Larkin terhempas beberapa langkah, sedangkan Xena dengan gerakan kilat menyambar tubuh pria berjenggot alias Lac. Terdengar jerit kepanikan dari penduduk setempat, saat mahluk sepanjang puluhan kaki menyeruak dari dalam hamparan pasir.
Beberapa prajurit berjubah hitam dan bercadar seperti yang dikenakan oleh Xena, mengamankan kaum Zagha. Mereka memasuki lorong rahasia dan dalam sekejap tempat itu rata dengan pasir.
"Tuan Lac, Anda bersembunyi saja. Biar aku yang menghadapi Efitra," seru Xena.
Seorang prajurit lain membawa tubuh Lac, kini hanya tersisa beberapa orang prajurit saja. Larkin menatap mahluk menyeramkan itu tanpa berkedip. Barisan giginya yang panjang terlihat seperti ingin mencabik-cabik tubuhnya.
"Dasar penyihir jahat! Bisa-bisanya merubah Efitra menjadi monster!" dengus Xena.
Dia menghempaskan jubah hitamnya, seketika benda itu menyambar bagian mata Efitra. Mahluk itu menggeliat dan berbalik menyerang ke arah Xena.
"Cepat bawa pemuda itu, Xena!" Teriak seorang prajurit.
"Bagaimana dengan kalian?"
"Kami terlahir untuk ini. Kami bangga meskipun harus mengorbankan nyawa asalkan semesta Aileen kembali pulih seperti sedia kala. Jangan pikirkan kami, lekas selamatkan pemuda itu!"
Xena mendengus, namun akhirnya dia menganggukan kepalanya. Dia merapatkan tangan kanannya di sebelah kiri dadanya sebagai tanda hormat. Prajurit lain membalasnya dengan gerakan serupa.
Belum sempat Xena meraih lengan Larkin, sebuah bayangan muncul di atas kepala Efitra.
"Tenanglah! Aku disini hanya untuk memberikan pertukaran bagus. Serahkan pemuda itu dan ku ampuni nyawa kalian semua!"
"Enak saja kalau bicara! Dasar kau penyihir jahat! Kami tidak akan menyerahkannya kepadamu!" Xena berteriak geram.
"Dimana sahabatku?" Kali ini Larkin tidak tahan lagi untuk membuka suara.
"Hahahaha! Sahabatmu baik-baik saja, asalkan kau ikut denganku!"
"Jangan Larkin! Dia menipumu!" Xena berkata.
"Tidak Sayang. Ah! Kau sangat gagah dan tampan seperti ayahmu! Kemarilah!"
Secepat kilat bayangan seorang perempuan cantik berambut panjang mendekat pada Larkin.
"Larkin! Jangan menatap matanya!" Xena kembali berteriak mengingatkan pemuda itu.
Namun Larkin tidak bisa bergerak, dia terpatung dan mulai menatap bayangan tersebut. Xena tidak tinggal diam, dia melayangkan jubah hitamnya kembali ke arah Efitra. Hingga mahluk itu menggeliat.
Xena mengambil celah untuk menyambar tubuh Larkin. Diikuti beberapa prajurit yang tersisa menyerang mahluk itu tanpa ampun. Mereka tahu, bahwa sosok perempuan cantik yang ada di atas kepala Efitra hanyalah bayangan saja.
"Dasar bodoh! Hanya itukah kemampuan dari para prajurit Lac?" dengus sosok perempuan tersebut.
WUTTT! DAAAASH! BYAAAARRRR!
Hantaman ekor Efitra menyerang prajurit tadi. Mereka terpental dan terkapar tidak berdaya. Dari dalam mulut Efitra menyemburkan sambaran api, dalam sekejap pemukiman tersebut porak poranda.
***
Xena menghempaskan tubuh Larkin pada sebuah gundukan batu pasir. Nafasnya terengah-engah.
"Kalau bukan kau harapan kami satu-satunya, rasanya lebih baik aku tinggalkan saja kau disini," ucapnya kesal.
"Kalau begitu kenapa kau malah membawaku pergi, mungkin lebih baik aku ikut dengan perempuan cantik tadi agar aku bisa membawa sahabatku kembali."
"Kau masih lemah, Larkin. Untuk berlari saja kau kelelahan. Apalagi melawan utusan Malvolia. Dan biar ku perjelas wanita cantik tadi adalah Malvolia."
"Penampakannya tidak seperti penyihir jahat seperti yang kau katakan," seloroh Larkin.
Xena mendengus, "Jangan tertipu dengan matamu, kadang penglihatan bisa saja memperdayaimu."
"Lalu bagaimana aku bisa menyelamatkan sahabatku?"
"Kita bergabung dengan yang lainnya. Jangan cemaskan hal itu, penyihir tersebut masih membutuhkan temanmu itu hidup-hidup agar kau mendatanginya."
Setelah berkata pada Larkin, Xena memberi tanda agar pemuda itu mengikutinya. Antara masih bingung dan khawatir pada Birk akhirnya Larkin memutuskan untuk menuruti Xena.
"Sepertinya kita harus bermalam di sini."
"Bukannya tadi kau bilang kita harus segera bergabung dengan yang lain?"
"Memang benar, tapi hari sudah mulai malam. Di luar wilayah desa Orken, mahluk semacam Efitra bisa saja muncul menyerang kita."
Larkin menghampiri Xena, wanita itu berbaring begitu saja meski hamparan pasir hanya menjadi alasnya. Sejauh mata memandang, Larkin hanya melihat penampakan gurun. Tidak ada satupun tumbuhan atau yang lainnya, benar-benar sangat berkebalikan dengan suasana sejuk di hutan Alden.
"Aku masih penasaran ketika Lac memintaku untuk mendekat, dia berkata bahwa ingin menyentuh wajahku untuk membayangkan aku lebih mirip ayah atau ibuku. Dan wanita yang kau sebut sebagai penyihir itu juga bilang bahwa aku mirip seperti ayahku. Apa baik Lac maupun wanita itu memang mengetahui siapa sebenarnya kedua orang tuaku? Dan kenapa semua orang berkata bahwa aku satu-satunya harapan mereka. Aku benar-benar tidak mengerti," ucap Larkin.
"Aku tidak punya kewenangan untuk menjelaskannya, Tuan Lac yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Sebaiknya kau istirahat, besok pagi kita menuju Barat menyusul mereka."
"Tung, tunggu dulu! Ku pikir mereka berlindung di ruangan bawah atau semacamnya. Aku sempat melihat saat mahluk itu menyerang, beberapa prajurit menggiring para penduduk yang panik ke dalam sebuah ruangan_"
"Daerah Orken hanyalah hamparan pasir, Larkin. Kami bertahan hanya untuk menunggu kedatanganmu. Itu waktu yang sangat lama, ketika kutukan Malvolia menciptakan musibah bagi rakyat Aileen. Lac yang saat itu terluka parah melarikan diri ke daerah Orken. Efitra adalah simbol Orken, dia seperti penjaga bagi kaum Zagha. Dahulu desa kami sangat makmur meskipun hanya menambang pasir atau membuat batu pasir yang dipadatkan. Beberapa daerah dari desa lain sering bertukar dengan benda berharga atau bahan makanan.
Sebagai gantinya kami memasok benda yang kukatakan tadi untuk mereka jadikan sebagai bahan bangunan tempat tinggal mereka. Keahlian itu sudah diwarisakan turun-temurun, batuan pasir yang padat katanya lebih kuat hanya dibandingkan dengan kayu oak. Bisa kamu lihat rumah kami meski sederhana tapi tahan lama."
"Pantas saja, penampakannya berbeda dengan rumahku di hutan Alden."
"Hutan Alden?" tanya Xena membulatkan kedua matanya.
"Ya, aku dibesarkan oleh sepasang Ogard, begitulah Birk menyebut ayah dan ibuku. Aku tinggal di bagian hutan Alden paling dalam. Disana sangat sejuk, dan masih ada beberapa kijang atau domba untuk di jadikan sebagai bahan makanan kami."
"Tak ku sangka kabar itu memang bukan isapan jempol belaka, aku hanya mendengar dari para tetua kampung saat aku kecil. Mereka menceritakan kisah tentang sebuah pohon kehidupan tempat tinggal kaum Elvish. Daerah itu merupakan keajaiban dan terberkati oleh para dewa."
"Maksudmu pohon Mor?" tanya Larkin menolehkan wajahnya.
"Apa pohon itu benar-benar masih ada?"
Larkin jadi terdiam karena menceritakan kisah hidupnya selama di hutan Alden, mengingatkan dirinya pada Myrtle dan Xue. Pemuda itu menatap penuh selidik pada wanita yang duduk disampingnya. Sepercik sinar yang terbias dari batu menyerupai lampu, membuat mata indah milik Xena terlihat begitu menakjubkan. Untuk sesaat Larkin terpana, dia sangat penasaran melihat bagaimana wajahnya.
"Sebelum melanjutkan kisahku, bisakah kau membuka cadarmu itu?"
Xena tercekat, "Apa maksudmu? Itu sebuah permintaan yang tidak sopan yang keluar dari mulut seorang pangeran? Emh, maksudku dari seorang pemuda kepada gadis yang baru dia kenal."
Xena langsung meralat ucapannya, namun Larkin sudah telanjur mendengar.
"Kau menyebutku apa tadi? Pangeran?" tanya Larkin menatap tajam.
Sedangkan Xena merasa bodoh, karena dia lupa akan janjinya pada Lac.