Sudah cukup lama Larkin mengikuti langkah kaki Xena, sesekali dia memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh wanita bercadar itu. Bukan hanya berwarna gelap tapi kain yang membalut tubuh Xena hampir tidak menyisakan ruang sedikit pun.
"Apa kau tidak merasa kegerahan memakai pakaian semacam itu?" tanya Larkin memecah kesunyian.
Namun Xena tetap saja berjalan menulusuri padang pasir, dan entah sampai kapan mereka akan sampai. Larkin memang tidak merasa kelelahan, mungkin pengaruh dari kalung yang dia kenakan membuat langkah kakinya terasa ringan. Tetapi ada masalah lain, gara-gara memimpikan daging panggang rusa semalam. Perut pemuda itu menjadi keroncongan. Suaranya hanya tersamarkan saja oleh hembusan angin gurun, jadi dia tidak perlu menambah kejadian memalukan setelah air liur yang menetes itu membuat Xena mengejeknya.
"Hei! Wanita bercadar! Apa telingamu juga tertutup? Aku bertanya," ucap Larkin kesal.
"Kau sendiri juga kenapa mengenakan pakaian aneh, apa itu terbuat dari kulit binatang atau semacamnya?"
"Ini bukan baju sembarangan, ibuku yang membuatkannya. Apa setiap penduduk wilayah di kerajaan Aileen ini mengenakan pakaian khas tersendiri?"
"Kau cukup cerewet juga ya untuk seukuran pria."
Xena akhirnya menoleh, tapi tetap melanjutkan langkah kakinya. Dari pijakan mereka di atas hamparan pasir tersebut menimbulkan jejak yang panjang. Dan akan hilang ketika angin gurun menyapunya.
"Aku dibesarkan di hutan Alden selama hampir 200 purnama. Disana hanya ada aku dan kedua orang tuaku saja. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Birk. Sejak saat itu, aku selalu penasaran tentang semua hal yang ada di luar hutan Alden."
"Usiamu 200 purnama?" tanya Xena.
"Ya, dan ibuku menjanjikan satu hal kepadaku. Tepat 200 purnama, dia akan menceritakan tentang kutukan yang terjadi di semesta Aileen. Namun, Myrtle tewas di tangan mahluk buas di depan mataku. Tanpa sempat menceritakan semuanya. Lalu aku dan Birk menemukan sebuah ruangan rahasia, disana aku bertemu Elvish bernama Flynn. Dia yang menyerahkan kalung ini kepadaku, atas petunjuk Flynn juga kami diperintahkan pergi ke arah Utara untuk menemui seorang penyihir dari golongan putih yang tersisa, yaitu Lac. Setelah itu_"
"Cukup! Jangan diteruskan ceritamu, Larkin!"
"Loh, memangnya kenapa jika aku menceritakannya kepadamu? Bukankah kau adalah murid dari Tuan Lac?" Larkin menatap punggung Xena dengan penuh tanda tanya.
Wanita itu akhirnya menghentikan langkahnya. Lalu berbalik pada Larkin.
"Pertama, aku dilarang mengetahui rahasia tersebut jika bukan dari Tuan Lac. Kedua, kita masih ada di daerah Orken. Meskipun jalan yang kita lalui ini bukan tempat keberadaan Efitra namun tidak menutup kemungkinan Malvolia sudah mempengaruhi semua mahluk yang mendiami dataran Orken ini. Adalah hal yang sangat berbahaya mengatakan tentang asal usulmu, Larkin."
Larkin hendak membuka suara, namun Xena menahannya kembali.
"Aku tahu ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kau ketahui. Tapi bersabarlah, aku sudah bilang jika Tuan Lac sendiri yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Aku juga tahu kalau kau sudah kelaparan, bersabarlah sebentar lagi kita akan sampai."
Larkin mendengus, "Kalimat itu sudah berulang kali kau katakan, namun buktinya kita tidak pernah sampai."
Xena kembali melanjutkan langkahnya, dia tidak menghiraukan keluhan dari Larkin. Sesekali sepasang mata yang berwarna perak milik wanita itu mendongak ke atas langit. Meski tidak tampak sinar matahari, namun gumpalan awan yang kian gelap tersebut menandakan hari akan segera berganti. Xena didera kecemasan, andai Larkin bisa melihat raut wajahnya ketika melihat penampakan langit yang mulai gelap itu. Karena saat melewati perbatasan, mungkin saja bahaya sedang menanti mereka jika Xena tidak segera sampai di tepat tujuan.
***
Wilayah Barat kerajaan Aileen sangat berbanding terbalik dengan keadaan di daerah Orken. Jika wilayah Utara terdiri dari hamparan pasir alias gurun. Maka tempat yang akan dituju oleh Larkin dan Xena_yang sedang dalam perjalanan kesana_adalah berupa perairan luas. Wilayah itu dikenal oleh rakyat kerajaan Aileen sebagai Moana.
Penduduk Moana hidup dengan mencari ikan, tinggal beberapa meter dari pinggiran Moana. Untuk sampai ke desa terdekat harus melewati perbatasan Deure. Disanalah sebuah mahluk penjaga wilayan Moana semacam Efitra tinggal. Sama halnya dengan Efitra, mahluk itu pun dahulunya merupakan simbol wilayah Moana. Setiap wilayah di semesta Aileen memang dijaga oleh mahluk tertentu. Dan Xena khawatir, jika Efitra saja bisa berubah menjadi seperti monster maka bukan hal yang tidak mungkin jika simbol Moana yang dikenal penduduk setempat sebagai nama 'Nakra', akan mengalami hal yang serupa.
Efitra bersembunyi dalam hamparan pasir gurun, para tetua kaum Zagha berkata jika ada mahluk yang berniat buruk pada penduduk Orken maka Efitra akan mencium bau darah mahluk itu sebagai ancaman. Itulah sebabnya, kaum Zagha sangat menghormati keberadaan Efitra. Sayangnya, Malvolia bukan hanya menyebar sebuah kutukan maha dahsyat pada semesta Aileen. Tapi juga merubah Efitra menjadi pengikutnya dan berbalik menyerang penduduk yang selama ini dilindungi olehnya.
Larkin tak bisa mengedipkan kedua mata birunya barang sejenak. Pemuda gagah tersebut begitu terpana dengan pemandangan yang tampak di hadapannya. Keadaan Xena pun tidak jauh berbeda, adalah hal yang sangat langka bisa melihat penampakan dari bias cahaya jingga matahari sesaat sebelum terbenam. Langit memang sudah menunjukkan lebih gelap, namun ada sebuah titik di ujung pandangan Larkin dan Xena yang membuat bayangan besar berbentuk bulat dan itu menyita perhatian mereka berdua.
Sadar benda itu sebentar lagi tenggelam, Xena langsung tersadar. Karena setelah pemandangan yang indah tersebut, hal mengerikan akan menggantikannya.
"Larkin, sebaiknya kita bergegas. Kita harus menyebrangi jembatan itu sekarang juga!"
Xena langsung menarik lengan Larkin, hingga tubuhnya tampak seperti diseret oleh Xena. Larkin yang baru pertama kali melihat benda menggantung indah di ujung langit menghempaskan tangannya. Penampakkannya persis seperti bulan saat purnama, hanya saja warnanya begitu indah di mata pemuda tersebut.
"Aku masih ingin disini, apa kau tidak bisa bersantai sejenak menikmati pemandangan di depan mata? Indah sekali ..., apa ... apa itu adalah matahari?" Larkin masih tak bergeming, dia terpana dengan apa yang sedang dilihatnya.
"Tidak usah banyak protes! Tak ada waktu menjelaskannya."
"Hei, aku ini bukan tawananmu! Kenapa kau kau terus saja mengaturku!" dengus Larkin kesal.
Xena mulai kehilangan kesabaran. Dia hendak membuat pria itu tidak sadarkan diri, agar lebih mudah sampai ke tempat tujuannya. Tapi rupanya Larkin bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh Xena.
"Terakhir kali kau melayangkan sebuah pukulan, aku tersadar dalam keadaan terikat. Tapi tidak untuk kali ini. Lagipula kenapa kita tidak bisa duduk sejenak sambil beristirahat?"
"Dasar, Bodoh! Kau cerewet sekali. Jika benda di langit itu menghilang, maka_"
"Maka apa?"
"Maka ... mahluk itu akan muncul ...," ucap Xena tersurut beberapa langkah.
Wanita itu terkesiap saat sebuah mahluk seukuran dua kali tubuh Efitra sudah merayap keluar dari perairan dan bersiap menyerang mereka berdua.
"Mahluk apa yang kau maksud?"
"Diamlah! Jangan menoleh ke belakangmu! Saat aku membalikan badan, kau pun mulai berlarilah sekuat tenaga!"
"Tapi_" Larkin tidak meneruskan ucapannya karena Xena sudah berbalik dan menghambur pergi melewati jembatan yang ada di hadapan mereka.
Pemuda itu penasaran, dia malah berbalik. Saat menyadari perkataan Xena itu benar. Barulah Larkin mulai berlari sekuat tenaga ke arah yang sama dengan Xena. Lebih lagi hanya beberapa kedipan mata, mulut lebar dan bergigi besar juga tajam mengaga hendak mencabik-cabik tubuhnya.