Birk menghentikan ayunan kakinya yang letih. Sejak keluar dari penjara bawah tanah milik ratu Malvolia, pemuda kurus itu mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Leith.
"Pemuda gimbal itu bilang agar aku terus menelusuri semak dan berjalan lurus sampai aku menemukan sebuah pohon Oak yang bentuknya aneh. Tetapi sejauh ini, aku belum melihat penampakan pohon itu. Hanya kakiku saja yang makin lecet ditusuk oleh duri-duri dari semak. Sial! Apa sebaiknya aku tidak usah mencari Larkin? Mungkin ayahku benar, jika selama ini aku hanya membahayakan diri sendiri saja. Akh! Tapi, aku sudah berjanji akan mendampingi Larkin," oceh Birk sambil meringis dan menatapi luka lecet di telapak kakinya.
Dia mendongak ke atas, dilihatnya langit semakin gelap menunjukkan hari akan segera berganti. Saat dia mulai putus asa, beberapa kaki dari arah samping kanannya terlihat sebuah tempat yang mencurigakan.
"Kalau aku ingat-ingat, semakin kesini semaknya semakin tinggi. Apa itu pohon yang dimaksudkan oleh Leith? Berada dalam pengasingan membuatku tidak tahu wilayah Aileen, sial!"
Birk memaki lagi, namun dia penasaran dan kembali berjalan. Tangannya menyibakkan semak-semak tinggi tersebut. Dan benar saja, ada sebuah pohon oak dibalik rimbunnya semak belukar tersebut. Bentuknya juga aneh, tidak seperti kebanyakan pohon itu lebih pendek dan lebar. Juga beberapa helai daun tumbuh meski hanya di sebagian kecil cabangnya.
"Sepertinya pohon ini yang dimaksud oleh Leith. Jadi, aku harus memetik satu helai daun maka pintu rahasia akan terbuka. Agak aneh, tapi baiklah akan aku coba."
Birk bergumam, tangannya meraih satu helai daun. Hal mengejutkan pun terjadi, dari batang pohon itu tersibak menyerupai pintu. Birk tercekat dan mundur saking terkejut dengan apa yang dilihatnya. Namun, pemuda kurus tersebut tidak membuang waktu lama. Dengan dada bergemuruh, Birk mulai memasuki batang pohon yang langsung menutup kembali.
"Aku harap Leith tidak menjebakku, aku harus segera bertemu dengan Larkin."
Secepat kilat, Birk melangkahkan kakinya yang terasa lebih ringan. Bahkan luka di telapak kaki itu berangsur membaik. Saat itu juga, sekelebat cahaya kuning menyilaukan menghadang Birk.
WUSSS!
"Hei! Mahluk apa itu?"
"Jangan takut, aku Rein, penjaga tempat ini."
Birk langsung terpaku saat satu suara menggema. Dia masih memperhatikan sosok berupa cahaya kuning dihadapannya.
"Apa kau semacam Elvish?"
"Bisa dibilang begitu. Aku pun terkena kutukan, dan sekarang inilah wujudku. Hanya berupa setitik cahaya. Siapakah geranganmu? Dan kenapa bisa kau mengetahui jalan rahasia ini?"
"Aku Birk. Dan seorang pemuda bernama Leith dari Moana telah memberikanku petunjuk agar aku ke tempat ini untuk sampai ke Moana."
"Leith kau bilang? Sekarang dimanakah dia?" tanya suara itu lagi.
"Dia masih ditahan di sebuah ruangan bawah tanah. Apa kau mengenalnya?"
"Tentu saja, dia pemuda yang baik. Kami pernah bertemu sebelumnya di sini. Aku sering berkunjung ke daerah Moana. Dan kebetulan Leith adalah masih keturunan dari sahabatku."
Birk mengerutkan keningnya berlipat. "Hei, aku tidak begitu paham ucapanmu. Tapi bisakah kau tunjukkan bagaimana agar aku segera sampai ke Moana? Aku tidak punya waktu banyak, dan kau jangan khawatir. Aku sudah berjanji pada Leith, jika aku akan kembali membawa bantuan untuk membebaskannya."
"Seandainya kekuatanku masih berfungsi, aku akan senang hati membebaskan Leith dari sana. Sayangnya, aku tidak bisa beranjak dari tempat ini. Kau hanya perlu mengikuti arah cahayaku, tempat ini terhubung dengan pesisir Moana. Tapi, kau harus berhati-hati karena disana ada mahluk penjaga bernama Nakra yang kabarnya kini menyerang siapapun yang mendekati pesisir Moana."
"Ya, aku tahu. Leith mengingatkanku soal itu. Terima kasih," ucap Birk.
Cahaya kuning melesat menerobos jalan rahasia yang menyerupai ruangan pengap tersebut. Meskipun ada banyak pertanyaan dalam benak Birk, namun dia ingin segera bertemu dengan Larkin.
"Ingat pesanku, sebisa mungkin kau tidak boleh menimbulkan suara. Nakra sangat sensitif terhadap suara dan bau. Sepertinya untuk aroma tubuhmu, Nakra tidak akan menganggap sebagai ancaman. Memangnya berapa hari kau tidak bertemu dengan air?"
Birk mendengus ketika mendengar ledekan itu, "Ah, aku tidak heran jika kau berteman baik dengan Leith. Sebelumnya dia juga senang sekali meledekku. Tak masalah, aku bahkan tidak ingat kapan aku membersihkan diri. Hahaha!"
"Pantas kalau begitu. Sebaiknya kau bergegas sebelum hari gelap," titah mahluk asing bercahaya kuning.
Birk menganggukkan kepala sebagai jawaban. Dan lagi tujuannya saat ini hanya satu, segera menemui sahabatnya.
***
Di pesisir Moana, tak jauh dari pondok Wiedza, Elred memandang ke arah matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Meskipun langit tampak berawan, namun hari ini bisa dikatakan lebih cerah karena pantulan warna jingga dari matahari cukup terlihat jelas.
"Bukankah kau pernah bilang bahwa kau tidak suka memandangi langit senja, Red?"
Tanpa menoleh, Elred tahu yang baru saja bertanya adalah Larkin. Bocah itu tersenyum kecut lantas berjalan di sepanjang pesisir diikuti langkah kecil kaki Larkin.
"Apa kau pun sebenarnya merindukan ayahmu?"
"Mungkin, tapi berharap bahwa ayahku akan kembali itu hal yang tidak mungkin. Ibuku tidak gila, Larkin. Dia hanya putus asa dan belum bisa menerima kepergian ayahku."
Larkin mengerutkan dahi, dia menatap punggung Elred dengan iba. "Siapa yang bilang ibumu gila, Red?"
"Beberapa orang, Larkin. Tapi aku tahu, ibuku hanya butuh waktu. Aku janji, kelak dikemudian hari aku akan tumbuh kuat dan pemberani seperti ayahku."
"Tentu, aku tidak meragukan hal itu Red. Kau anak yang pintar dan berbakti, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau sayangi. Dan terkadang kita berharap mereka ada di depan kita seperti sebuah sihir ajaib," decit Larkin dengan menatap ke arah langit.
Saat ini, Larkin merindukan Birk. Tak heran karena Birk adalah sahabat pertana yang dia temui di hutan Alden. Seperti terjawab begitu saja, kedua mata Larkin terbelalak saat dia mendapati seorang pemuda kurus dan tak asing sedang mengendap-endap di balik deretan pohon Nuci.
"Birk? Kaukah itu? Apa aku tidak sedang berhalusinasi?" gumam Larkin diikuti Elred yang sama-sama melihat ke arah yang sama.
"Penyusup?!!! Aku harus lapor ke Tuan Zarrar," seru Elred bersiap pergi namun tertahan langkahnya karena tangan bocah itu dicekal oleh Larkin.
"Tunggu! Dia bukan penyusup. Aku kenal dia sahabatku, Birk."
"Apa kau yakin dengan penglihatanmu? Bagaimana jika itu utusan ratu jahat yang menyamar," ucap Elred masih waspada.
"Hanya satu yang bisa meyakinkan kalau dia itu Birk atau bukan. Kau tunggulah di sini, aku akan menghampirinya. Jangan dulu lapor pada Tuan Zarrar sebelum aku memastikannya," titah Larkin lantas berjalan ke arah dimana Birk masih mengendap-endap.
Namun, Elred ketakutan. Dia tidak mendengarkan ucapan Larkin, saat pemuda bermata biru kehijauan tersebut menghampiri Birk, dalam satu kedipan mata Elred menghambur ke pemukiman untuk melaporkan hal tersebut pada Zarrar.