Kriiinggg....!
Suara telepon di pagi hari.
Carren yang tengah duduk melamun di atas karpet, terlonjak oleh suara dering telepon. Di depannya saat ini tergeletak formulir operasi plastik. Sedari tadi ia menimang-nimang keras itu. Sekaligus benaknya sibuk berpikir, apakah ia akan melakukannya atau tidak.
Perasaan yang bercampur aduk tadi telah menggoyahkan niatnya. Ekstase yang tadi dialaminya dengan cepat berubah jadi omong kosong besar.
Kriiinggg....!
Carren menatap telepon di atas rak buku. Hingga dering ketiga, ia akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.
"Assalamu 'alaikum....!" sapa suara di sebrang telepon.
Carren terdiam sebentar. Ia tidak tahu harus menjawab dengan apa. "Dengan siapa?" Suaranya datar.
"Mm...." Suara di sana kedengaran ragu. "Bisa bicara dengan Cassie? Saya Nico, temannya."
Carren tergagap, "Cas... Cassie..?!" Ia bingung harus berkata apa. Dan satu-satunya kalimat yang melintas di pikirannya adalah, "Ia sakit...!"
Tidak..., dia mati ---aku yang membunuhnya.
Terdengar nada suara kecewa dari sebrang sana.
"Sakit apa? Seriuskah?"
Carren meremas-remas keningnya. "Eh, tidak apa-apa..., hanya sedikit pusing. Mungkin beberapa hari lagi dia akan bisa masuk kerja lagi."
"Beberapa hari lagi? Serius sekali? Bila ia ingin ke Dokter, saya bisa mengantarkannya...."
"Tidak!" jawab Carren spontan. Ia kemudian sadar bahwa sikapnya barusan ini bisa memancing kecurigaan Nico. "Eh..., ia bilang.... ia akan menelpon temannya yang dokter untuk datang ke tempat ini saja. Terima kasih atas bantuannya! Selamat pagi!"
Carren nyaris memutuskan hubungan telepon, ketika suara Nico menyela.
"Tunggu! Titip pesan saja, bilang saya tadi menelpon. Sebenarnya ada pengajian malam ini, tapi karena Cassie sedang sakit lebih baik tidak saja. Yang penting saya sudah menyampaikan pesan. Dan sampaikan salam, semoga lekas sembuh." Nico menurunkan nada suaranya.... "Apakah ini Carren?"
Alis Cassie terangkat. "Ya....!"
"Senang bicara dengan Anda. Cassie sering bercerita banyak. Selamat pagi."
Muka Carren memerah. Ia meletakkan gagang teleponnya.
Sepi sekarang. Carren menarik lutut ke arah dadanya. Dilingkarkan kedua tangannya memeluk lutut, hingga saling bertaut satu sama lain. Kemudian dibenamkan kepalanya ke dalamnya. Serasa ingin ditelan bumi.
Namun kesepiannya lagi-lagi terusik.
Kriiinggg....!
Enggan Carren mengangkatnya. Ini pasti untuk Cassie lagi.
"Halo..., bisa bicara dengan Cassie? Saya Dr. Erwin Stark."
Carren tersenyum kecut. Ternyata banyak sekali orang yang akan kehilangan Cassie.
"Cassie sedang sakit," jawab Carren lirih.
***
Carren mematut-matutkan dirinya di depan cermin. Kerudung warna merah muda favorit Cassie, kini telah disematkan pada kepalanya. Dalam hati Carren berkecamuk. Ia tampak seperti orang aneh ---tepatnya seperti Cassie. Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk menutupi wajahnya yang luka. Carren menarik kerudungnya lebih ke bawah, dan bagian pinggirnya ditarik lebih ke tengah agar bisa menutupi lukanya. Tapi kerudung itu langsung merosot jatuh. Carren menggeram. Salahnya juga, ia tidak pernah memperhatikan bagaimana Cassie memakai kerudung ini.
Akhirnya Carren menarik rambutnya yang sebahu ke depan. Dengan itu ditutupinya bagian luka di wajah. Sedangkan kerudungnya hanya ia sampirkan ke atas kepala dan bagian ujungnya dilingkarkan ke lehernya. Ia kembali berkaca. Tidak jelek. Minimal lukanya tidak akan kelihatan mencolok. Tapi memang tidak benar-benar menutupi, karena rambut pirangnya yang jarang-jarang masih menyisakan kemungkinan kulit hitam bekas lukanya terlihat oleh orang lain yang sungguh-sungguh mengamatinya.
Carren mendengus. Memakai kerudung?!?! Huh!! Ia benci itu!! Aneh. Seperti roti yang dibungkus. Ia buru-buru menelan kata-katanya sendiri. Lebih tepatnya seperti roti hangus yang dibungkus. Ia ingat dirinya suka mencemooh Cassie jika memakai kerudung. Dan kini ia sendiri yang memakainya.
"Tapi tidak ada jalan lain." Carren merumuskan apologia.
Carren menyambar dompet Cassie (ia sendiri tak punya dompet). Kemudian ia berjalan menuju pintu apartemen. Sibuk untuk menata hatinya. Benarkah keputusannya ini? Ini akan jadi kali pertamanya menginjakkan kaki keluar, selama lebih dua tahun ini.
Carren ragu. Ia mundur beberapa langkah. Ditatapnya pintu itu lekat-lekat. Seakan dibaliknya ada monster menyeramkan yang kini tengah menunggunya. Carren tersenyum tipis, berusaha menutupi keresahannya. Bila sekiranya ada monster seperti itu yang berdiri di depan pintu, itu pasti dirinya.
Debar di dadanya bertambah cepat ketika ia kembali mencoba menggerakkan satu langkah lagi ke depan. Dibayangkan dunia yang ada di balik pintu itu. Dunia yang terang benderang dan penuh ingar bingar. Beda jauh dengan dunianya selama ini. Jika di sana adalah dunia yang terang, maka sebaliknya dunianya adalah bayangan.
Tapi ia tetap harus pergi. Atau ia tidak akan pernah memaafkan dirinya kali ini. Carren menekan perasaan takut dan enggannya. Dia kubur, bahkan injak-injak. Beberapa saat waktu berlalu ia tetap tidak bergeming. Kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam dompetnya. Cermin kecil. Butuh beberapa menit untuk meyakinkan dirinya bahwa luka di wajahnya sudah tertutupi.
Argh...., aku pasti sudah gila melakukan ini!!!
Carren membuka pintu. Masih dengan dada bergumuruh.
Argh.... aku pasti sudah gila melakukan ini!!
Carren membuka pintu. Masih dengan dada bergemuruh. la merasa sesuatu akan menabraknya bila ia membuka pintu ini. Satu inci, dua inci. Sedikit demi sedikit pintu terbuka. Di depan pintu itu tampak tembok apartemen seberang. Cassie berdiri sejenak di perbatasan pintu. Mengatur napasnya sambil meyakinkan dirinya. bawah tidak akan terjadi apa-apa. Hawa dan udara luar ini begitu beda. Segar....
"Pagi!"
Carren terlonjak. Seorang laki-laki menyapanya. Laki-laki itu. mungkin petugas kebersihan apartemen, sedang berjalan mendorong keranjang yang berisi tongkat pel dan ember. la berdiri di depan pintu apartemen sebelahnya.
Lelaki itu melepas topinya, memperlihatkan rambutnya yang dipotong cepak.
Carren menjawab sekadarnya. kemudian buru-buru membalikkan tubuhnya. la berjalan berlawanan arah dengan laki-laki itu. Untunglah keadaan tak banyak berubah sejak dua tahun yang lalu. la masih ingat letak tangga turun. Tidak lucu jika ia mengambil arah yang salah, dan kemudian berputar di hadapan orang itu.
"Miss Cassie...!" seru si laki-laki itu.
Carren menghentikan langkahnya.
Cassie?
Laki-laki itu mengira, dirinya adalah Cassie. Ia tidak tahu bahwa dirinya adalah orang lain. Dengan kerudung dan muka yang hampir sama -wajar jika laki-laki itu salah mengira.
Dada Carren kembali berdegup kencang. Ingin saja ia berlari meninggalkan laki-laki itu. Tapi bukankah itu akan menimbulkan kecurigaan. Ah.... lebih baik ia berpura-pura jadi Cassie saja. Toh tak ada salahnya....
"Ya...." jawab Carren, tanpa membalikkan badannya. Ia menerka laki-laki itu tidak benar-benar memperhatikan wajahnya. Jika cermat, sebenarnya laki-laki itu bisa melihat ada bagian dari wajahnya yang luka -dan mungkin saat ini sedikit tertutupi rambut dan kerudungnya. Tapi bagaimana laki-laki itu tak mengenali potongan rambutnya yang berbeda?
Wajah Carren berubah cerah. Pantas bila ia tidak hapal potongan rambut Cassie. Cassie toh tidak pernah memperlihatkan sehelai rambut pun di luar kerudungnya.
"Anu.... hendak ke mana? Bukankah kantor masih tutup?" tanya laki-laki itu.