Carren sadar bahwa pertanyaan itu bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan orang yang baru saja ketemu. Mungkin Cassie yang sebenarnya, sangat akrab dengan laki-laki ini.
Gila!! Padahal nama laki-laki itu saja Carren tidak mengetahuinya. Keringat dingin menetes di pelipis Carren. la berusaha mengingat ingat bagaimana Cassie akan bertindak saat-saat seperti ini.
Tenang, anggun, mempesona. Itulah Cassie!
Carren berbalik. Untung, jarak antara mereka cukup jauh. Carren berharap laki-laki itu tak dapat mengenali lukanya. Namun tak ayal pula Carren mengangkat tangan satunya untuk menutupi bagian lukanya -dengan gaya yang dibuat sewajar mungkin.
"Aku mencari drug store yang buka. Gigiku agak sakit!" jawab Carren. la mendapatkan ide itu ketika dirinya teringat, bahwa orang sakit gigi biasanya menutup pipinya dengan tangan.
"Oh... itu!" Laki-laki itu tersenyum. Carren bisa melihat muka laki-laki itu sedikit memerah.
Gawat! la suka padaku. Pada Cassie!
"Di ujung jalan itu biasanya ada satu yang sudah buka pagi pagi. Coba saja!"
Carren tersenyum kikuk. la kemudian mengucapkan salam dan berbalik pergi. Ia berusaha agar jalannya terkesan santai dan anggun -padahal ia merasa kurang nyaman dengan berlambat-lambat macam stupor itu. Carren tahu, laki-laki itu masih di belakangnya. Mungkin juga masih menatapnya.
Carren ingin sekali berjalan cepat-cepat. Namun ia segera sadar, bahwa tindakannya akan membuat lelaki itu curiga.
Carren meniti tangga turun. Setelah lama berjalan, ia berhenti. Matanya melirik ke belakang. Perlahan. Carren menghela napas lega. Laki-laki itu tidak mengikutinya.
la kemudian melangkah lagi. Kali ini dengan langkahnya.
***
Carren membuka pintu apartemennya dengan tergesa-gesa.
Blam!!!
Suara pintu dibanting. Segera ia bergegas menuju ruang tengah. Dilemparkan tubuhnya ke atas sofa kesayangannya. Kerudungnya dilepas, dan dilempar begitu saja di lantai.
la benci sekali hari ini! Semuanya serba kacau!
Carren tidak dapat menyembunyikan perasaan gembiranya ketika melihat banyak sekali orang lalu-lalang. la mencegat taksi. Baru sadar ia, bahwa tarifnya telah naik sejak dua tahun terakhir. Banyak gedung yang berubah. Makin tinggi dan sumpek. Dua tahun bukan waktu yang lama bagi sebuah kota bernama Philadelphia untuk berubah. Carren berjalan sendiri dalam perasaan was-wasnya. Ia sesekali mendongak, melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi di sisi kanan-kirinya, dan ia membayangkan seperti berjalan di dalam sebuah maze. la bahkan sempat tak yakin akan menemukan jalan pulang.
Dulu di ujung jalan ini ada pohon akasia. Namun kini hilang entah ke mana, digantikan oleh sebuah halte pemberhentian bus. Semuanya begitu mengejutkannya, hingga....
"Pagi, Cassie!" sapa seseorang.
Membayangkan itu, membuat Carren mengeluh. Ia menarik punggungnya dari atas sofa.
Dunia luar itu adalah dunia milik Cassie -bukan miliknya.
Carren bangkit dan berjalan menuju kantung belanjaannya yang tadi diletakkan di atas meja dekat pintu masuk. la merogohkan tangannya ke dalam. Diambilnya botol-botol berisi cairan berwarna kuning bening. Carren tersenyum kecil. la mendekap botol-botol itu sekaligus dengan kedua tangannya, lalu membawanya ke dalam kamar mandi.
Pffff...!
Bau busuk tercium ketika Carren membuka pintu kamar mandinya. Mayat Cassie masih tergeletak di sana. Hampir membusuk. Carren sadar, ia harus segera melakukan sesuatu.
Bau yang menyengat ini...?! Padahal Carren mengira dirinya telah melakukan segala sesuatunya. Ia telah memberi wangi-wangian. Namun dalam sekejap, itu semua tergantikan oleh bau busuk mayat Cassie.
Carren memasang masker yang tadi sempat dibelinya pula. Kemudian berlanjut sarung tangan. Ia duduk di samping mayat Cassie -di atas pinggiran bath tub. Diangkatnya tubuh Olive yang melorot agar lebih tegak. Kaku sekali. Dan keras seperti kayu. Carren berhati hati sekali. Ia takut, sedikit tarikan saja akan bisa mematahkan persendian tangan Cassie.
Tubuh Cassie telah menjadi sedemikian kurusnya. Cairan tubuhnya telah habis. Pipinya kempot dan kulitnya seperti erat melekat pada tulangnya -membuat cetakan yang jelas pada per mukaan kulit. Tulang pipinya mencuat.
Tubuh Cassie pucat dan kelihatan kering sekali. Kelopak mata menjadi cekung dan bibirnya mengerut. Hanya rambutnya yang masih terlihat seperti aslinya.
Tangan Carren bergerak. Ia mengusap pipi Cassie lembut. Dalam hati ia merasa ngeri juga melihat sosok Cassie. Mungkinkah bila ia mati, keadaannya akan menjadi seperti ini pula?
la menuangkan cairan dari dalam botol ke sekujur tubuh Cassie. Formalin sepuluh persen. Setelah yakin bahwa tangannya telah ter tutup rapat oleh sarung, ia mengaduk-aduk cairan pekat itu hingga rata. Lima botol besar formalin ternyata masih kurang. Menurut Carren, akan lebih bagus bila cairan ini bisa menutupi sekujur tubuh Olive. Dan Cassie melayang-layang di dalam larutan formalin.
Lima menit berlalu, dan Carren baru sadar bahwa ia tidak melakukan apa-apa lagi di situ. Dibiarkannya botol-botol kosong tergeletak di lantai. Biar besok saja ia bereskan.
Carren melamun.
Tidak tahu kenapa ia merasa nyaman melakukannya di tempat ini. Ditatapnya wajah Cassie lamat-lamat.
Cassie....
la tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu.
***
Menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Carren melirik jam tangannya. Dua puluh menit sebelum pukul sepuluh tepat. la dijadwalkan untuk masuk ke ruang operasi tiga puluh menit lagi. Banyak orang lalu-lalang. Carren menunggu dengan sabar sembari sesekali melirik ke arah televisi yang tergantung tepat di atas meja receptionist. Seorang perawat berbaju serba putih dengan badge bertuliskan Freemansons Hospital, bertanya padanya. Carren tersenyum tipis, sembari lebih merapatkan kerudung untuk menutupi bagian luka wajahnya.
"Operasi plastik ringan."
Suster itu tersenyum, dan menawarkan pada Carren, sekiranya Carren haus di ujung koridor ini ada booth. Carren menganggukkan kepala -senang melihat keramahan yang ditujukan padanya. Tapi sayang, saat ini ia sedang tidak ingin diganggu. la lebih suka untuk merenung sendiri. Dua hari terakhir ini adalah masa-masa yang luar biasa baginya. la yang terbiasa menghabiskan hari-harinya yang membosankan di dalam apartemen, kini dihadapkan pada rangkaian kejadian yang bisa membuatnya tertawa dan menangis di saat yang bersamaan: pembunuhan tidak direncana dan operasi plastik.
Carren menghela napas. la tahu apa yang akan dihadapinya. Sebuah hidup baru.
Cassie.....
Pikiran itu terus menghantui Carren. Bila ia melakukan operasi ini dan di lain pihak ia benci dengan Cassie, orang-orang akan menuduhnya seorang oportunis. Namun bila ia tidak melakukannya, kerja keras Cassie jadi sia-sia. Bingung jadinya. Ia harus menentukan keputusan. Melakukannya atau tidak?
Pada akhirnya Carren memutuskan untuk menuruti kata hatinya. la menginginkan untuk menjalani operasi ini! Ya.... gila jika ia menolaknya! Dan di rumah sakit inilah sekarang ia berada. Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk apa yang dilakukannya ini. Terlebih lagi Carren telah lelah berpikir.
Maka ia memutuskan untuk melakukannya.
Dan itu yang membuat perasaannya gamang....
Lalu di manakah keadilan itu? la bersenang-senang menikmati jerih payah Cassie, sementara ia adalah orang sama yang telah membunuh Cassie. Adilkah? Carren meremas jemarinya. Bukankah ia dulu sering menghardik Tuhan atas keadaannya yang timpang? Atas ketidakadilan yang ditimpakan padanya. Namun sekarang, keadaan dibalik. Perkataannya yang dulu, berubah menjadi bumerang baginya.