Larkin memutuskan untuk pergi ke pondok yang ditempati oleh Lac. Dia masih penasaran dengan apa yang dialaminya semalam.
"Tuan Lac, saya ingin bertanya_"
"Aku tahu Larkin apa yang membawamu kemari. Selain alam Nima, aku juga bisa bertemu dan berbincang dalam mimpimu. Pada dasarnya, kedua alam itu saling terhubung satu sama lainnya. Bahkan seseorang yang mempunyai ketulusan dan kejujuran tinggi dalam hatinya, apa yang terlihat dalam mimpinya bisa dibilang sebuah kebenaran. Larkin, kita masih harus berhati-hati karena penyusup masih berkeliaran. Kekuatanku pun melemah, aku tidak bisa menggunakannya setiap saat." Lac berkata.
"Jadi, apa yang kau ceritakan dalam mimpiku semalam itu adalah kebenaran?"
Pria berjanggut putih tersebut mengangguk. Hati Larkin bergetar hebat karena mengingat kisah yang Lac ceritakan kepadanya.
"Aku tahu, kau mencemaskan sahabatmu. Akan tiba waktunya kau menyelamatkannya. Tapi sebelum itu, kau harus menempa dirimu di tempat ini. Hari ini juga kau akan mulai menempuh Wiedza. Maanfaatkan waktu dengan baik, kelak saat kau sudah siap aku izinkan kau untuk menjemput sahabatmu itu."
"Apa yang Anda maksud dengan Wiedza, Tuan Lac?" tanya Larkin mengerutkan keningnya.
"Daerah Moana merupakan wilayah yang paling aman di semesta Aileen untuk sekarang ini. Setidaknya, belum ada tanda-tanda dari utusan Malvolia menyerang para penduduk. Kuat dugaan Nakra tidak sepenuhnya terpengaruh oleh kekuatan sihir wanita jahat tersebut. Mereka tidak bisa membedakan mana kawan dan musuh. Ditambah lagi kondisi alam wilayah Moana memang paling strategis. Disini matahari masih terlihat meskipun samar pada saat terbit maupun tenggelam. Kau akan belajar banyak hal tentang sejarah Aileen dan semua hal tentangnya di Wiedza. Xena, sudah aku tugaskan untuk mengantarkanmu ke sana. Temuilah dia, dan ingatlah pesanku Larkin. Tetaplah rahasiakan identitasmu dari kaum Mvura atau yang lainnya."
Larkin menganggukan kepala mendengar perintah dari Lac. Penyihir putih itu sepertinya tahu benar jika dirinya sudah tidak sabar ingin menyelamatkan Birk. Saar keluar dari pondok tersebut, Xena sudah menunggunya. Larkin mendengus, entah kenapa dia kadang merasa enggan berurusan dengan wanita bercadar tersebut.
"Kau sudah siap ku antar ke Wiedza?" tanya Xena.
"Ya ..., meski aku tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh Tuan Lac. Tapi sepertinya aku memang tidak punya pilihan, lagipula aku tidak mau membuang banyak waktu. Aku harus menyelamatkan Birk secepatnya," sahut Larkin.
Xena tampak manggut-manggut. Luka di bahunya akibat serangan dari Nakra juga sepertinya sudah pulih. Wanita itu berjalan lebih dulu diikuti Larkin yang tidak bisa melewatkan pemandangan sekitar.
Daerah Moana sangat sejuk bagi Larkin, angin berembus lebih kencang di pesisirnya. Beberapa pohon Nuci berbaris rapi seperti ditata sedemikian rupa. Larkin mendongak ke atas langit, berharap bisa melihat kembali penampakan matahari. Namun hanya ada gumpalan awan menutupinya.
Tiba di sebuah bangunan, Xena berhenti. Larkin melihat anak-anak yang berusia puluhan purnama duduk menghadap seorang pria yang mengenakan semacam jubah namun masih memperlihatkan dadanya yang bidang.
"Larkin, kau harus bergabung dengan mereka. Itulah yang dinamakan Wiedza," ujar Xena menunjukkan lengannya pada bangunan tersebut.
Larkin menelan ludahnya, "Maksudmu? Aku juga harus duduk diantara mereka?"
Xena mengangguk,"Kenapa? Apa kau malu menjadi murid paling besar? Hihihi," ledeknya.
Larkin mendengus, diliriknya Xena dengan tatapan sebal.
"Tak ada yang terlambat untuk menuntut ilmu, Larkin. Di hutan Alden pasti tidak ada tempat semacam ini, bukan?"
"Memang tidak ada. Lalu apakah di Orken juga ada?"
"Tentu saja, hanya saja istilahnya berbeda. Kami lebih belajar ke pertahanan untuk membela diri. Jika di sini, anak-anak sudah mulai menempuh pengetahuan sejak usia 70 purnama. Kurasa kau harus bergegas, bersikap baiklah selama menempuh Wiedza. Hihihi!"
Setelah puas meledek Larkin, wanita bercadar tersebut melambaikan tangan meninggalkan pemuda itu dalam keadaan kesal.
"Bersikap baiklah, Hihihi!!! Huh! Bisa kubayangkan mulutnya yang lebar dibalik cadar itu ketika menertawakanku!" Larkin bergumam menirukan ucapan Xena.
Pria tinggi yang berada di depan barisan anak-anak kaum Mvura memanggil Larkin. Semua mata langsung tertuju kepadanya.
"Kemarilah! Kenalkan dirimu, murid baru!" titah pria itu.
Dengan enggan akhirnya Larkin berjalan menghampiri mereka. Dia hanya bisa tersenyum kecut saat beberapa anak menertawakannya.
"Sssttt! Aku tidak pernah mengajarkan murid-muridku untuk menertawakan seseorang. Baiklah, biar aku perkenalkan pada kalian. Ini adalah Larkin. Di tempat asalnya, dia belum pernah menempuh Wiedza. Jadi, kalian harus tetap menghargainya. Ingat apa yang selalu aku ajarkan pada kalian?"
"Pengetahuan sumber kebajikan!!!"
"Betul, Elred."
Larkin melayangkan pandangannya pada bocah yang menjawab.
"Selamat datang, Larkin!" Elred menyapanya.
Pemuda bermata biru itu mengumpat dalam hatinya. Jika saja bukan karena perintah Lac dan keinginan untuk menyelamatkan Birk, saat ini dia merasa canggung jika harus duduk dengan para murid yang masih anak-anak tersebut.
"Larkin, silakan bergabung dengan teman-temanmu!" Pria yang merupakan seorang guru bernama Zarrar tersebut berkata.
Elred menggeser tempat duduknya, mau tidak mau Larkin mengambil posisi di samping bocah tadi. Sementara Xena cekikikan di sudut lain mengawasi Larkin.
"Apa dia akan baik-baik saja?"
"Dia harus ikut menempuh Wiedza entah suka atau tidak suka," sahut Xena pada yang Leith yang ikut memperhatikan Larkin dari kejauhan.
"Seperti yang sudah kujelaskan, Aileen adalah sebuah tempat yang diberkahi oleh para dewa. Setiap wilayah di semesta Aileen dahulunya merupakan tempat tinggal yang nyaman bagi rakyat. Wilayah Barat ditempati oleh kaum Mvura."
"Tuan Zarrar, dari manakah Larkin berasal?" tanya Elred mengacungkan lengan kanannya.
"Larkin! Bisakah kau jawab pertanyaan Elred?"
"Umh, aku berasal dari perbatasan Orken." Larkin mengeluarkan suara.
"Orken terletak di bagian Utara kerajaan Aileen. Ada yang tahu kaum apa yang menempati wilayah tersebut?"
"Kaum Zagha, Tuan Zarrar." Elred dengan cepat menjawab.
Sekali lagi Larkin menatap bocah itu, sepertinya dia murid paling pintar sekaligus cerewet diantara yang lainnya di mata Larkin.
"Daerah Orken merupakan dataran yang diselimuti padang pasir. Sedangkan wilayah Timur, dahulunya ditempati sebagian besar kaum Gwarch. Daerah itu merupakan hutan dan gua. Aku rasa cukup untuk hari ini. Larkin, besok datanglah pagi-pagi agar kau bisa mengikuti Wiedza lebih awal." Zarrar mengakhiri perkataannya.
"Terima kasih Tuan Zarrar!" seru semua murid yang berkumpul diantara Larkin tersebut.
Pemuda itu masih terlihat canggung. Saat beberapa bocah meninggalkan ruangan, bocah yang bernama Elred menghampiri Larkin.
"Hai, Larkin! Panggil saja aku Red," decitnya.
Larkin melemparkan senyuman kecut. Pikirannya malah teringat pada Birk. Entah bagaimana nasib sahabatnya itu, Larkin bahkan merindukan ejekan konyol Birk ketika dahulu tinggal di hutan Alden.
"Aku bersumpah akan membawamu kembali, Birk! Jadi, tetaplah hidup! Aku akan segera menjemputmu setelah selesai dengan Wiedzar konyol ini," umpat Larkin dalam hatinya.
***
Di sebuah gua yang letaknya sebelah wilayah Timur kerajaan Aileen. Sesosok mahluk menyeramkan berwajah cekung, hidungnya lebar dengan mata menonjol seperti hendak keluar dari kelopaknya memaki panjang pendek. Dia berjaga di depan ruangan yang terkunci oleh mantra.
"Sampai kapan aku harus menjaga bocah itu? Kalau ku jadikan makanan juga tidak akan membuatku kenyang. Padahal daging Partha sangat enak, bahkan dia tidak menyantap makanannya!" dengus mahluk itu.
Dalam ruangan yang pengap, tampak seorang pemuda meringkuk. Badannya yang sudah kurus semakin menonjolkan tulang-tulang iganya. Matanya terpejam namun dia tetap terjaga.
"Bagaimana dengan Larkin, apa dia baik-baik saja? Sial! Tubuhku lemas dan mahluk sialan itu selalu mengawasiku," batin pemuda itu yang tak lain adalah Birk.