Larkin dan Birk terus berjalan mengikuti arah lorong tersebut. Beberapa batu seperti deretan manik-manik memantulkan cahaya warna-warni seperti pelita yang menuntun mereka. Ruangan bawah tanah itu cukup panjang, dan semakin menyempit. Benar saja, apa yang dikatakan oleh Flynn bahwa tempat itu menghubungkan jalan ke kolam Lloyd.
Ketika mereka sampai di ujung lorong. Langit sudah terang, meskipun tak ada matahari. Namun Larkin bisa memastikan bahwa malam sudah beranjak. Suara mahluk mengerikan juga tak lagi terdengar. Larkin menaiki gundukan tanah yang membentuk seperti tangga, diikuti langkah hati-hati sahabatnya. Sesampainya di pinggir kolam, ujung lorong bawah tanah menutup dengan sendirinya. Membuat Birk tercekat dan memajukan langkah.
"Tempat itu seperti menyatu dengan rerumputan, Larkin. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana ibumu membuat ruangan tersebut, bukankah tubuhnya sangat besar."
Larkin menghela nafasnya, berada di ruangan pengap semalaman membuat dadanya sesak. "Aku tidak tahu, Birk. Terlalu banyak hal yang tidak aku ketahui, mungkin orang yang bernama Lac itu bisa menjawab semua pertanyaan kita. Baiklah, sebelum kita menuju utara ... ayo kita ke tempatmu!" ajak Larkin setelah nafasnya kembali normal.
Birk melangkah lebih dulu, dia menyusuri kembali jalan setapak yang penuh dengan rumput liar. Seiring langkah mereka semakin menjauh dari kolam, nampak tumbuhan jadi sangat jarang dijumpai. Pohon Mor yang letaknya tidak jauh dari kolam Lloyd pun semakin mengecil. Larkin berjalan di belakang, sesekali Birk menoleh. Dia seperti berpikir, lalu menoleh lagi.
"Kenapa kau terus menoleh ke belakang, Birk?" tanya Larkin heran.
"Aku hanya heran, kau nampak segar bugar sejauh ini. Padahal waktu itu, kau bahkan tidak bisa bergerak dan hilang kesadaran. Apa karena kalung itu?" Birk menunjuk pada benda yang diberikan oleh Flynn pada sahabatnya.
"Entahlah ...,"
"Sebaiknya kau masukan ke dalam baju, bukankah mahluk bersayap tersebut mengingatkan agar jangan sampai kau perlihatkan benda itu kepada siapapun?"
Larkin baru tersadar, lantas dia mengikuti saran temannya. Pemuda bermata biru dan sedikit tinggi dari Birk itu juga heran, dia merasa lebih ringan melangkahkan kakinya.
"Apa kalung ini mempunyai semacam penangkal kutukan?" tanya Larkin dalam benaknya.
Birk terpaku, saat tiba di rumahnya tidak mendapati satu orang pun. Dia berkeliling mencari-cari Elle, namun sebagian ruangan sudah lenggang. Air dalam kendi pun kosong, dan persediaan makanan lenyap dari dapurnya.
"Kemana mereka semua? Kenapa tidak ada satu orang pun?" tanya Larkin seakan mewakili isi kepala Birk.
"Sepertinya keluargaku sudah meninggalkan tempat ini. Tunggu dulu! Mungkin Elle meninggalkan jejak untukku," Birk berkata lalu melangkah ke samping rumah. Dia menggali sesuatu di bawah kendi kosong.
"Benar, adikku meninggalkan pesan bahwa mereka pergi ke arah selatan." Birk berkata, lalu menutup kembali tanah yang tadi dia gali.
"Dari mana kau tahu?"
"Elle menuliskannya di sini, mungkin ayahku berpikir tempat ini sudah tidak aman untuk mereka tinggali lagi. Setidaknya aku lega, jika mereka mengarah ke selatan itu artinya kemungkinan besar ayahku ke tempat dimana penduduk desa mengungsi. Tapi ....,"
"Tapi kenapa Birk?" tanya Larkin kembali. Dia memperhatikan selembar kain kering terbuat dari kulit domba dilipat oleh Birk.
"Tak apa, aku dan Elle terbiasa mencari harta karun ketika sedang bermain bersama dulu. Jadi, aku yakin Elle mengatakan mereka menuju Selatan. Baiklah, Larkin sebaiknya kita bergegas menuju arah sebaliknya untuk segera menemui orang yang bernama Lac tersebut. Aku harap perjalanan kita berjalan mulus, aku masih punya persediaan air dan sedikit makanan untuk bekal."
"Ini pertama kalinya aku keluar dari hutan Alden, sebaiknya kau yang memimpin," ucap Larkin mempersilakan Birk mengambil langkah lebih dulu.
"Tak masalah, sedikitnya aku tahu seingatku wilayah kerajaan Aileen sangat luas. Jika aku tidak salah, wilayah Utara merupakan Padang pasir_"
"Benarkah?" Larkin membulatkan matanya yang biru kehijauan itu.
Birk mengangguk lantas mulai memimpin perjalanan mereka.
***
Sebuah gurun pasir terhampar cukup luas. Siapapun yang menapak di atasnya akan merasakan kering tenggorokannya. Matahari lebih terlihat meski masih tertutupi gumpalan awan yang memenuhi langit. Namun entah mengapa, baik Larkin maupun Birk sama-sama berkeringat. Kendi kecil yang terselip diantara ikat pinggang Birk pun hanya tinggal terisi seperempatnya.
"Tahu begini, aku bawa saja kendi besar di dapur tadi. Lalu kembali ke kolam Llyod. Aku sangat heran, kutukan di negeri Aileen membuat cuaca tidak menentu." Birk mengeluh, lututnya seperti mau pecah karena sudah melalui gurun pasir tersebut sedari tadi. Namun sejauh mata memandang hanya hamparan pasir gersang.
Larkin tak jauh berbeda, rambutnya tertiup angin hingga kadang menutupi wajah. Dia menghentikan langkah kakinya ketika Birk akhirnya menyerah setengah bersimpuh di hamparan pasir tersebut Wajahnya yang tirus dengan keringat mengucur itu mendongak ke arah Larkin. Matanya menatap aneh pada sahabatnya.
"Aneh sekali, kau sepertinya tidak merasa kelelahan. Padahal saat aku bawa ke tempatku kau bahkan tidak sadarkan diri. Apa ... karena kalung itu?" Birk bertanya.
"Mungkin," sahut Larkin meraba kalung dari balik pakaiannya yang sudah kotor terkena debu sepanjang perjalanan.
"Apa kau tidak merasa haus?" Birk bertanya lagi.
"Sedikit. Tapi, kita harus segera menemukan penduduk sekitar sebelum hari gelap."
"Lihatlah, Birk! Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan disini. Aku merasa sejak kita memasuki daerah gurun, kita tidak pernah sampai. Hanya berputar-putar saja. Larkin, coba kau keluarkan kalung itu. Siapa tahu benda tersebut bisa menuntun langkah kita," ucap Birk sambil menahan dahaganya.
"Ah, betul. Kenapa tidak terpikirkan olehku dari tadi."
"Aku pun baru teringat sekarang, Larkin."
Larkin akhirnya mengeluarkan kalung yang selalu dia selipkan diantara bajunya. Kain kasar dari bulu domba tersebut lagi-lagi mengingatkannya pada Myrtle.
"Tidak ada apa-apa, kalung ini masih berbentuk sama." Larkin berkata sambil melihat kalungnya.
"Ku rasa ada yang berbeda, Larkin. Seingatku liontin itu berwarna putih."
Birk langsung memperhatikan kalungnya kembali dengan seksama, apa yang diucapkan oleh Birk itu ternyata benar. Karena penampakan dari liontin tersebut memancarkan warna biru kehijauan, meskipun terlihat samar.
"Larkin, jika dipikir-pikir warna batu permata pada liontinmu itu sama persis dengan warna bola matamu. Apa itu ada hubungannya?"
Larkin menggelengkan kepalanya, karena tidak mau mengambil resiko. Dia kembali memasukan kalung pemberian dari Flynn tersebut di balik bajunya.
Birk menyapu keringatnya dengan ujung kain, lagi-lagi dia mengeluh.
"Aku semakin penasaran soal kutukan itu, Larkin. Wanita bersayap yang kita temui di ruang bawah tanah itu memang tidak bohong. Semesta Aileen menjadi kacau balau. Bukan hanya cuacanya, tetapi semua hal yang berhubungan dengan yang ada di sini seperti tidak berada pada tempatnya. Ku harap kita segera menemukan orang yang bernama Lac itu. Dia pasti mengetahuinya."
"Kau yang berada di luar hutan Alden pasti lebih dapat merasakan kondisi tersebut, Birk. Sementara aku, selama ini hanya tinggal di seputar hutan tersebut tanpa tahu apa-apa. Ah! Jika saja Myrtle tidak tewas, mungkin_"
"LARKIN! AWAS!!!" Birk berteriak.
Kalimat Larkin terputus serta merta ketika sebuah mahluk setinggi dua kali pohon Mor menyeruak dari dalam gurun tersebut dan hampir saja menariknya.