"Lagi pula hadiah terhebatku adalah ketika satu tahun yang lalu aku mulai mengenal Islam," batin Cassie. Saat itu dirinya masih belum diterima bekerja di klinik dokter Erwin Stark. Tepatnya ia masih belajar di Fitzroy University, salah satu dari sedikit perguruan tinggi yang mau menerima siswa yang mempunyai semangat belajar tinggi namun kondisi ekonomi krisis, seperti dirinya. Ia berteman dengan Aisyah, gadis berkebangsaan Indonesia - Palestina, yang kebetulan banyak mengambil mata kuliah yang sama dengannya. Kedekatan mereka juga mungkin disebabkan sama-sama berasal dari kalangan ekonomi lemah. Aisyah yang sederhana, namun disegani oleh teman-temannya. Ia aktif di kelasnya dan menonjol dalam organisasi di kampusnya. Nilainya selalu membuat teman-temannya terkagum-kagum.
Beda dengan Aisyah, Cassie adalah siswi yang punya pesona tersendiri. Ia adalah anggota cheers leader dan bahkan pernah jadi ratu homecoming kampusnya. Cassie cantik dan pintar, meskipun tidak sepintar sahabat karibnya itu. Jika hari ini akan diadakan pesta dansa, paginya Cassie akan mendapatkan banyak surat dari teman lelakinya yang mengharapkan ia jadi pasangan kencannya. Cassie tidak begitu suka itu. Ia tidak pernah datang dengan salah satu dari mereka. Tidak juga dengan Aisyah, karena sahabatnya itu mengaku tidak suka dengan keramaian semacam itu.
Cassie selalu datang seorang diri di pesta. Dengan pakaian yang sederhana, namun tetap saja ia selalu tampil paling menawan dibandingkan yang lainnya. Ia selalu berdiri di pojok sambil mengamati teman-temannya yang lain berdansa di tengah. Beberapa kali teman lelakinya datang dan mengajaknya untuk turun ke tengah. Terkadang di antara mereka ada yang mengatakannya sembari mabuk. Tapi Cassie selalu dapat menolaknya dengan halus.
Sepulangnya dari pesta, ia akan sangat kecewa karena merasa tidak mendapat apa-apa di sana. Ia bertanya pada dirinya, apa yang sebenarnya dicarinya dalam keramaian penuh sesak orang-orang yang menggoyangkan tubuhnya seirama musik? Apakah ia suka menari? Cassie menggeleng. Terakhir kali mencoba berdansa setahun yang lalu, ia menginjakkan kaki partnernya. Dan semenjak itu, ia menjadi trauma menari berpasangan.
Apakah ini karena dirinya cantik?
Hei....! Muka Cassie memerah. 'Apa yang aku pikirkan?'
Apakah ini karena aku cantik? Apa karena aku selalu menjadi rebutan teman-teman lelakiku?
Apa yang kuharapkan?
Agar orang tidak pernah menilai dirinya buruk?
Cassie selalu menjadi pusat perhatian ---di mana-mana. Segala fasilitas bisa ia dapatkan dengan mudah. Ia tak perlu mengikuti seleksi bermacam-macam untuk masuk organisasi atau kelompok-kelompok mahasiswa. Sebaliknya, semuanya berharap bisa dekat dengan Cassie. Lekaki-lelaki seperti tersihir oleh kemolekannya. Banyak ---tapi Cassie tidak menyadarinya--- yang menyimpan fotonya di loker mereka. Bahkan bila mau, bisa dibentuk semacam Cassie Fans Club di kampusnya.
Apakah menyenangkan rasanya diperhatikan?
Konsekwensinya adalah Cassie merasa segala tingkah lakunya selalu diawasi. Bahkan caranya makan pun, beberapa ada yang tertarik mengamatinya. Sesuatu yang tidak ia mengerti. Tidak ada yang istimewa dari dirinya! Ia makan sama dengan cara semua orang makan.
Lama-kelamaan ia merasa tersiksa. Seakan ada kamera dua puluh empat jam nonstop yang akan selalu merekam apa yang dilakukannya. Ia merasa terkekang. Setiap gerakannya selalu mengundang lirikan mata orang banyak.
Jika sedikit saja ia berbuat kesalahan, Cassie selalu merasa setiap orang akan membicarakannya. Hanya karena ia salah menjawab soal atau menguap di tengah pelajaran, bisa menjadi berita yang heboh. Terkadang ia merasa sangat tidak masuk akal. Namun nyatanya ini benar-benar terjadi.
Oleh karenanya, Cassie harus senantiasa menjaga sikapnya. Agar jangan sampai mendapatkan penilaian buruk. Semua jalan ditempuh. Termasuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.
Pesta tiap malam. Berfoya-foya? Hei...! Padahal Cassie cukup tahu diri jika dirinya bukanlah tipe mahasiswa yang gampang menghambur-hamburkan uang.
Tapi bagaimana lagi? Dari pada semua menganggap dirinya sombong. Orang cantik yang sombong. Dan itu sepertinya sudah menjadi atribut yang sepadan; cantik dan sombong. Orang cantik pastilah sombong. Cassie tidak suka itu.
Ditatapnya cermin. Tiba-tiba ia menjadi benci melihat wajahnya sendiri. Wajah cantik membuatnya tersiksa. Dirinya harus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak disukainya.
Cassie menggigit bibir. Saat itu ia merasa kecantikan bagi dirinya adalah kutukan. Dapatkah ia dinilai bukan dari segi fisik saja? Dapatkah semua orang memperlakukannya sebagaimana kebanyakan orang lainnya? Tanpa pembedaan. Bukan lantaran ia cantik.
Sejujurnya ia malah merasa direndahkan.
Semua orang sepertinya mempunyai tendensi tertentu untuk bisa berteman dengannya. Yang lelaki jelas karena terpesona dengan kecantikannya, sedangkan yang wanita ingin tahu resep Cassie agar tetap kelihatan cantik. Memakai bedak merek apa? Di salon mana ia memotong rambut?
Allah tidak pernah memandang seseorang dari harta benda dan penampakan fisik, melainkan apakah ia cukup bersyukur kepada-Nya dengan dekat kepada-nya.
Pada suatu siang yang cerah, Cassie mengeluarkan unek-uneknya pada Aisyah. Dan Aisyah menjawab sedemikian rupa. Cassie tertegun mendengar jawaban sahabatnya itu. Setelah beberapa bulan mereka bersama, baru kali ini Aisyah menyinggung-nyinggung soal masalah agama dengannya. Dan anehnya, Cassie tidak merasa berkeberatan dengan hal itu. Ia merasa, Aisyah tidak mengada-ada dengan jawabannya itu.
Awalnya ia sembunyi-sembunyi belajar agama Islam ---sembunyi dari teman-temannya yang lain dan juga sembunyi dari keraguannya. Baginya, ini adalah langkah terbesar yang pernah ditempuhnya. Dan ia tahu, tidaklah gampang untuk melaluinya. Paling tidak, ia sempat mencicipi, tanpa merasa ada kewajiban untuk benar-benar masuk ke dalamnya. Itu yang menjadi prinsipnya dulu.
Buku-buku islami yang dipinjamnya dari Aisyah selalu dibawanya di dalam tas. Disampulinya dengan kertas berwarna, agar orang lain tidak bisa menebak buku apa itu. Ia sering membaca di rumah. Dan bisa di perpustakaan, ia selalu mengambil tempat duduk di pojok yang tersembunyi. Dan tahap ini, ia merasa sangat berhati-hati. Sebenarnya bukan karena ia takut bakal diperhatikan orang lain. Tapi entahlah.... Cassie benar-benar tidak yakin akan ketakutannya itu. Bahkan ketakutan terbesarnya adalah karena ia tidak dapat menggambarkan apa ketakutannya itu.
Ia sudah membaca belasan, bahkan hampir puluhan buku. Setengah yakin, namun ia juga terkadang tergelitik untuk mencari celah-celah kesalahannya. Tapi mengapa ajaran Islam sangat meyakinkan baginya? Hingga dadanya seperti dipukuli gada raksasa. Telinganya berdengung. Mungkin ini rasanya bila orang baru saja menemukan kebenaran.
"Aku ingin masuk Islam...," ucap Cassie, sembari menggigit bibirnya.
Aisyah tersenyum. "Alhamdulillah."
Cassie sedikit menolak rengkuhan Aisyah. "Tapi aku belum siap memakai kerudung. Bolehkah?"
Aisyah diam sebentar.
"Tidak boleh, ya?"
"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu? Masuk agama Islam dan menjalankan segala syariatnya?"
"Tentu..., tapi...," Cassie menggigit bibirnya lagi, "Akankah aku memakai kerudung saat aku belum benar-benar siap? Dan ketakutanku adalah aku akan setengah hati melakukannya. Setengah hati, berarti aku tidak sepenuhnya rela. Dan tanpa kerelaan, apa pun yang kulakukan akan menjadi cepat hilang."