Dada Cassie berdetak kencang. Apakah ini jawaban dari firasatnya akhir-akhir ini? Apakah ini adalah akhir hidupnya?
Belum....! Otaknya berpikir keras ia teringat, ia menaruh sesuatu di saku roknya. Tangan kirinya yang bebas, diam-diam ia susupkan ke dalam saku. Untuk mengalihkan perhatian Carren, ia mengajaknya berbicara.
"A... apa yang kau lakukan? Kamu hendak membunuhku, Ren?"
Carren yang merasa di atas angin tersenyum puas. Ia merasakan tubuh Cassie tidak meronta-ronta lagi. Tampaknya saudarinya ini sudah pasrah. Carren senang. Ini akan membuat pekerjaannya menjadi semakin mudah.
"Kamu hendak membunuhku, Ren?" tanya Cassie. Ia harus berhati-hati agar gerakan tangannya tidak mengundang kecurigaan Carren.
"Membunuhmu? Huh...., dan aku akan sendirian? Tidak!" dengus Carren. "Aku hanya akan sedikit membuat goresan pada mukamu. Agar kita tampak serupa..."
"De.... dengar, Ren! Dua hari lagi ka... kamu akan..."
"Aku tidak mau dengar kata-katamu!" bentak Carren keras. "Aku bosan mendengar bicaramu! Aku muak mendengar ceritamu tentang si keparat Dr. Erwin Stark, si brengsek Nico, dan orang-orang yang di luar sana. Aku bosan dengan itu semua!!" teriak Carren dengan mata memerah.
Cassie belum pernah merasa sengeri itu; melihat tatapan orang bisa sedemikian semenakutkannya.
"Carren...., Senin kemarin ada perayaan kembang api di South bank. Indah sekali. Kamu tahu, Carren, kemarin aku diajak pergi makan malam, namun kutolak!" ucap Carren menirukan kata-kata Cassie. "Brengsek kamu, Cassie!!!"
Cassie terdiam. Ia telah mendapatkan barang yang dicarinya di sakunya.
"Aku akan membuat sayatan melintang di sekitar tulang pipimu. Ah..., tidak-tidak..., mungkin disekitar pelipismu dulu. Lalu turun hingga ke rahang bawah." Carren mengoceh sendiri. "Upss..., maaf! Aku lupa membeli obat bius. Kamu tahan sakit, bukan?"
Cassie menggenggam erat-erat benda itu. Tangannya gemetaran.
"Tenang saja, Cassie! Ini tidak akan lama! Biarkan aku menyelesaikan tugasku, ya?" Carren menurunkan tangannya. Ia menyentuh pisau itu secara perlahan di atas kulit pipi Cassie. Dingin. Cassie gemetar. Pisau itu begitu dekat dengan matanya. Sangat mengerikan!! Besar dan tajam.
Cassie membaca takbir dalam hati. Ia mengangkat tangannya perlahan dari balik sakunya.
"Sedikit sakit tak apa-apa, kan? Aku akan mulai menggoresnya sedikiiiitt....!!!"
Cassie berteriak. "Tidak akan, Ren!!" Ia cepat menggerakkan tangan kirinya ke arah muka Carren. Semprotan merica. Ia selalu membawanya untuk berjaga-jaga bila ada lelaki usil yang akan mengganggunya. Namun ia sama sekali tidak pernah mengira akan menggunakannya pada saudarinya sendiri, Carren.
Srrrett!!
Cassie menyemprotkan serbuk merica tepat ke arah mata Carren. Carren mengerang kesakitan. Namun ia telah lebih dulu menggerakkan tangannya yang memegang pisau.
Creessss!!
***
Dalam perjalanan pulang, Nico merasa ada sesuatu yang ketinggalan. Oh ya...., Ia lupa memberi tahu Cassie bahwa besok petang akan ada pengajian di Masjid Al-Ikhlas dekat Storey Hall. Ia meraih telepon mobilnya.
Tidak ada jawaban. Bahkan nada sambung pucuk tidak ada. Ia menerka, mungkin telepon apartementnya Cassie rusak.
Nico menghela nafas. Ia harus menyampaikan pesan ini, karena besok pagi ia harus mengantar kakaknya ke dokter gigi. Ia tidak bisa meluangkan waktu untuk mampir ke klinik Green Life terlebih dahulu.
Diputarnya arah mobil, kembali ke apartement Cassie.
Hujan bertambah deras. Dan ia tidak tahu mengapa. Kilat menyambar. Tangannya menjadi labil dalam beberapa saat, sehingga mobilnya sedikit terhuyung. Kemudian ia menepi. Menenangkan hatinya. Jarang sekali ada kilat di daerah sini. Kenapa tiba-tiba?
Nico melakukan mobilnya kembali. Menerjang hujan yang semakin lama semakin bertambah deras. "Aneh... Aneh...!!" batin Nico. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
Lima menit kemudian, ia sampai di depan pintu bangunan apartement Cassie. Hujan masih saja turun dengan lebat. Ia menggunakan tangannya sebagai pelindung untuk menutupi kepalanya dari siraman air hujan. Ia kurang beruntung hari ini karena lupa tidak membawa payung.
Nico memutar kenop pintu. Terkunci. Dicobanya untuk memencet bel. Namun tidak ada jawaban. Putus asa, Nico melongok ke atas. Beberapa jendela masih dalam keadaan terang. Ia tidak tahu yang mana apartement Cassie. Karena Cassie tak pernah mengizinkannya masuk. Ia hanya punya nomor apartement Cassie; 128. Sedangkan ia tidak tahu harus memulai menghitung dari mana.
Akhirnya ia mengeluarkan secarik kertas dalam saku bajunya. Dan ia menuliskan memo. Diselipkannya di bawah pintu. Untuk Cassie Sayersz. Ia tulis dengan huruf besar-besar.
Kemudian Nico beranjak pergi. Namun baru saja ia berbalik, telinganya samar-samar menangkap suara jeritan seorang wanita. Nico langsung tegang. Ia menajamkan pendengarannya. Apakah yang tadi adalah benar-benar suara jeritan? Ia tidak yakin karena hanya sayup-sayup bunyinya. Terlebih lagi, bunyi apa pun akan dikalahkan oleh derasnya bunyi air hujan.
Nico menunggu hingga tiga menit. Selama itu ia tidak mendengar adanya suara jeritan. Ia mengangkat bahunya. Lalu berlari menuju mobilnya, dan segera pergi meninggalkan tempat itu.
***
Duuaaarrrrrrrrr!!!
Forex terlonjak dari tidurnya. Ia mengucek-ucek matanya. Rupanya ia tertidur lagi. Diliriknya jam dinding. Sambil lewat lima belas menit. Ahh..., sepuluh menit lagi ia baru akan masuk ke kamarnya. Tanggung. Forex mengangkat kakinya ke atas meja, kemudian kembali meneruskan tidurnya.
"Miss.... Cas... sie...," ucap Forex sebelum memejamkan mata.
"Aaaa.....!!!"
Terdengar suara wanita menjerit.
Forex terlonjak lagi. Ia mencari sumber suara, dengan masih sedikit mengantuk. Ia menajamkan pendengarannya. Mungkin suara itu berasal dari lantai atas.
"Aaa....!!!" Kemudian terdengar suara. Kali ini lebih nyaring.
Forex mengumpat. Itu suara televisinya yang lupa ia matikan. Di layar terlihat adegan seorang wanita tengah dikejar-kejar Monster Fox. Ia buru-buru mematikan televisinya. Membereskan mejanya, membuang sisa donatnya, yang entah ia makan atau tikus yang menggigitnya ---ia lupa--- dan dalam keranjang sampah. Cangkirnya diletakkan di meja kecil di pojok ruangan. Dan ia baru sadar bahwa ia berhutang untuk mencuci beberapa buah cangkir dan piring. Ia mengeluh. Mencuci piring adalah pekerjaan yang paling dibencinya.
Forex meninggalkan ruangannya. Tapi baru saja selangkah keluar, balik lagi ke dalam. Ia lupa mematikan lampu ruangannya. Terakhir kali ia menutup pintu ruangannya tanpa menguncinya. Ia berjalan membawa selimutnya menuju ruangan di depannya ---kamarnya sendiri. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Ia harus bangun pagi-pagi. Tak sabar untuk esok ingin bertemu dengan Miss Cassie yang di pujanya.
***
Pukul sembilan lewat lima menit. Erwin Stark melirik Rolex di tangannya. Ia sekarang tengah berada di sebuah coffe mungil di ujung Londsdale Street. Hujan deras membuatnya mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanannya pulang.
"Craisofierare butter. Hot cappuccino." Seorang pelayan datang, meletakkan pesanannya di atas meja. Dan berlalu begitu saja tanpa tersenyum sedikit pun. Dingin.
Erwin Stark menggerutu ketika wanita pelayan itu meninggalkan mejanya. Dalam hati ia berjanji, tidak akan pernah mampir ke tempat ini lagi.
Ia meraih koran The Low yang sebenarnya sudah dibacanya tadi pagi di kantor. Mencari berita yang mungkin belum dibacanya. Namun yang ada hanya perampokan kecil-kecilan yang gak begitu penting untuk disimak. Ketika membuka lembar iklan, senyumnya sedikit mengembang. Iklan kliniknya dipasang di sana.
Sepasang muda-mudi membuka pintu putar, kemudian melangkah menuju caffe. Mereka duduk selang beberapa meja dari tempat Erwin Stark duduk. Wanita pelayan itu dengan muka menggerutu mendekatinya serta menanyakan pesanannya. Erwin Stark mengedikkan bahunya. Pelayan itu mungkin adalah salah satu alasan kenapa caffe ini begitu sepi.