Xena terbaring lemas, pandangannya kabur dan dadanya terasa sesak. Seorang prajurit membawa wanita bercadar itu ke pondok Lac tak lama setelah prajurit lain mengabarkan kepergian Leith.
"Tuan ...," lirih Xena.
"Aku tahu, Xena. Lagi-lagi kita sudah dibodohi oleh mereka.. Sepertinya utusan Malvolia mempunyai ilmu sihir tingkat tinggi, aku rasa hanya ada satu kemungkinan kenapa Leith bisa menghilang meskipun sejumlah prajurit menjaganya."
"Maksud Anda?" Zarrar mengerutkan dahi.
"Bisa jadi Leith dibawa lewat portal."
"Semacam pintu yang bisa menembus ruang?"
"Benar Tuan Zarrar. Kita kalah jumlah dan kekuatan jika menyerang Malvolia sekarang. Kita harus mengadakan pertemuan dengan perwakilan wilayah lain_"
"Tapi, seperti yang Anda tahu Tuan Baltas, wilayah Selatan yang dipimpin oleh Tuan Himes sangat protektif terhadap dunia luar. Meski daerah Selatan sangat dingin, kenyataannya kaum Partha banyak yang mengungsi ke sana. Terakhir kali aku mengirim utusan kepada Tuan Helmes, dia menolak persekutuan. Dengan alasan ingin mendirikan kerajaan baru. Saya khawatir, Raja Arryn yang semakin sewenang-wenang membuat rakyat tidak betah lagi dibawah kekuasaannya. Hanya kita dan sebagian kecil penduduk saja yang bertahan. Dengan harapan suatu hari nanti kita bisa mengalahkan Malvolia." Zarrar berkata.
Lac menghela nafasnya, sebenarnya dia ingin memberitahukan bahwa pangeran yang diduga hilang bersama Ratu Cressa itu adalah Larkin. Tetapi, Lac masih belum bisa mengatakannya karena semakin sedikit orang yang mengetahui kebenaran itu akan semakin aman. Jika Leith saja bisa dengan mudah dipengaruhi oleh Malvolia. Bukan tidak mungkin masih ada kaum Mvura diam-diam berkhianat. Karena itu Lac tidak mau mengambil resiko.
"Xena, lebih baik kau kembali ke pondokmu. Aku akan perintahkan prajurit untuk memanggil tabib. Sepertinya lukamu cukup parah," ucap Lac pada Xena.
Wanita yang masih terbaring lemah itu anggukan kepala. Serorang prajurit memapahnya. Tiba di luar pondok Lac, Larkin mengerutkan dahi ketika melihat Xena dibopong dalam keadaan terluka.
"Ada apa denganmu, Xena? Kau terluka? Apa ada yang menyerang kembali?"
Xena tidak menyahut, dia masih merasakan sakit di sekitar dadanya seperti dihantam oleh sebuah batu raksasa.
"Biar aku yang antarkan dia, kau panggil saja tabib!" Larkin berkata pada prajurit yang tengah membawa Xena.
Dalam keadaan lemah seperti itu, Xena tidak punya pilihan untuk berdebat dengan Larkin. Dengan sigap Larkin memapah Xena menuju pondoknya. Tempat tersebut letaknya beberapa petak dari pondok milik Lac.
"Kau temui saja ... Tuan Lac ... aku ... akan menunggu tabib,"lirih Xena terengah.
"Kau tetap saja keras kepala bahkan dalam keadaan payah begitu. Biar aku yang menjagamu sampai tabib datang," dengus Larkin lantas membaringkan wanita bercadar tersebut di atas tempat tidurnya. Pemuda itu menatap nanar, jika Xena sampai terluka parah berarti musuh mempunyai kekuatan yang tinggi mengingat Xena bukanlah wanita lemah.
"Lebih baik kau buka cadarmu itu biar nafasmu lebih lega." Larkin berkata lagi, tapi Xena malah melirik tajam seakan tidak suka saat pemuda itu menyuruhnya membuka cadar.
"Ya ampun, aku ini bukan orang asing. Apa setelah semua yang kita lalui kau masih belum bisa menganggapku sebagai kawan?"
"Bukan seperti itu, Larkin. Bukankah ... aku sudah katakan bahwa_"
"Ya, aku ingat. Lagipula aku tidak tertarik melihat wajahmu, aku hanya kasihan saja melihatmu bernafas dengan berat seperti itu. Apa keadaan Leith baik-baik saja disana? Terus terang saja, aku masih tidak bisa terima jika dia adalah penyusup. Mungkin sebenarnya Leith terpaksa melakukan perintah dari wanita jahat tersebut."
Xena menghela nafas, dengan terengah akhirnya dia menceritakan jika saat ini Leith menghilang. Sontak saja, Larkin terkejut bukan main. Dia mengepalkan lengannya.
"Apa aku harus menyerahkan diri pada Malvolia?" batin Larkin geram.
***
Larkin keluar dari pondok Xena ketika tabib datang. Wajahnya terlihat kesal dengan tinju mengepal. Pemuda itu sangat sedih ketika mendengar Leith menghilang dibawa pergi oleh utusan Malvolia. Kakinya berjalan diantara hamparan pasir sepanjang pesisir Moana. Matanya mendongak melihat langit yang hanya berisi gumpalan awan.
"Apa kau sedang menantikan matahari terbenam?"
Larkin tersenyum kecut, saat baru beberapa kedipan mata dia duduk mendengar suara yang tidak asing menyapa. Tanpa menoleh, pemuda itu bisa langsung mengenali siapa pemiliknya.
"Kau sendiri, Red?"
"Aku tidak terlalu suka. Bagiku sama saja."
"Kenapa? Bukankah itu pemandangan yang bagus?" kali ini Larkin menoleh.
Seorang bocah berambut ikal dan hanya mengenakan semacam rompi dan celana selutut duduk di sampingnya. Matanya menatap hambar ke arah pantai.
"Aku tidak mengerti soal kutukan itu, Larkin? Kenapa aku dan anak-anak yang lain harus menanggungnya? Ayahku tewas sebagai pahlawan dan menyisakan ibuku saja. Dia hanya menatap ke arah matahari terbenam sambil berharap ayahku kembali."
Larkin memandang tanpa berkedip. "Jadi, bocah ini juga kehilangan ayahnya?" batin pemuda bermata biru kehijauan itu.
Tak disangka oleh Larkin jika dibalik sikap ceria dan cerewet Elred, ternyata bocah itu memendam luka. Dia lantas teringat pada Myrtle dan Xue.
"Kau bukanlah satu-satunya yang kehilangan orang tuamu, Red. Ibuku juga dibunuh, dan ayahku menghilang entah kemana seperti ditelan bumi.
"Benarkah?"
Larkin mengangguk, lalu kembali menatap ke arah matahari akan tenggelam. Entah mengapa, dia selalu tertarik saat Myrtle bercerita tentang betapa indahnya matahari ketika terbit dan juga pamit dari langit.
"Kau anak yang pintar, Red. Kemampuan otakmu itu suatu hari nanti pasti di perlukan untuk kerajaan. Mungkin kelak kau bisa menjadi seorang penasihat raja."
"Aku harap begitu. Tuan Zarrar juga pernah mengatakan hal yang sama kepadaku. Kau sendiri, apakah dikirim kesini untuk menjadi mata-mata? Maksudku, aku tahu jika para tetua sedang mengatur strategi untuk mengalahkan wanita penyihir jahat. Jika kalah jumlah pasukan dan kekuatan, mau tidak mau harus menggunakan otak untuk melawan musuh. Larkin, kau pemuda yang gagah. Penampilanmu seperti seorang pangeran."
Larkin terkesiap mendengar perkataan polos dari bocah di sampingnya. Namun, dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Apakah aku terlihat seperti itu?"
"Ya tentu. Aku pernah melihat Raja Arryn, dan wajahnya mirip denganmu."
Larkin mengerutkan dahi. "Dimana kau melihatnya?"
"Saat Raja sedang berburu. Aku tidak sengaja terbawa dalam kotak besar ketika Tuan Zarrar melakukan perjalanan ke arah Selatan. Aku mengintipnya, bahkan sampai Tuan Zarrar kembali dia tidak menyadarinya. Hehehe."
Larkin menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum lebar. Sikap Elred yang bersahabat mengingatkannya pada Birk dan Leith. Kini kedua orang itu menjadi tahanan Malvolia karena dirinya. Hal itu membuat Larkin sedih, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong keduanya.
"Bocah ini lucu sekali. Bahkan dia bisa melihat kebenaran dengan mata hatinya," batin Larkin sambil menatap Elred.
***
Sementara itu, Zarrar memasang wajah kesal ketika keluar dari pondok Lac.
"Sampai kapan dia akan merahasiakan soal Larkin kepadaku?" dengusnya dengan mengepalkan tinju.