Larkin mulai membuka matanya, perlahan dia bangkit dan mendapati Birk sedang duduk termangu di pinggir kolam Lloyd. Matanya yang biru menatap ke arah langit, "Ku pikir tadi kau sedang membawaku ke tempatmu, Birk? Atau ... apa aku yang tadi sedang bermimpi?"
"Kita memang sempat kesana. Tapi, kedua orang tuaku tidak mengizinkanmu tinggal. Aku marah, dan memutuskan untuk pergi bersamamu." Birk menjawab tanpa menoleh. Dia masih menatap ke arah seberang kolam dengan pandangan mata kosong.
"Kau?" tanya Larkin menatap lekat.
Kali ini Birk menoleh, "Kenapa? Apa kau juga akan mengusirku seperti mereka?"
Larkin tertegun, dia menghela nafasnya ke udara. Lantas duduk disamping Birk, ikut menikmati pemandangan dari kolam Lloyd. Menjelang hari gelap, terkadang jika langit sedang bagus beberapa bintang seperti sedang bercermin. Larkin biasanya akan menikmati suasana indah itu, tapi dia tidak bisa berlama-lama karena Myrtle pasti akan memarahinya jika pulang terlambat.
"Kenapa kau meninggalkan keluargamu demi aku, Birk?" tanya Larkin. Dia masih menunggu siapa tahu bintang akan nampak pada pantulan kolam Lioyd.
"Dasar bodoh! Siapa bilang aku melakukan semua ini demi kau!" tandas Birk mendengus.
"Tadi kau bilang, kau diusir gara-gara membelaku."
"Aku marah karena mereka tidak mau mempercayaiku. Seharusnya ... sebagai orang tua, mereka tidak perlu meragukan anaknya. Sudahlah, lagipula aku sudah bosan harus terkurung dalam aturan. Aku ingin menjadi seorang pria yang bebas, lagipula usiaku sudah 240 purnama."
Dengan gerakan refleks, Larkin menoleh ke arah Birk. "Kau? Jadi, aku ini lebih muda darimu ...,"
"Memangnya berapa usiamu?"
"Hanya tinggal sebentar lagi aku genap 200 purnama. Hhhh ..., aku jadi teringat dengan Myrtle. Ibuku berjanji padaku, di waktu yang istimewa itu, dia akan menceritakan soal kutukan yang terjadi di negeri Aileen. Sayangnya ... dia sudah pergi. Mungkin, aku tidak akan pernah tahu tentang cerita itu." Larkin mengeluh, tatapannya menerawang jauh. Kini yang dia lihat di pantulan kolam Lloyd adalah wajah Myrtle, bukannya bintang-bintang yang sedang dia tunggu.
"Apa kau merasa bahwa kita punya kesamaan dalam hal ini, Larkin?"
"Tentang apa?"
"Ibumu menunggu kau berusia 200 purnama untuk menceritakan soal kutukan itu. Dan kedua orang tuaku, mereka selalu menyembunyikan sesuatu dari kami. Apa semua orang tua selalu menyimpan rahasia dari anak-anaknya?" tanya Birk menatap mata Larkin.
"Entahlah! Tapi Birk, pasti ada alasan tersendiri kenapa mereka berbuat begitu. Satu hal yang pasti, semua orang tua menyayangi anaknya. Mungkin memang harus menunggu saat yang tepat, atau mereka merahasiakan sesuatu untuk kebaikan kita. Siapa yang tahu, bukan?"
"Ya, mungkin benar apa yang kau katakan itu Larkin. Hanya saja, aku terkadang muak karena harus menuruti semua perintah mereka. Seakan-akan aku tidak punya hak menentukan keinginanku sendiri. Apa kau sering merasa seperti itu?" tanya Birk lagi.
"Terkadang aku juga merasa tidak bebas dalam aturan Myrtle. Tapi, disaat aku bertanya kenapa. Dia hanya bilang, bahwa pada waktu yang tepat semua pertanyaanku akan terjawab. Birk, apa aku harus kembali ke rumahku? Mungkin saja, disana ada petunjuk yang ditinggalkan oleh Myrtle untukku."
"Tapi kau bilang mahluk itu masih berkeliaran di hutan Alden. Bahkan mungkin ada di sekitar kolam ini. Sial!!! Kenapa aku baru teringat hal itu, mungkin saja dia sedang mengendap-endap menunggu kita lengah. Lalu membunuh kita! Tidak, Larkin! Ayo cepat pergi dari sini sebelum mahluk itu datang!" ucap Birk panik bangkit dari duduknya.
"Kau saja yang pergi, akan kususul nanti. Aku harus kembali ke rumah untuk menemukan petunjuk. Jika Myrtle merahasiakan sesuatu yang penting untuk dia ungkapkan, ibuku itu pasti mempunyai sesuatu sebagai petunjuk. Mungkin tentang asal-usulku, atau hal lainnya. Yang pasti, firasatku mengatakan aku harus kembali kesana." Larkin bersikukuh membuat Birk tidak punya pilihan selain mengikuti langkahnya.
Kedua sahabat itu menggerakkan kaki mereka dengan cepat, karena hari semakin gelap. Langit hanya ditutupi oleh awan, sesekali beberapa titik cahaya bintang terlihat saat gumpalan awan itu menjauh. Larkin memeriksa kembali sisa-sisa rumahnya yang sudah rata dengan tanah. Bekas terbakar meninggalkan noda hitam dimana-mana saat gumpalan awan menjauh dan cahaya bulan terbias. Adalah pemandangan yang langka melihat bulan menampakan bentuknya. Seakan di atas langit Aileen tertutupi oleh kegelapan. Hanya saat purnama saja, bulan akan terlihat jelas.
Larkin mencoba mengingat-ingat, mungkin Myrtle pernah menyinggung tentang sebuah petunjuk. Tapi, pemuda itu tidak menemukan jawabannya. "Ayolah, Myrtle! Beri aku tanda, aku yakin rohmu masih melihatku dari atas sana." Larkin berkata, sementara Birk memasang sikap waspada. Meski tidak berada di tempat kejadian, tapi mendengar cerita Larkin sudah dipastikan mahluk yang membunuh Myrtle itu sangat berbahaya.
"Apa kau sudah menemukan petunjuk? Kita harus bergegas, sebentar lagi purnama. Aku bisa melihat awan-awan itu menjauhi cahaya bulan," ucap Birk sambil mendongkak ke atas.
"Aku belum menemukannya, tapi mungkin ada di suatu tempat. Coba bantu aku memikirkannya!" jawab Larkin sambil terus mencari. Tapi yang dia temukan hanyalah onggokan sisa pembakaran jerami dan kayu oak.
"Apa kau sudah memeriksa ke dalam tanah? Maksudku mungkin ibumu menaruhnya di sana, coba saja kau gali sembarang tempat!"
"Kenapa tidak terpikir olehku? Baiklah akan aku coba," ucap Larkin mengarahkan pandangannya ke bawah. Dia mencoba menggali sembarang tempat, tapi tidak menemukan apa-apa. Merasa kesal, pemuda itu melemparkan batu_yang dipakai_hingga mendarat tepat dimana Myrtle meregang nyawa.
"Tunggu ..., aku ingat sesuatu!" Larkin memejamkan kedua matanya, dia membayangkan kembali saat ibu angkatnya itu diserang oleh raksasa buas. "Birk! Kemarilah!"
Mendengar panggilan Larkin, pemuda berkulit gelap tersebut segera mendekat. "Kau menemukan petunjuknya, Larkin? Mana?"
"Belum, aku masih belum menemukan apapun. Tapi, aku baru saja teringat, saat Myrtle akan menghembuskan nafas terakhirnya. Dia menunjuk ke arahku, aku ... saat itu ada di ... sini_" Larkin melakukan reka adegan saat malam naas tersebut. Dari tempat Myrtle tewas, pemuda itu maju beberapa langkah. Lantas mulai menggali disekitarnya.
"Sial! Tidak ada apa-apa disini!" keluh Larkin kembali.
"Emh, mungkin yang dia tunjuk itu bukan kau. Tapi bisa jadi menunjuk ke suatu arah, patokan atau hal lainnya." Birk mencoba ikut berpikir.
Larkin kemudian kembali ke tempat Myrtle tewas. Dia memposisikan dirinya seperti saat ibunya itu terbaring tidak berdaya. Pemuda itu berpikir keras, dan mulai mengarahkan pandangannya lurus. Tiba-tiba kedua bola matanya membulat, warna biru kehijauan dari pupilnya terbias sinar bulan yang hampir menampakan bentuk sempurna.
"Aku tahu, Birk! Kau benar, Myrtle bukan menunjuk kepadaku. Tapi ke arah yang akan memberiku pentunjuk. Oh, Birk. Kau pintar sekali. Bagaimana caranya kau bisa berpikir kesana?" Larkin menyeringai, dengan langkah cepat dia menghampiri sebuah pohon oak. Lalu mulai menggali di sekitarnya.
"Apa benar ini tempatnya?" tanya Birk mendekat.
"Iya, aku yakin. Myrtle senang sekali duduk dibawah pohon ini. Tadinya ada kursi kayu disebelah sini," ujar Larkin menunjukkan tempat dimana ibunya sering menghabiskan waktu. Di tempat itu juga, belakangan Xue selalu termenung menatap langit. Sebelum akhirnya ayah angkatnya itu pun ikut menghilang di malam yang sama saat Myrtle dibunuh.
Larkin mengayunkan beberapa kali_batu yang meruncing tersebut. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti, karena benda itu mengenai sesuatu. Tangan Larkin menyingkirkan gundukan tanah yang menghalangi galiannya tadi. Dia tercekat, kala sinar bulan purnama ikut menyoroti tempat itu. Matanya bisa melihat dengan jelas, ada semacam kotak dari kayu oak menyerupai daun pintu yang posisinya mendongkak ke atas langit.
"Apa ini? Terlihat seperti pintu ...," tanya Larkin mengerutkan dahinya berbarengan dengan suara raungan panjang yang memecah telinga dari arah barat.
"Sial! Mahluk itu lagi!" Larkin terdengar memaki, tanpa pikir panjang dia segera membuka pintu misterius itu. Sebuah jalan rahasia menuju bawah tanah terlihat samar terkena bias cahaya purnama. Suara mengerikan dari raksasa pembunuh Myrtle memaksa Larkin untuk merangsek masuk ke dalam sana. Diikuti oleh Birk yang ikut panik diselimuti ketakutan.