dengan style pompade.
Nathan terus memerhatikan altar, mengamati dengan cermat tempat di mana dia akan mengucap janji sucinya bersama Clara. Puluhan lampu hias bak berlian tergantung di atas altar. Di sisi kanan dan kiri menuju altar terdapat standing flowers. Dia membayangkan penampilan Clara yang melewati jalan berbunga tersebut dengan gaun putihnya, membuatnya merasakan kegugupan sehingga dia menarik napas berulang kali.
Baru beberapa detik menunggu, Nathan melihat Clara yang berjalan beriringan dengan seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan tuxedo berwarna hitam, dengan merangkulkan lengannya. Dia terdiam, terkesima dengan kecantikan calon istrinya yang sudah terlihat dari kejauhan hingga semakin dekat dan perlahan senyum mengembang di bibirnya. Calon istrinya itu terlihat begitu cantik dalam balutan gaun berwarna putih strapless dengan pundak terbuka, veil tipis transparan berwarna sepadan dengan gaun yang begitu panjang hingga menyentuh lantai.
'Dia calon istrimu, kamu harus tetap terpaku padanya dan lupakan saja orang-orang yang tidak menyukai hubungan kalian, karena kalian berhak bahagia,' batin Nathan memperingatkan dirinya sendiri.
Clara terus berjalan dengan lambat, menatap Nathan yang begitu tampan seperti pangeran. Ya, pada kenyataannya calon suaminya itu adalah seorang pangeran dari kerajaan perusahaan keluarga Rudolf yang cukup besar di California. Gadis yang akan melepas masa lajang itu merasa sangat nervous karena menjadi pusat perhatian para tamu, sehingga hanya berani menatap calon suaminya dengan hatinya yang berdebar-debar jantung berdegup kencang dan tangannya sudah tidak karuan berkeringat dingin. Sorot mata biru hazel yang semakin dekat itu seakan meruntuhkan imannya, seolah tak percaya bahwa dia akan jadi miliknya.
'Apa ini mimpi? Kurasa bukan, ini lebih dari sekedar impian ku. Ini lebih dari harapanku selama ini. Akhirnya kudapatkan pria yang begitu sempurna dan mencintaiku seperti ratu dalam hidupnya, Thanks God,' batin Clara hingga tanpa sadar dia sudah berada di hadapan Nathan yang mengulurkan tangannya.
"Aku percayakan putriku padamu," lirih ayah Clara yang bernama Darric, dengan tersenyum hangat melepaskannya kemudian membiarkannya menerima uluran tangan Nathan.
Nathan mengangguk kepalanya kemudian mengajak Clara untuk menghadap ke arah pendeta yang merupakan pria paruh baya memakai setelan tuxedo hitam, berkacamata silinder dan menyisir rambutnya dengan rapi. Mereka segera melakukan upacara pemberkatan itu dengan disaksikan oleh para tamu khusus dari kedua belah pihak keluarga.
"Ma, Seharusnya dia menikah denganku karena dia punya anak dariku!" ucap seorang wanita yang duduk di kursi bersama para saksi pernikahan lainnya.
"Patricia, kamu tidak perlu khawatir. Meskipun dia menikahi Clara, dia akan menjadi milikmu seutuhnya," seru wanita di sampingnya.
Wanita yang bernama Patricia itu menghembuskan napas kasar, bersungut-sungut menatap Nathan dan Clara yang sedang mengucap janji suci.
"Sebenarnya apa kelebihan dari gadis itu? Kenapa Nathan lebih memilih nya daripada aku yang selalu bersamanya sejak kecil, bahkan memiliki anak dariku?" Dia bertanya-tanya lirik sambil menahan emosi yang terkecil tapi hatinya. Hmmm ... Sebenarnya siapa dia? Kenapa dia bisa memiliki anak dari Nathan sementara dia bukanlah istri ataupun kekasih Nathan.
___
Di tempat lain tepatnya di sebuah ruang kerja dalam gedung perkantoran yang begitu megah bernuansa metalik, Casey sedang sibuk mengecek file-file yang harus ditandatangani nya. Wanita itu terlihat cantik dalam balutan rok abu-abu sebatas lutut, atasan putih dan jas wanita berwarna sepadan dengan roknya, memakai make up tipis dan membiarkan rambutnya tergerai dengan gaya agak Curly.
Drett ... Drett ...
Casey mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang terletak di atas meja, melihat ada panggilan masuk dari Michael. Dia pun segera meraih benda canggih itu dan menjawab panggilan.
"Hallo, Sayang ...."
"Sayang, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu ke pesta pernikahan temanmu nanti malam. Aku mendadak harus ke Chicago untuk urusan pekerjaan," ucap Michael terdengar tidak tenang. "Aku tau ini pasti membuatmu kecewa, tapi ..."
"Okay aku paham ... Intinya kamu tidak bisa menemani aku. Tidak masalah, aku bisa pergi sendiri," ucap Casey sebelum Michael menyelesaikan perkataannya. Dia segera memutuskan sambungan telpon itu dan meletakkan ponselnya ke atas meja.
Casey menghembuskan napas kasar, lalu menyibakkan rambutnya ke arah belakang. Dia menunduk, terpejam merasakan sakitnya menjalani hubungan tanpa menjadi perioritas.
'Dia menjanjikan sebuah pernikahan, itu memang hal yang diinginkan setiap gadis. Tapi jika tidak bisa memberikan kasih sayang, menunjukkan kepedulian, bagaimana aku bisa terus bertahan ... Aku bahkan sudah membayangkan bagaimana jika aku menjadi istrinya ... Mungkin aku hanya bisa bersamanya saat akan tidur karena dia terlalu memprioritaskan pekerjaannya,' batinnya dengan kesal.
Ceklek ...
Pintu ruangan terbuka, terlihat seorang gadis cantik berambut sebahu berwarna hitam kemerahan, memakai rok hitam sebatas lutut dipadu dengan atasan putih dan memakai high heels berwarna merah.
"Ada apa, Mia?" tanya Casey menatap datar pada gadis itu.
"Tidak apa-apa, aku hanya jenuh karena tidak ada yang perlu aku kerjakan," jawab Mia kemudian duduk di kursi berhadapan dengan Casey. "Sebenarnya aku belum siap untuk bekerja di perusahaan ini, tapi papa sangat memaksa."
"Paman begitu karena ingin melihatmu mandiri," seru Casey.
"Yeah ... Itu benar. Tapi lihatlah ... Aku tidak bisa konsentrasi samasekali, aku tidak tau mana yang harus aku kerjakan atau tidak," sahut gadis bernama Mia yang merupakan sepupu dari Casey. "Papa bilang aku harus membantumu di sini, padahal Oskar sudah membantumu," lanjutnya sambil mengingat kakak laki-lakinya yang menduduki jabatan di bawah Casey.
Casey terdiam dengan menekuk wajahnya. "Kalau begitu, kamu boleh berhenti. Tidak akan ada gunanya menjalani sesuatu dengan terpaksa, apalagi kamu tidak nyaman."
"So ... Kamu memecat aku?" Mia menatap Casey dengan tatapan menyelidik.
"Tidak ... Aku tidak memecat mu. Aku hanya tidak suka jika kamu bersikap begini. Yang kamu rasakan saat ini adalah kejenuhan yang kamu butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sini ... Tapi belum apa-apa kamu sudah seperti akan menyerah. So ... Aku tidak bisa memaksamu untuk tetap bertahan, atau kamu akan mengerjakan tugasmu dengan tidak hati-hati dan bisa menyebabkan kekacauan di perusahaan ini. Aku tidak ingin perusahaan peninggalan ayahku jadi bangkrut hanya karena kamu malas bekerja." Casey berkata dengan sabar, berharap Mia bisa mengerti apa maksudnya.
"Jadi, kamu pikir aku adalah sebuah ancaman? Aku bisa membuat perusahaan ini bangkrut?" Mia bertanya dengan ketus.
"Mia ... Aku tidak bermaksud menuduhmu. Tapi aku tidak ingin sikapmu yang tidak tulus dalam bekerja ...."
"Sudahlah ..!" seru Mia sebelum Casey menyelesaikan perkataannya. "Aku tau kamu tidak suka dan tidak percaya padaku. Aku tidak akan mau bekerja di sini lagi!" lanjutnya sambil beranjak berdiri dan segera berjalan menuju keluar ruangan.
"Mia ... Mia ... Jangan salah memahami! Kamu tidak boleh bersikap begini!" seru Casey sambil beranjak dari kursi kebesarannya, lalu mengejar Mia. "Jangan keras kepala atau Paman akan semakin kecewa!"
"Aku tidak peduli, sejak dulu papanya selalu membanggakanmu dan meminta aku untuk mengikuti jejak mu. Aku muak dengan hal ini!" ucap Mia kemudian segera keluar dan menutup pintu dengan membanting.
Brakk ....
Casey terdiam menatap pintu yang tertutup. Hatinya memanas, pikirannya kacau, bahkan tubuhnya mulai lemas merasakan sulitnya hidup di lingkungan orang-orang; yang tidak bisa memahaminya.
"Apa aku salah? Kenapa dia jadi sangat marah dan mulai mengungkit tentang sikap paman?" Casey bertanya-tanya sambil berjalan kembali ke meja kerjanya. "Aku juga tidak ingin dinomorsatukan oleh paman hanya karena aku yang memiliki segalanya ... Ini sungguh membuatku tidak nyaman."