Larkin tampak terpaku, matanya redup dan hatinya bergetar. Di depannya masih duduk bersila setengah mengambang ke udara seorang lelaki tua berjanggut putih yang tak lain adalah Lac.
"Jadi, wanita penyihir itu membuat Raja Arryn ... umh maksudku ayahandaku dan para pasukannya tersesat? Lalu bagaimana dengan meditasi Ibunda Ratu?" tanya pemuda itu kemudian.
Lac memainkan janggut panjangnya, di alam Nima sepasang matanya terbuka dapat melihat dengan jelas wujud putra dari Raja Arryn dan Ratu Cressa.
"Begitulah, Malvolia memang sangat cantik. Namun hatinya dipenuhi oleh kegelapan. Asal usul dari penyihir jahat tersebut masih menjadi misteri sampai sekarang. Karena setahuku Ratu Maglica tidak diketahui memiliki pasangan. Seumur hidupnya, Maglica hanya berburu ilmu hitam untuk menguasai semesta Aileen. Dia seringkali bereksperimen dengan mengawin-silangkan antara satu kaum dengan kaum lainnya."
"Maksud Anda?"
"Maksudku, beberapa aturan dibuat memang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Kau masih ingat kisah asal muasal Aileen, tentang bagaimana Dewa Anhur menikahi mahluk berwujud wanita cantik?"
Larkin anggukan kepalanya.
"Keturuan Dewa Anhur yang saat itu sudah berubah menjadi Partha atau manusia. Dalam kitab sejarah kuno yang lain disebutkan, mahluk yang menduduki semesta Aileen ini terdiri dari beberapa tingkat kemuliaan. Salah satunya menuliskan bahwa kaum Partha ada di peringkat paling atas, meski secara kekuatan mereka paling lemah. Namun seorang Partha bisa mencapai setingkat dengan kemuliaaan dewa atas keluhuran hatinya. Ah, sayang sekali aku tidak bisa berlama-lama berada di alam Nima. Nanti di Wiedza kau akan mempelajarinya, Larkin. Sekarang beristirahatlah, kau harus bersungguh-sungguh mengikuti Wiedza. Karena dasar dari semua kekuatan itu adalah pengetahuan. Kekuatan tanpa ilmu seperti anak panah yang dilepaskan sembarang, tidak jelas mengarah kemana." Lac mengakhiri perbincangan mereka.
Dalam satu kedipan mata, mereka berdua sudah berada di ruangan pondok milik Lac.
"Saya pamit, Tuan Lac." Larkin merangkapkan kedua telapak tangan diikuti anggukan kepala dari Lac.
Di luar pondok, Xena masih berjaga. Jubahnya sesekali tertiup angin. Tiba-tiba saja Larkin menyeringai, dia mengendap-endap meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke pondoknya.
"Sekali-kali biar dia berjaga semalaman. Hihihi," cekikik pemuda itu lantas segera memasuki ruangannya.
Tak berbeda jauh dari tempat tinggal milik penyihir putih Lac, pondok milik Larkin juga sama-sama terbuat dari batang pohon Nuci dengan daun Nuci sebagai atapnya. Begitupun dengan benda semacam dipan yang dipakai untuk merebahkan tubuhnya. Sambil menatap langit-langit pondok itu, pikiran Larkin terbang mengikuti apa yang dirasakan oleh hatinya. Sepeninggal Myrtle dan menghilangnya Xue, Larkin merasa kehilangan arah. Meskipun ada Birk yang selalu mendampinginya, tapi pria malang itu masih ditahan oleh penyihir. Rasa bersalah selalu menggelitiknya ketika teringat akan sahabatnya.
"Birk, tetap hiduplah. Aku janji, kali ini aku akan mengikuti Wiedza dengan bersungguh-sungguh. Ah, andai kau tahu Birk. Ternyata aku ini putra dari Raja, apa yang akan kau katakan?" batin Larkin sebelum akhirnya rasa ngantuk menderanya.
Baru Larkin memejamkan mata, tiba-tiba saja satu bayangan hitam berkelebat hendak menyambar kalung yang dia kenakan. Di saat yang sama, Xena menerobos masuk melalui atap menghempaskan jubah andalannya sehingga pondok milik Larkin tampak hancur pada bagian atasnya.
BUUUUK!!!
"JANGAN LARI PENYUSUP SIALAN!!!" Xena berteriak.
Bayangan hitam yang hendak menyerang Larkin berkelebat menghindari serangan dari Xena. Wanita bercadar itu menghentakkan kedua kakinya, saking cepat gerakan Xena seakan dia berjalan di atas udara.
Larkin yang masih terpatung hanya bisa menatap bingung. Pemuda itu segera menyusul Xena. Beberapa prajurit terlihat mengejar bayangan hitam tadi.
"Apa yang terjadi? Kenapa ribut sekali?" Leith langsung bertanya sambil mengucek-ngucek kedua matanya yang masih ngantuk.
"Entahlah! Sepertinya tadi ada yang menyerangku," sahut Larkin.
Selang beberapa lama, tampak dari arah pesisir Xena muncul kembali menghampiri Larkin.
"KAU!" dengus wanita tersebut menancapkan ujung telunjuknya tepat di hidung Larkin.
"Apa?"
Xena mennyipitkan kelopak matanya, setidaknya itu masih terlihat menggambarkan kekesalan meski dari hidung sampai dagunya tertutupi oleh cadar.
"Apa ada yang menyerang?" tanya Leith menunjukkan wajah cemas.
"Penyusup itu berhasil lolos, sial!" Xena memaki.
"Penyusup?" Leith bertanya lagi.
"Sudahlah, dia juga pergi ke arah pesisir. Jangan khawatir Leith, para prajurit akan berjaga bergantian mulai malam ini. Kau juga kembali tidur! Aku akan mengawasimu di luar," ucap Xena kembali menunjuk ke arah Larkin.
"Wanita itu tampak mengagumkan ya," bisik Leith saat kembali ke pondoknya yang tak jauh dari milik Larkin.
"Maksudmu Xena?"
"Memangnya siapa lagi?"
"Ah, biasa saja. Kenapa Leith, apa kau menyukainya? Hahaha!" goda Larkin diakhiri tawa renyah.
"Sangat jarang menemukan wanita sekuat dia, sobat. Kau sendiri apa kau tidak menyukainya? Aku berani bertaruh, dia itu mempunyai paras yang cantik."
Larkin malah semakin terbahak mendengar perkataan Leith, "Sudah kubilang mungkin saja di balik cadarnya itu, Xena memiliki hidung yang besar dan bibir yang lebar. Hahahaha!"
"Jangan sembarangan bercakap, yang kudengar wanita kaum Zagha rata-rata cantik jelita. Dan yang membuat mereka istimewa adalah para wanita tersebut hanya memperlihatkan wajah pada pasangannya saja."
"Sungguh hal yang merugikan, seharusnya para pria dari kaum Zagha pun melakukan hal yang sama. Sudahlah, aku mau tidur." Larkin melambaikan tangannya pada Leith.
Saat tiba di dalam pondok, Larkin mendengus ketika mendongak atapnya meninggalkan lubang yang cukup besar akibat pertempuran tadi.
"Wanita itu, apa tidak bisa masuk lewat pintu? Kalau tiba-tiba ada mahluk buas menyerang dari atas bagaimana?"
"Besok akan diperbaiki, cerewet! Dasar bodoh! Lain kali jangan pergi diam-diam, beruntung tadi aku melihat penyusup bergerak ke pondokmu!"
Larkin tersentak, entah darimana datangnya tiba-tiba Xena sudha berkacak pinggang di hadapannya.
"Apa kau memang lupa sedang berhadapan dengan siapa?"
"Tentu saja aku tidak lupa. Sebelum kau memantaskan dirimu, aku hanya menganggap kau sebagai pribumi. Ingatlah Larkin! Di pundakmu itu terdapat tanggung jawab yang besar. Sekarang lihat dirimu sendiri, bahkan untuk mengelak bahaya di depan mata saja kau tidak mampu." Xena mendengus.
"Ah, semua orang berkata seperti itu. Jika harus memilih, lebih baik aku tinggal di hutan Alden saja bersama Myrtle dan Xue. Juga Birk tentunya," celoteh Larkin lantas berbaring di atas dipan tanpa menghiraukan tatapan kesal Xena.
"Ya ampun, kau masih saja tidak mengerti. Nyawamu bahkan lebih berharga, bukankah Tuan Lac sudah memperingatkan bahwa kau adalah harapan kami satu-satunya!"
"Nah, kau sendiri mengakuinya. Jadi, sudah tugasmu bukan untuk memastikan aku tetap hidup. Untuk apa aku susah-susah membela diri?" ledek Larkin kembali entah mengapa dia suka sekali menggoda Xena.
"Kalau bukan karena perintah Tuan Lac, malas sekali aku menjaga orang yang tidak mau membela dirinya sendiri! Huh!" Xena berkata lantas berbalik hendak keluar dari pondok tersebut.
"Hei! Kau mau kemana wanita bercadar? Kenapa tidak tidur sekalian di sini? Kalau penyusup itu kembali bagaimana?" Larkin kembali bangkit dari posisi berbaringnya.
Namun Xena tidak mengindahkan ucapan pemuda itu.
"Dasar, wanita aneh! Sudah tahu aku ini katanya seorang pangeran. Masih saja mengatakan aku bodoh! Lihat saja! Jika aku diangkat menjadi raja, akan aku jadikan dia pelayanku. Hihihi!" decit Larkin menyeringai.
Dilain kedipan mata, wajahnya berubah kembali sambil mengela nafas panjang. "Sial! Kenapa hidupku jadi menanggung tanggung jawab seberat ini?" maki Larkin.
Kali ini dia benar-benar tidak bisa menahan kantuk. Sedangkan Xena masih terjaga di depan pondoknya. Matanya mengawasi pondok milik Leith dengan tatapan penuh waspada.