"Jika aku menerima ajakannya makan malam, aku merasa akan terhipnotis atau mungkin terpengaruh oleh obat yang ia campurkan dalam minumanku tanpa sepengatahuanku. Lalu aku akan menjadi sangat pusing. Ia menawarkanku untuk mampir di rumahnya, dan aku menurut saja. Oh... ya, mungkin ia sengaja memilih restoran yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Itu bisa dijadikan alasan mengapa ia menawarkanku untuk singgah sebentar," jelas Cassie dengan nada sedikit ngeri. Sementara didepannya, Carren mendengarkannya dengan cermat namun tetap tanpa memperlihatkan ekspresi-ekspresi yang kental.
"Sesampainya di rumahnya, aku merasa kepalaku sudah hampir meledak. Dan aku dibiarkannya duduk di kursi tamu. Tanpa sepengetahuanku, ia mengunci pintu depan. Dan ternyata ia juga telah mempersiapkan sebilah pisau di saku celananya. Ia menyerangku dan aku tak sanggup mengelak lagi karena pengaruh obat-obatan itu.... Aku akan mati!!!" kata Cassie lagi sambil menutup mukanya. Ketika ia membuka wajahnya, terlihat matanya memerah. "Jelas, kan? Aku berfantasi liar! Ini adalah kesalahan!!!" ucap Cassie. "Mungkin sebenarnya orang itu bermaksud baik. Ini hanyalah imajinasiku saja, kan?"
Carren tak bereaksi. Ia tidak menganggukkan atau menggelengkan kepalanya.
"Katakan iya!"
"Tidak!" ujar Carren dalam hati.
"Aku hanya berprasangka buruk, bukan? Bahwa semua itu tak akan terjadi?"
Carren menatap wajah saudara kembarnya dengan tatapan dingin. Ia menyunggingkan senyum yang penuh arti.
Tidak, Sayang...! Tidak!
***
"Carren.
Erwin Stark menutup buku laporannya.
"Ada apa dengan Carren?"
Cassie masih menyisakan sisa ketegangannya tadi malam. "Saya tahu ini berat bagi dia. Saya bisa merasakan betapa kesepiannya dia, tinggal seharian di rumah. Tapi segalanya tampak memburuk akhir-akhir ini. Ia tidak doyan makan, sementara tubuhnya sudah bertambah kurus lagi. Segala macam makanan sudah saya coba tawarkan. Burger, Chinese food, Thai food, Indonesian food...."
"Wow..., itu lumayan mahal!"
Cassie tersenyum kecut. "Dan ia tidak mau menyentuhnya barang sedikit pun...."
Erwin Stark menatap Cassie lembut. Baginya, gadis itu sudah seperti anak sendiri. Sekali lagi dirinya kembali dikagumkan oleh pesona yang ada di dalam diri Cassie. Ketabahan dan kesabarannya dalam menghadapi saudari kembarnya yang bernasib jelek, patut diacungi jempol. Orang lain mungkin sudah lari meninggalkan Carren. Terlebih dari cerita Cassie, Erwin Stark bisa sedikit menyimpulkan bahwa Carren bukan termasuk orang yang mudah diajak kerja sama.
"Terutama tadi malam....," kata Cassie sembari menggigit bibirnya.
"Ya, ada apa dengan tadi malam?" tanya Erwin Stark lembut.
"Ia bukan seperti Carren yang saya kenal. Eumm..., tapi mungkin ini hanya persepsi saya saja!" jawab Cassie, menelan ludahnya. "Saya tahu, akhir-akhir ini saya memang banyak mengalami masalah dengan itu," kata Cassie. Ia sama sekali tidak berniat untuk menceritakan imajinasi gilanya tentang Mr. Robert Edmund pada atasannya itu. "Tapi Carren tadi malam benar-benar berbeda. Ia seperti....."
"Seperti?"
"Kejam..... Yah...., kejam, bengis, dingin, ahh....!" Cassie menepuk jidatnya. "Apakah saya normal?"
"He....?!"
"Sejujurnya saya merasa ada yang tidak beres dengan diri saya! Bisakah Anda tolong saya?" tanya Cassie memelas.
Erwin Stark mengerutkan keningnya.
"Saya kira saya terkena paranoid. Atau kegilaan fantasi atau semacamnya. Kadang saya merasa diri saya akan mati dibunuh...."
***
Cassie dijemput tepat pukul sembilan malam oleh mobil sport mewah warna hitam metalik. Mobil itu berhenti dengan sopan di depannya. Cassie lebih merapatkan jaketnya. Malam ini begitu gelap dan pekat. Dingin. Jika ia menghembuskan nafas, akan tercipta asap-asap putih. Yang dengan segera hilang terbawa angin.
Ia menjijing tas kertas belanjaannya yang disandarkannya pada tiang lampu tepi jalan. Sinar lampu yang redup menyinari wajah Cassie. Raut wajah yang penuh dengan keletihan.
"Assalamu 'alaikum...!" sapa Nico sambil membukakan pintu.
Cassie tersenyum dan membalas salamnya.
"Maaf, jadi selalu merepotkan. Ini sudah yang keempat kalinya."
Nico buru-buru menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa!"
Mobil melaju membawa cassie yang kini duduk di kursi belakang. Ia menggenggam erat barang-barang yang tadi sempat dibelinya. Bunga Dandelion yang masih segar, roti kering, dan majalah Dolly edisi terbaru untuk Carren.
"Padahal ini mungkin hanya imajinasiku yang berlebih-lebihan," gumam Cassie lirih. Namun, Nico dapat mendengarnya.
"Yah..., lebih baik berjaga-jaga dari pada nanti terlambat. Lebih baik begini dari pada yang kau takutkan benar-benar terjadi, dan terlambat sudah. Aku mungkin akan menyesalinya; ketika aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya, tapi aku tidak mau."
Cassie tersenyum tipis. Ia tahu bahwa Nico mencoba bersikap bijaksana, namun kenyataannya ia tidak bisa memahami masalah yang dihadapinya dengan benar.
Hujan mulai turun. Rintik-rintik. Nico menyalakan wiper mobil.
'Kurasa aku sangat keterlaluan! Gara-gara ulahku, aku membebani banyak orang lain. Mr. Erwin Stark, Nico, ....., ah!!!' Cassie menundukkan kepalanya.
"Hei...! Jadi, apa yang akan kamu lakukan di hari ulang tahunmu? Tinggal beberapa hari lagi, kan?" tanya Nico sambil melirik melalui kaca spion depan.
"Aku?!" kata Cassie menunjuk dirinya sendiri. "Oh...., ya, aku belum cerita padamu?" Segaris senyum muncul dari bibirnya. Untuk yang ini, ia seharusnya sedikit gembira. "Aku akan memberikan hadiah terhebat untuk Carren."
Nico menatapnya. Penuh tanya.
"Aku sudah menyelesaikannya. Akhirnya.... Tiga hari lagi, wajah Carren akan dioperasi plastik. Ia akan kembali seperti sedia kala. Ia akan berani keluar rumah. Orang-orang akan segera sering melihat kami keluar bersama-sama."
"Subhanallah..., itu kabar yang menggembirakan! Kamu sudah mengatakannya pada Carren?"
"Nanti tidak akan menjadi sebuah kejutan," kata Cassie. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok kursi yang empuk. Menikmati kebahagiaannya. Ia menatap ke depan. Hanya tampak sinar mobil yang berlalu lalang, terpecah kena butiran air di kaca depan mobil sport mewahnya.
"Aku membayangkan Carren akan kaget ketika besok aku membawa selembar form berisi namanya. Ia akan segera pulih kembali. Tidakkah itu sangat menyenangkan? Kami akan kembali bersama," jelas Cassie. Ia tersenyum, terkenang oleh cerita mamanya semasa kecil. Castor - Pollux, si kembar Gemini. Mereka yang terpisahkan, namun menyatu kembali dalam bersamaan. Salah seorang harus berkorban. Dan begitu juga dengan Cassie.
"Hebat! Tapi tentunya kamu harus mengeluarkan biaya banyak, bukan?"
"Ya...., tentu! Aku selalu menyisihkan separo gajiku untuk kutabubg. Mulai ketika aku menjadi kasir dulu. Sudah satu setengah tahun. Dan kini tinggal tiga hari lagi..."
Nico melirik ke arah Cassie, tersenyum. Sungguh gadis yang baik, cantik, dan penuh pesona. Bohong bila ia tidak tertarik padanya. Tapi ia tetap tahu, ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar.
"Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Nico. "Maksudku, kamu akan melakukan apa untuk dirimu sendiri?" jelasnya lagi.
Cassie tertawa kecil. "Yang jelas tidak akan ada yang memberiku kado. Dan aku pun tak mengaharapkannya. Tidak ada perayaan besar-besaran. Aku sudah cukup bahagia jika melihat Carren bisa lebih ceria lagi. Dua tahun hidup sendirian di dalam rumah, tentu sangat membuatnya tertekan."