Tak.... tak.... tak....! Suara hak sepatunya beradu dengan kayu tua anakan tangga.
Sampai di depan pintu kamarnya, Cassie memasukkan anak kuncinya. Ternyata, pintu tidak di kunci. Berarti Carren belum tidur.
"Aku pulang!" kata Cassie, begitu melongokkan kepalanya.
Carren yang berdiri di dekat dengan jendela, menatapnya dan tersenyum. Cassie menjadi merasa aneh sendiri. Carren tersenyum? Namun Cassie malah menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu curiga. Mungkin saja hari ini Carren bermaksud untuk berbuat baik. Dan itu tidak ada ruginya, bukan?
Cassie mengunci pintu di belakangnya. Diletakkannya barang belanjaannya di atas meja. Cassie menunjukkan majalah yang baru dibelinya pada Carren.
"Majalah kesayanganmu edisi terbaru, Dolly! Terlambat lima menit saja, mungkin aku akan kehabisan."
Carren tersenyum dan berkata, "Terima kasih!"
Cassie terdiam. Ia mengangkat kepalanya menatap kembarannya. Benarkah yang ia dengar barusan? Cassie mengucapkan TERIMA KASIH?
Benar-benar aneh!
Tapi tak urung Cassie tersenyum. Meskipun aneh, namun menyenangkan bila Carren selalu bersikap seperti ini.
"Eumm...., kamu kelihatan begitu ceria hari ini ada apa?"
Carren mengedikkan bahunya.
"Rahasia," sahut Carren pendek. Ia meraba saku celana piyamanya. Dingin.
"Tapi benarkah aku melihat kamu bahagia hari ini?"
Carren tertawa renyah. Nilai seratus untuk aktingnya kali ini. Kapan-kapan pencari bakat Hollywood harus melihatnya.
"Iya!"
Cassie mengelus dadanya. "Syukurlah!"
"Iya...! Mulai hari ini aku akan sangat bahagia!" batin Carren dalam hati.
***
"Eumm...., aku mau mandi dulu! Tapi janji, setelah ini kamu cerita apa yang membuatmu jadi sebahagia ini!"
Carren tidak menjawab. Namun ia mengangkat tangannya, menautkan ibu jari dengan jari tengahnya ---membentuk huruf O.
"Ini pasti akan menyenangkan...," kata Cassie sambil melepaskan kerudungnya. Digeletakkan surat dari Aisyah di atas meja. Otot-ototnya benar pegal. Mandi air panas akan membuatnya merasa segar kembali.
Carren berjalan mendekati Cassie yang tengah berbalik meninggalkan ruang tamu diam-diam. Sekonyong-konyong....
Duuaaarrrrrrrrr!!!! Kilat menyambar di luar. Mereka berdua memekik dan menutup telinga mereka. Celaka bagi Carren, karena ia sudah terlanjur memegang pisaunya. Dan kini pisau itu keluar, terpegang tangannya yang dipakainya untuk menutupi telinganya.
"A... apa yang ada di tanganmu itu?" tanya Cassie tercekat.
Muka Carren memucat. Ia baru sadar, telah memperlihatkan pisaunya.
"I... ini...." Ah..., sudah kepalang tanggung, pikir Carren. "Ini tidak akan lama, aku janji Cassie!"
Jarak antara Cassie dan Carren sedemikian dekatnya, hingga dengan sekali kibasan, tangan Carren dapat menjangkaunya. Namun dengan cepat, Cassie yang ternyata telah siaga, cepat berkelit. Ia mundur ke belakang. Terhuyung-huyung.
"A.... apa yang kau lakukan, Ren? Sadarlah!"
Carren tertawa bengis. "Ha... ha... ha...., kau tahu kenapa aku lakukan ini?!?!" teriak Carren seperti orang frustasi. Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Pisau tampak berkilat ditimpa cahaya lampu, dan sempat membuat mata Cassie silau beberapa saat.
"Karena kamu terlalu cantik, dan aku tidak!!!"
Cassie mengangkat tangannya. "Te... tenanglah Carren! Kamu sedang kalut!!" Ia membayangkan bagaimana Dr. Erwin Stark menghadapi pasien yang mendadak kambuh. Ia akan bersikap tenang. Cassie mencobanya. Tetapi tetap saja ia tidak bisa menguasai ketakutannya.
Carren mulai menerkam lagi. Didahului dengan teriakan yang menggirisikan.
Cassie tak sempat berkelit karena di belakangnya ada tembok. Disambarnya apa saja yang ada di atas meja dekat dengannya. Kemudian dilemparkan ke arah Carren.
"Aaarrggghhhh....!" jerit Carreb. Luka di wajahnya selama bertahun-tahun itu terkena lemparan botol plastik Cassie. Carren meraba wajahnya. Rasanya nyeri.
Cassie mempergunakan kesempatan itu dengan meloncat ---melewati Carren yang membungkuk di lantai. Ia mencincing rok panjangnya.
Tak mau menyerah begitu saja, Carren meraih pergelangan kaki Cassie dengan tangannya. Dan lalu ia menariknya kuat-kuat.
Bruukkk!!
Cassie terjatuh ke lantai.
"Lepaskan, Carren!" kata Cassie memohon. Ia berkali-kali membaca basmallah dalam hati.
Tangan Carren mencekram kaki Cassie kuat-kuat. Cassie yang tenaganya banyak terkuras hari ini karena kesibukannya, tidak dapat menandingi tenaga Carren. Cassie menjejak-jejakkan kakinya. Tangannya berpegangan pada bulu-bulu karpet untuk menahan agar tubuhnya tidak tertarik oleh Carren.
"Lepaskan!" teriak Cassie lagi. Dengan usahanya yang maksimal, ia meronta.
Creessss!!!
Carren menggoreskan pisaunya pada tumit Cassie. Cassie menjerit kesakitan. Darahnya mengucur dan mengenai karpet. Dalam kesakitannya itu, ia meraih bangku kayu ---satu-satunya barang yang dapat ia raih dalam kedudukannya yang tidak menguntungkan itu. Dilemparkannya pada Carren.
Carren terkena telak kursi itu, meski sempat menangkis dengan tangannya. Tangannya kini memar membiru, dan terlihat sedikit darah menetes. Carren geram. Ia tidak menyangka saudarinya masih memiliki sisa tenaga untuk melawannya. Carren sudah tidak peduli rasa sakit di wajahnya ataupun memar di tangannya. Ia segera menerjang maju, dengan segala kemarahan yang membuncah di dadanya.
"Aku benci kamu!!!!!" teriak Carren menerjang.
Waktu yang sempit itu, dipergunakan Cassie sekali lagi untuk berlari menjauh. Namun pintu keluar apartemennya ada di belakang Carren, sehingga tidak mungkin melarikan diri. Ia memutuskan untuk berlari ke belakang ruang tengah. Langkahnya tertatih-tatih. Kakinya nyeri, dan darah masih saja menetes ---membuat bercak darah pada karpetnya yang berwarna sage green. Sesampainya di ruang tengah, ia menyambar gagang telepon. Tombol empat, untuk memanggil Forex di lantai bawah. Tidak ada bunyi. Cassie melirik ke bawah. Panik. Ternyata Carren telah memotong kabel teleponnya.
"Kamu tidak akan bisa lari dariku, Cassie!!! Aku sudah lama menantikan ini!!" Carren berjalan cepat menuju Cassie.
Menerkam.
Tapi Cassie pun tak kalah sigap. Ditangkapnya tangan Carren yang memegang pisau. Tubuh mereka saling bertabrakan, membuat keduanya limbung, dan akhirnya jatuh ke lantai. Mereka berguling-guling. Tangan Cassie yang satu menahan tangan Carren, sedangkan tangan yang satunya menarik rambut Carren kuat-kuat.
"Hentikan, kataku, Carren! Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!!" pekik Cassie.
"Tidak!!!" kata Carren mengerang. Mereka berguling-guling lagi. Menyebrangi ruangan ini, dari sudut satu ke sudut satunya. Cassie berusaha menjauhkan tangan Carren dari tubuhnya.
Mereka masih saja bergulingan. Carren di atas, kemudian berbalik Cassie yang di atas, dan berlanjut seperti itu terus. Mereka menabrak apa saja. Kursi dan meja. Kertas-kertas berhamburan. Tiang lampu duduk jatuh dan lampunya pecah.
Mereka membuat ruangan jadi berantakan.
Brak-brak!!!
Suaranya gaduh.
Dalam hati Cassie berharap ada orang yang mendengarnya, kemudian segera menolongnya. Ia memang sengaja membuat kegaduhan ini.
Akhirnya tubuh Cassie terantuk lemari keras sekali. Ia mengeluh. Rasanya nyeri sekali. Tubuhnya serasa lumpuh.
Dirinya telah terpojok. Ditatapnya Carren yang kini berada di atas tubuhnya. Ia melihat nyala api di mata Carren. Cassie ketakutan setengah mati.
Carren berhasil melepaskan cekalan tangannya Cassie. Tubuh Cassie dikunci dengan kakinya. Cassie tergeletak di lantai, lalu ditindihnya dengan berat tubuh Carren. Carren berhasil membuat Cassie tak bisa lagi berkutik.