Cassie membuka pintu, dan mendapati Carren sedang menonton televisi di ruang tengah.
Carren melirik. Segera setelah mengetahui siapa yang datang, ia kemudian kembali meneruskan perhatian pada televisinya. Konser musik di Channel 12. Ia mengeluh karena yang dilihatnya adalah laki-laki yang berjingkrak-jingkrak dan mondar mandir dari ujung panggung ke ujung, berteriak-teriak, serta bertelanjang dada. Di akhir sebuah lagu, ia melemparkan handuk bekas keringatnya ke arah penonton.
Penonton berebutan. Carren serasa ingin muntah.
Segera ia mengubah saluran televisinya. NTV menyiarkan konser Live and Meet One Direction --- Carren buru-buru menggantinya. Siaran berita di NTW Televisi on. Channel 3 dan 5 menayangkan serial keluarga yang membosankan, karena ceritanya terkesan mengada-ada.
Carren akhirnya memencet tombol power. Layar televisi menghitam.
"Sudah makan?" tanya Cassie begitu meletakkan tasnya di atas meja ---du samping Carren duduk.
Carren menggeleng.
"Aku bawa Chinese food. Kamu mau mie?"
"Aku sedang tidak ingin makan," jawab Carren pendek.
Cassie menghela nafas. Ditatapnya saudari kembarnya itu dengan perasaan iba. Tanpa berkomunikasi lagi, ia masuk ke kamar. Begitu keluar dari kamar tidurnya, ia hanya mengenakan t-shirt dan celana panjang. Kerudungnya telah dilepas dan kepalanya sekarang dililit oleh handuk.
Cassie meraih tombol televisi. Mencari saluran yang menayangkan siaran berita. NTW Televisi on. Sembari mengamati headline berita, ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
Carren mendengus. Tapi ia tidak berusaha mengganggu keasyikan Cassie. Dibenamkan tubuhnya pada sofa Violet lavender kesayangannya. Ia merasakan sofa itu seakan menelannya m lebih lagi dirasakannya bumi ini ikut menelannya.
Cassie, yang tidak mengerti apa-apa, mengibaskan rambut panjangnya m rambut pirang yang berkilau indah. Sama dengan rambut Carren. Hanya saja, Carren sudah memangkas rambutnya lebih pendek.
"Rambutmu bagus....," celetuk Carren kemudian.
Cassie menoleh ---sedikit kaget---, kemudian ia tersenyum.
"Aku tidak tahu kenapa kami mau-maunya memakai penutup kepala itu. Padahal rambutmu indah. Kamu tahu, berapa banyak orang wanita yang iri untuk memiliki rambutmu?"
Cassie selesai mengeringkan ujung rambutnya. Dibentangkan handuknya di pegangan kursinya. Dalam hati ia mengeluh, Carren menanyakan hal yang sama. Setelah ini pasti mereka akan berdebat lagi.
"Ooo...., jangan katakan kamu bosan menjadi wanita tercantik di...."
"Aku tidak punya pikiran seperti itu!" Cassie sadar, nada suaranya meninggi. Dan ia buru-buru menetralisirnya. "Islam mengajarkanku untuk menjaga aurat. Ini adalah perhiasan kita yang paling berharga...."
Carren tertawa. "Oh...., ayolah, ini kan hanya rambut! Banyak orang yang memamerkan lebih!"
Cassie menghela napas.
"Sesungguhnya aku merasa kasihan denganmu! Aku melihat kamu bebas, namun sebenarnya terkungkung. Kamu tidak bebas melakukan apa saja. Seperti aku yang selalu terkurung di tempat ini!" lanjut Carren lagi.
Cassie tidak berkomentar.
"Kamu ingin mengolok-olokku, bukan?"
"Tidak! Ini tidak ada hubungannya denganmu atau dengan siapa pun...!"
Carren mengangkat punggungnya. Ia menunggu jawaban kelanjutan perkataan kembarannya.
"Aku melakukan demi diriku sendiri...." sambung Cassie menjelaskan.
"Ohh...., come on!" Carren membanting tubuhnya kembali. Terus terang, sejak setahun yang lalu Cassie menjadi sangat aneh seperti ini. Ia tiba-tiba menjadi sangat menyebalkan dan bicaranya pun menjadi serba filosofis. Sok alim sekali dia!
Ia berbicara tentang Tuhan, keyakinan-keyakinannya yang baru. Islam? Ia pernah membaca suatu artikel tentangnya. Dan yang ia tangkap dari keyakinan itu hanyalah pengekangan terhadap kebebasan. Bayangkan jika semua gerak gerik kita harus diatur! Doa yang berbeda-beda setiap kita akan melakukan segala sesuatu. Dihh!! Mamanya pun tidak pernah melarangnya melakukan macam-macam.
"Sejujurnya aku tidak merasa terkekang," kata Cassie. Ia bisa membaca apa yang ada di dalam benak Carren.
Alis Carren terangkat. Cassie mematikan televisinya. "Sebaliknya, aku merasa bebas."
Carren tersenyum kecut. Kembarannya itu pasti sudah gila!
"Dengan memakai kerudung dan baju panjang ini, aku terbebas dari lirikan nakal pria. Aku terbebas dari segala macam tuntutan tubuh ideal seorang wanita yang tidak masuk akal! Aku ingin ketika seorang menilai diriku, itu benar-benar didasarkan pada pribadiku dan bukan pada penampakan luarku."
"Ohh...., dan sekarang kamu sudah menjadi Miss Inner Beauty!" seloroh Carren dalam hati.
Beberapa saat kemudian, mereka saling diam. Cassie menyetel lagi televisinya setelah ia merasa aneh dengan diamnya mereka berdua. Carren mencoba memejamkan mata, berpura-pura tidur atau pingsan. Terserahlah!
Cassie sebenarnya tahu bahwa kembarannya itu hanya berpura-pura tidur. Tapi kemudian ia malu sendiri ketika menyadari bahwa menonton televisi merupakan kepura-puraannya pula. Ia mengamati channel televisi. Setelah ia benar-benar tidak dapat mendapatkan program yang disukainya, dimatikannya televisi untuk kedua kalinya.
Kamu salah jika menganggap dengan menutup itu, kecantikanmu akan berkurang! Sebaliknya, kamu makin menarik. Tapi kamu jadi tidak tersentuh.
Carren melirik ke arah Cassie diam-diam.
"Ren..." Cassie merasa, ia harus mengganti topik pembicaraannya.
Carren membuka matanya.
Cassie berpikir, ide baik untuk menceritakan tentang apa yang dialaminya hari ini kepada Carren.
"Necrophilia?" tanya Carren sedikit kaget.
Cassie bersemangat. "Ya, itu semacam..."
"Aku tahu! Suka melakukan hubungan badan dengan mayat, itu kan yang kamu maksud!" kata Carren, nyaris tanpa ekspresi.
"Lho kok..., kamu tahu?" tanya Cassie kaget.
Carren menunjukkan jarinya ke arah rak buku kayu, di mana sebuah buku berwarna hijau berada di tumpukan teratasnya.
"Aku banyak membaca! Yah...., apa lagi sih yang bisa dilakukan orang pingitan seperti aku?" tandas Carren dengan nada yang tidak menyenangkan.
Muka Cassie memerah. Buku hijau itu adalah DSM-IV, yang dipinjamnya dari perpustakaan klinik tempatnya bekerja.
"Dan yang lebih seru, ia mengajakku keluar makan malam...."
Carren kali ini benar-benar terkejut. Namun ia buru-buru menyembunyikannya. "Lalu?"
"Kutolak dengan halus!" Cassie teringat ketika ia harus menelpon Nico. "Tapi ketika ia bertanya nomor teleponku, kuberikan. Bodoh ya, aku ini?" kata Cassie, sambil meringis.
Alis Carren bertaut. Lalu bagaimana jika.....
Kriiinggggg!!!!
Mereka berdua terlonjak. Carren dan Cassie saling berpandangan.
Kriiinggggg!!!!
"Apa kamu berpikiran sama denganku?" tanya Carren.
"Mr. Robert Edmund....?" kata Cassie meralat ucapannya. "Orang itu....? Si Necrophilia."
Kriiinggggg!!!!
"Aduuuhh....., bagaimana ini?" Cassie panik. Letak telepon lebih dekat dengannya. Ia hanya perlu mengulurkan tangannya. Lama ia menatap telepon itu, hingga dering terdengar sebanyak lima kali.
"Angkat!" seru Carren.
Cassie menatap Carren tidak percaya. Kemudian ia mendapati bahwa Carren pun kelihatannya tidak seratus persen yakin akan apa yang barusan dikatannya tadi.
Tepat pada deringan ketujuh, Cassie mengangkat gagang teleponnya. Ia gemetaran menempelkannya pada telinganya. Saking tegangnya, ia bahkan lupa mengucapkan salam.
"Yyyaaa....?"
Sedetik kemudian, wajahnya yang semula pucat berangsur-angsur pulih. Ia menutup gagang dengan tangannya, dan ia berbisik, "Dr. Erwin!"
Carren tidak banyak bereaksi. Dari wajahnya tampak kelegaan.
"Atasanku meminta agar aku mengantarkan pasiennya ke psikiater besok pagi!" ujar Cassie setelah selesai berbicara dengan Erwin Stark di telepon.
"Kamu takut tadi orang itu yang menelpon, kan?"
Cassie tersenyum malu. "Iya....! Kamu?"
Carren tidak menjawab. Dingin. Cassie mengeluh dalam hati.
"Sejujurnya aku merasa bersalah. Mungkin aku mengidap paranoid atau apalah itu. Atau mungkin aku hanya berimajinasi liar. Kamu ingin tahu apa yang kupikirkan tentang orang itu?"
Carren mengangkat bahu.