Tiba-tiba saja ia teringat akan asistennya, Cassie. Diraihnya handphone.... Ia tadi lupa mengatakan pada Cassie bahwa besok pagi Mrs. Rayandra minta diantar ke klinik rumah sakit untuk menemui salah satu psikiater di sana.
Tidak ada nada sambung. Erwin Stark menatap handphonenya. Tidak mungkin handphonenya yang rusak. Pasti telepon apartement Cassie sedang ada masalah. "Ahh...., sudahlah besok aku toh akan bertemu dengan Cassie juga," pikir Erwin Stark. Lagi pula Cassie selalu berangkat ke klinik pagi-pagi sekali.
Duuaaarrrrrrrrr!!!
Kilat menyambar. Rasanya dekat sekali ---suaranya memekakkan telinga. Muda-mudi itu merapat. Si wanita langsung memeluk tubuh pasangannya. Dan lelaki itu meski tadi sempat kaget juga mendengar suara halilintar, akhirnya cengar-cengir saja melihat reaksi pasangannya. Lumayan...., rezeki nomplok.
Bersamaan dengan suara kilat, terdengar suara barang pecah. Cangkir yang di bawa pelayan wanita itu ternyata jatuh. Rupanya ia tak tahan untuk tidak menutup telinganya, hingga baki yang ia bawa akhirnya terbalik. Mukanya memerah, karena semua orang ternyata juga melihat ke arahnya --termasuk juga manajernya. Pelayan wanita itu tersenyum malu.
Erwin Stark tak dapat menyembunyikan rasa gelinya.
Dipandanginya langit malam. Hitam dah hujan yang seakan tidak ada habis-habisnya.
Kilat?
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Benar-benar malam yang menyeramkan...," desisnya lirih....
***
"Aaarrggghhhh...!!" Carren meraba kedua matanya yang pedih terkena serbuk merica. Rasanya seperti terbakar.
Bak kesetanan ia berlari menuju kamar mandi. Terantuk sofa di ruang tengah, ia berlari sembari meraba-raba. Ia tidak dapat melihat. Jika matanya di buka, rasanya akan semakin perih. Sakitnya seperti kulit dalam matanya ditusuk-tusuk jarum.
Carren menendang pintu kamar mandinya. Kemudian masuk. Ia meraba-raba sembari mengingat letak westafelnya.
Plukk!!
Tangannya menyenggol botol plastik ---mungkin botol sampo. Carren sedikit lega. Rak sabun, berarti ia sudah dekat dengan westafel. Tinggal menggerakkan tangannya ke bawah, dan.... Hup! Tangannya menyentuh keran air.
Dihidupkannya keras-keras.
Suara airnya menyembur keluar. Carren mengerang. Rasa pedih itu masuk semakin dalam. Mungkin sekarang telah menyentuh saraf penglihatannya. Ia berpikir, jika terlalu lama dibiarkan dirinya bisa jadi buta. Cepat-cepat ia menangkupkan kedua tangannya membentuk cekungan mangkok, dan itu digunakan untuk menampung air dan mengambilnya. Carren membasuh matanya. Agak mendingan, namun tetap saja masih kurang. Ia lalu menjulurkan kepalanya ke bawah keran. Kemudian ia menyadari kekeliruannya, bahwa kepalanya pastilah tak akan muat untuk masuk.
"Bodoh..., apa yang kulakukan?!!!?" pikir Carren gemas.
"Ia meraba samping kirinya. Disibaknya tidak bath tub. Tangannya kemudian menggapai-gapai keran shower.
Crrsssss!!!
Air keluar dengan deras. Beberapa butir air mendarat di bajunya. Serta merta lalu ia meloncat ke dalamnya. Wajahnya ditengadahkan ---tertimpa air shower yang menguncur menimpa memukuli kulitnya. Carren tak peduli, air telah membasahi rambut dan pakaiannya. Ia mengucek-ucek matanya. Menarik kulit kelopaknya, hingga ia yakin serbuk merica itu benar-benar sudah bersih.
Lumayan, meski tak bisa dibilang bersih total. Ia masih tetap bisa merasakan matanya nyut-nyutan. Saat bercermin, didapatinya bawah matanya telah memerah.
Mendadak Carren jadi teringat sesuatu.
"Cassie...?"
Carren berlari keluar. Dari pintu kamar mandi, ia bisa melihat kaki Cassie. Badannya tertutup tembok pembatas ruang tengah. Kaki itu tidak bergerak sedikitpun. Pingsan kah? Apakah dirinya terlalu kuat menggores muka Cassie, hingga ia kesakitan, dan kemudian jadi tak sadarkan diri?
Carren mendekat dengan hati-hati. Ia meraih payung yang tergeletak di pintu depan ---bekas dibawa Cassie tadi. Carren memegangnya erat-erat. Ia takut jika Cassie tiba-tiba bangun dan balas menyerangnya. Semakin mendekati pintu ruang tengah, Carren merapat ke tembok. Perlahan. Telinganya waspada pada suara gerakan sekecil apa pun itu.
Ia melongok lebih dekat lagi. Dilihatnya Cassie yang tergeletak. Darah yang menggenangi karpet Sage green dan membuat kubangan yang cukup besar. Muncul kekhawatiran Carren. Apa itu mungkin darah akan jadi keluar sedemikian banyak jika tadi ia hanya melukai pipinya?
Carren berjalan terus, hingga jarak dengan tubuh Carren hanya tersisa tinggal satu meter.
Muka Carren memucat. Dadanya seperti dipukuli oleh palu.
Cassie tergeletak pucat. Belati itu kini menancap di leher Cassie. Dalam.
Darah masih terus menetes melalui lukanya yang menganga. Lehernya sobek besar. Terlihat daging bagian dalam yang berwarna merah muda menyembul keluar.
"Tidak...!" desis Carren. "Ini kesalahan..."
Cassie tidak bergeming. Ketakutan yang teramat sangat menyerang Carren. Dirabanya pergelangan tangan Cassie, mencoba mencari denyut nadi kehidupan. Dan seperti yang sudah ia kira, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.
"Tidak....!!!" desis Carren sekali lagi. "Cassie mati...."
"Aku membunuhnya....!!!"
***
Carren menggotong mayat Cassie ke kamar mandi. Dibaringkannya jasad dingin itu ke dalam bath tub.
Carren setengah tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Ia kemudian meraih keran, dan menyalakan setelah mengambil karet penyumpal bath tub-nya. Air mengalir melalui puncak kepala Cassie, lalu turun ke rambutnya yang panjang berkilauan. Turun lagi melewati leher dan luka yang menganga terkena sayatan pisau. Air membawa darah merah segar yang turun merayapi tubuhnya. Dinding bath tub seketika langsung dipenuhi darah.
Carren menutup mukanya. Ia berulang kali mengumpat pada dirinya. Apa yang ia lakukan kini?!?!! Bodoh!!! Tolol!!! Ia terus mengumpat lagi.
Bagaimana mungkin ia punya ide untuk melakukan hal ini? Pandangannya merayapi tubuh Cassie. Kaku dan pucat. Darah telah banyak yang keluar dari dalam tubuhnya.
Ditatapnya sekali lagi wajah Cassie. Meskipun mati secara mengerikan, namun wajahnya tetap tenang. Bahkan sudah mati pun, ia tetap kelihatan mempesona. Matanya terpejam. Bibirnya membentuk sebuah garis senyum tipis. Bibirnya yang mungil itu kini membiru dan kerut-kerutnya kelihatan lebih jelas. Ini adalah senyuman Cassie yang terkahir.
Carren duduk bersimpuh di lantai sisi luar bath tub.
"Apa yang telah kulakukan ini?!?! Bodoh!!! Tolol!!!" kutuk Carren dalam hati.
***
Carren menuangkan cairan sampo, sabun cair, dan cairan pengharum lainnya ke dalam bath tub. Ia berharap usahanya itu dapat mengurangi aroma anyir berwarna merah itu keluar. Seluruh celah pintu dan jendela yang menghubungkan dengan dunia luar, disumpal dengan kain yang tebal dan diplaster. Ini untuk mencegah agar bau tidak menyebar untuk sementara waktu. Ia takut jika ada orang yang kebetulan lewat di depan pintu kamar apartemennya dapat mencium bau tersebut, dan kemudian malah melakukan sesuatu yang tak ia harapkan.
"Kenapa ini bisa terjadi?" keluh Carren dalam hati.
Ia tidak bermaksud untuk membunuh Cassie. Sungguh! Secuil pun tidak ada niatan itu dalam benaknya. Andai saja Cassie tidak memberontak, mungkin apa yang terjadi kini akan berjalan sesuai dengan rencana.
Carren menutup mukanya.
Dirinya tidak berhak disalahkan atas ketidaksengajaannya ini!! Membunuh Cassie adalah suatu ketidaksengajaan. Ia hanya ingin membuat sedikit sayatan di wajah Cassie. Sedikit. Itu saja.
Tapi apakah semua orang bisa memahami alasannya mengapa ia saat itu malah menyerang Cassie? Carren tidak yakin akan hal itu. Orang lain tidak akan dapat mengerti betapa menderitanya ia, karena menahan keinginan yang menggebu-gebu dalam dirinya. Salahkah jika ia berusaha menghilangkan perbedaan? Sedangkan perbedaan adalah sesuatu yang sangat tipis. Karena mereka kembar.