Aisyah tahu apa inti dari perkataan Cassie. Kemudian ia teringat banyak pula temannya yang memakai kerudung, tetapi tidak mematuhi syariat tata cara berkerudung yang sebenarnya. Dan jika ketakutan Cassie seperti itu, bukankah itu berarti Cassie mempunyai semacam kecemasan bila dirinya hanya melakukannya setengah-setengah? Dan ada kemauan secara sungguh-sungguh untuk menerapkan syariat Islam. Lagi pula bagi seorang mualaf seperti Cassie, yang selama ini benar-benar jauh dari bimbingan Islam, rasanya perubahan yang bertahap sedikit demi sedikit adalah yang paling baik untuknya.
"Lalu sampai kapan kamu mau akan benar-benar menjadi seorang Muslimah sejati?"
"Sampai aku sudah mendapatkannya. Aku akan mencari."
Aisyah mengangguk. Sebuah keputusan yang logis. Ia kenal betul siapa Cassie. Seorang gadis dengan kemauan keras yang tak akan berhenti berusaha sampai apa yang diinginkannya tercapai.
Cassie berkaca pada Aisyah, yang meskipun tidak berwajah cantik namun tetap disegani banyak orang. Mula-mula ia mengira ini dikarenakan kepandaian Aisyah. Ternyata ia juga baik hati, ramah, dan santun dalam perbuatannya.
"Agama memberi suatu kesucian atas prinsip moralitas, seperti kejujuran, keadilan, dan persaudaraan...."
"Tapi bukankah kita bisa melakukan itu tanpa memeluk agama?" potong Cassie.
Aisyah tersenyum. "Benar! Namun tanpa keimanan agama yang kuat, konsepsi-konsepsi seperti itu akan kehilangan kesuciannya. Berbuat baik hanya akan menjadi suatu rekomendasi, bukan kewajiban. Dengan kata lain, kita bebas untuk berbuat baik atau sebaliknya. Tidak ada yang mengikat."
"Berarti agama akan mengekang kita dengan kewajiban seperti itu?"
"Benar! Apa kamu tidak merasa bahwa kita diciptakan untuk saling menghormati dan berbuat baik pada sesama? Aku kira, itu adalah prinsip suatu prinsip yang universal." jelas Aisyah lagi.
Cassie terdiam. Dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Aisyah. Makin mantap lah ia dalam memeluk Islam ---sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya hingga beberapa bulan yang lalu.
Sayangnya, satu bulan kemudian Aisyah mendadak harus kembali ke negaranya. Perpisahan yang mengharukan. Padahal Aisyah mengatakan, ia akan mengajarkan mengaji. Sebelum pulang, Aisyah menghadiahkan sebuah kerudung manis berwarna merah muda.
"Pakailah! Aku ingin melihatmu memakainya." Aisyah tersenyum di antara matanya yang sembab. Cassie menimang kain kerudung itu di tangannya.
Inikah saatnya? Cassie bertanya dalam hati.
"Setidaknya sebelum pulang, aku ingin melihatmu untuk memakainya, biarpun hanya sekali. Meskipun setelah ini kau copot kembali, dan meneruskan pencarianmu. Walaupun sejujurnya aku tidak mengharapkan itu."
Ah...., sesungguhnya aku pun telah lelah mencari. Biarlah setengah dari keraguan ini kukorbankan. Dan dengan pengorbanan ini akan kucari setengah dari keraguan itu ---Dan berharap akan ketemu jalan keluarnya.
Cassie mengangguk. Dibiarkan saja Aisyah menyematkan kain itu di kepalanya.
"Cantik....," puji Aisyah.
"Aku tidak ingin menjadi cantik!" kata Cassie cemberut. Ia meraba puncak kepalanya yang semuanya kini telah tertutup dengan kain kerudung.
"Aku belum selesai bicara!" kata Aisyah dengan tersenyum. "Lembut dan tidak mencemari pandangan."
Beberapa menit kemudian mereka berpisah, namun mereka tetap berjanji untuk saling berkirim kabar melalui surat.
Cassie semakin rajin pergi ke Islamic Center untuk mengikuti kajian-kajian keislaman. Dan di sana ia bertemu dengan Nico, seorang pelajar dari Indonesia yang kuliah di Monash University ---Universitas yang cukup mapan di Melbourne. Mereka banyak mengobrol tentang Islam. Cassie banyak belajar darinya. Bahkan, beberapa kali Cassie diajak oleh rombongan Nico untuk mengikuti kajian Akbar di Goldcoast.
Kini Cassie bukan lagu Queen Homecoming yang menggiurkan. Ditinggalkannya dunia gemerlap malam. Terlebih lagi setelah ia memakai kerudung, teman-teman jadi segan untuk mengundangnya dalam setiap kegiatan ingar-bingar. Mahkotanya kini terbalut kerudung dan bajunya serba tertutup. Akan tetapi, tetap saja kecantikannya tidak dapat tertutupi. Hanya bedanya sekarang ia jarang mendapatkan tatapan nakal para lelaki. Mereka akan malu sendiri buka mencoba menggodanya.
Teman Cassie menjadi semakin sedikit. Beberapa ada yang jijik dengannya. Tapi dengan begitu Cassie menjadi sadar, kepada siapa sesungguhnya ia harus berteman...
***
Cassie menatap mobil Nico yang makin lama semakin jauh, dan akhirnya hilang di belokkan perempatan jalan. Ia menjijing tas kertasnya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya digunakan untuk memutar kenop pintu utama apartementnya.
Di luar hujan semakin deras. Suaranya membuat bulu kuduk Cassie merinding. Keras sekali. Menutupi suara-suara yang lain.
Ia melewati koridor yang hanya diterangi cahaya lampu redup yang berkedip-kedip. Di bagian depan ia menyapa Forex, penjaga apartemen, yang duduk di depan televisi. Kepalanya beberapa kali terkantuk-kantuk.
"Selamat malam!" sapa Cassie sambil melongok dari balik celah kaca ruangan yang terbuka.
Forex bangun, gelagapan. Matanya merah. Diturunkan kakinya dari atas meja begitu melihat Cassie yang datang.
"Ehmm...., Miss Cassie! Saya sengaja tak mengunci pintu depan...," sahutnya. Forex mengusap bibir dengan punggung tangannya.
Cassie tersenyum. Membuat jantung forex berdegup.
"Ya...., saya tahu itu. Terima kasih!" balas Cassie masih dengan senyum ramahnya.
Forex bangkit dari tempat duduknya. Ia melewati celah yang sempit antara lemari file dengan mejanya. Kemudian ia keluar dari ruangannya.
"Ehmm...., apa ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak perlu. Saya bisa membawa barang-barang ini sendiri!"
Forex kelihatan kecewa. "Anda yakin?"
Cassie menggeleng dan tersenyum. Muncul lesung Pipit di pipinya.
"Kalau begitu saya ke atas dulu!"
Forex, salah satu korban pesona Cassie, mengangguk pelan.
Cassie segera beranjak. Ia menyempatkan untuk mengecek apakah ada surat yang masuk. Meskipun sudah sering melakukannya, toh ia masih saja menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari kotak posnya di antara banyak kotak pos milik penghuni apartemen lainnya.
Upss...., kotak posnya terletak di pojok paling atas. Ia sampai harus berjinjit untuk menggapainya. Ia meraba bagian dalam. Kelihatannya ada sesuatu.
Ia mengambilnya. Sepucuk surat. Dari Palestina.
"Aisyah?" batin Cassie girang. Dan benar saja. Aisyah.
Ini adalah akhir hari yang melelahkan. Ia memasukkan suratnya ke dalam tas kertasnya. Kemudian naik ke lantai atas. Karena lift rusak, maka Cassie harus rela menaiki anakan tangga untuk sampai ke atas.