"Necrophilia."
Cassie mengangkat keningnya. "Sejenis paedophilia?"
Di hadapannya, Erwin Stark menandatangani berkas yang dibawa Cassie. Diperhatikannya Cassie sesaat. Ia menyukai binar di bola mata Cassie yang penuh menyiratkan kecerdasan dan antusiasme yang tinggi. Satu lagi orang yang terpesona pada Cassie. Erwin selalu saja berseloroh dalam hati. Andai saja ia tiga puluh lima tahun lebih muda.
"Paedophilia dan Necrophilia adalah rumpun gangguan sejenis patologis. Philia adalah semacam kecenderungan seseorang ---yang berlebihan untuk menyukai sesuatu hal."
Wajah Cassie cerah. "Philia dan phobia adalah sesuatu yang berlawanan bukan? Eumm....., maksud saya, bila philia berarti menyukai, maka phobia berarti adalah membenci. Begitu, kan?"
"Kamu banyak membaca, rupanya!" puji Erwin, membuatnya tersipu. Akhir-akhir ini ia memang sering membawa buku-buku literatur psikologi ke rumahnya dan menghabiskan waktu untuk mempelajarinya.
"Paedophilia dan Necrophilia juga bisa dikategorikan kedalam gangguan penyimpangan seksual. Penderita akan merasa puas bila melakukan hubungan seksual dengan anak-anak, sedangkan Necrophilia adalah pada orang meninggal."
"Mayat maksudnya?"
Muka Erwin Stark Berubah menjadi merah. Tampak kontras dengan rambutnya yang seluruhnya telah memutih. "Kamu tahu apa maksudnya? Berhubungan badan dengan mayat. Orang mati, tentunya."
Cassie terpekik. Ia buru-buru menutup mulutnya. Ia beristighfar berulang kali. "Apakah ini mungkin terjadi?"
"Apakah kamu juga akan menanyakan apakah mungkin Neil Armstrong pada saat itu bisa menjejakkan kaki di bulan?"
"Tapi yang ini menjijikkan!"
Erwin Stark bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu ruang kerjanya. Ia melongok keluar dari lubang kecil di pintu. Tidak ada klien yang sedang menunggu.
"Klien Anda, Mrs. Raya, membatalkan janji untuk konsultasi hari ini. Saya rasa, saya sudah meninggalkan note di atas meja sewaktu Anda tadi istirahat makan siang."
Erwin Stark menepuk jidatnya. "Iya..., ya!" Dan ia kembali duduk di atas kursi kulitnya yang empuk. "Sampai di mana tadi? Oh ya...., penyebab terjadinya."
Cassie menunggu. Ia mencatat setiap perkataan atasannya itu dalam otaknya.
"Banyak hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan ini. Tapi yang jelas itu terjadi karena faktor dari luar dirinya. Adanya tekanan-tekanan sosial bisa juga menimbulkan ketegangan dalam diri individu sehingga muncul gejala-gejala yang disebut Necrophilia."
"Apa persisinya itu?" cecar Cassie.
Erwin Stark menatap wajah Cassie. Ini adalah saat di mana Cassie tidak bisa dihentikan.
"Kurang percaya diri ketika ia akan melakukan hubungan seksual dengan sesamanya ---orang normal--- merupakan salah satu penyebabnya. Bagaimanapun, sebagai manusia, ia butuh melampiaskan kebutuhan biologisnya. Dan bagi lelaki umumnya, ada mekanisme mimpi yang bermanfaat untuk menekan hasrat itu. Tapi bagi sebagian orang, itu saja tidak cukup.'"
"Dan sebagian dari mereka melakukannya dengan mengganti manusia dengan objek lain...." gumam Cassie, "tapi kenapa musti dengan mayat?"
Erwin Stark tersenyum. "Mengapa Romeo memilih Juliet, bukan yang lainnya saja? Ini terkadang bukan sekedar masalah memilih. Bila semua orang bisa memilih sesuai dengan keinginannya, lalu mengapa tidak semua orang memilih untuk hidup normal dan kaya bergelimang harta?"
***
Keesokan siangnya, lelaki berwajah kerucut itu datang lagi. Kedatangannya membuat Cassie kaget. Dan sekali lagi ia bisa menguasai keadaannya dengan cepat.
Necrophilia. Entah kenapa hidung Cassie seperti bisa mencium bau daging busuk. Ia sadar bahwa itu hanya sugesti. Buru-buru dienyahkan pikiran itu.
"Selamat siang, Mr. Robert Edmund. Ada janji dengan Dr. Erwin?" sapa Cassie mencoba berbicara serakah mungkin.
Cassie tidak mengerti. Seingatnya, atasannya itu tidak mengatakan padanya bahwa ia ada janji konsultasi dengan Mr. Robert Edmund, lelaki bermuka kerucut ini. Cassie juga tidak menemukan nama Robert Edmund di waiting list-nya.
"Tidak...., saya tidak ada janji dengan dia!" jawabannya. Ia tersenyum, memperlihatkan giginya yang kecoklatan. Cassie baru sadar, jika hari ini Mr. Robert Edmund mencoba bersikap ramah padanya. Dan gaya pakaiannya yang rapi ini? Kemeja di balik sweater berwarna hitam tanpa lengan. Sejujurnya, tampak menggelikan dikenakan pada tubuhnya yang kurus. Ia tampak semakin mengerut.
"Saya ingin bertamu dengan An.... Anda!"
Cassie terkesiap. 'Apa lagi ini?'
Mr. Robert Edmund mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan.
Cassie menangkupkan telapak tangan di depan dadanya. Mr. Robert Edmund tampak kaget. Cassie jadi sadar, mungkin ia akan melukai perasaannya. Tapi bagaimana cara menjelaskan bahwa ia memang melakukannya pada semua laki-laki yang tidak punya hubungan sedarah dengannya. Kontak fisik dengan bukan muhrim itu di larang. Dan Cassie tidak mungkin menjelaskan itu dengan kata-kata yang teramat sederhana sekalipun pada Mr. Robert Edmund.
Mr. Robert Edmund menarik tangannya. Muka memerah. Sebenarnya Cassie pun tak kalah malunya saat ia tak bisa menjelaskan sepatah kata pun tentang apa yang dilakukannya barusan.
"Ehmm..., bisa saya mengajak Anda...?"
"Panggil saja Cassie."
"Ya.... Cassie, untuk makan siang..."
Cassie tersentak, namun sedikit demi sedikit ia dapat mengendalikan dirinya.
"Maaf..., saya biasa makan siang di kantor sambil menjaga kantor ini."
Mr. Robert Edmund tidak putus asa. "Saya sebenarnya ingin berbicara tentang sesuatu. Tapi tidak bisa saya lakukan di sini," ujarnya lamat-lamat. Wajahnya ditarik lebih ke depan, dan nada suaranya benar-benar terdengar serius.
Cassie mulai ketakutan lagi.
"Bagaimana kalau makan malam?" sambung Mr. Robert Edmund.
"Saya akan dijemput oleh teman saya!" jawab Cassie.
Mr. Robert Edmund kelihatan kecewa. Diam-diam, Cassie merasa kasihan. Hatinya pasti hancur. Tapi mesti bagaimana lagi? Cassie tidak mau sesuatu terjadi pada dirinya. Ia merasa jahat berpikiran seperti ini. Tapi ia tidak bisa dapat mengenyahkan pikirannya tentang apa yang akan terjadi bila ia menuruti ajakan Mr. Robert Edmund.
Mula-mula ia akan diajak ke sebuah restoran. Setelah selesai, Mr. Robert Edmund mengajaknya ke suatu tempat. Rumah. Dirinya yang mungkin saat itu sudah terpesona atau terhipnotis, menurut saja. Ia masuk ke rumah dan seketika ia juga mencium bau bangkai. Saat itu ia sadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan besar. Tapi saat ia membalik, semuanya terlambat. Mr. Robert Edmund menyeringai lebar di hadapannya. Ia menggenggam sebilah pisau yang disembunyikan di balik saku celananya. Ia akan membunuhku! Kemudian ia akan melakukan hal yang lebih mengerikan setelah aku mati nanti.
"Kalau begitu, boleh saya minta alamat rumah?"
"Astaghfirullah!" Cassie terjingkat. Ia buru-buru mengusir pikirannya jauh-jauh. Tapi kalau yang ini paranoid atau waspada?
"Tidak boleh, ya?" tanya Mr. Robert Edmund lemas.
"Oh... eh...., Eumm...., boleh!" Cassie menjadi salah tingkah sendiri. Ia mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat apartementnya. Disodorkannya kertas itu pada Mr. Robert Edmund.
Mr. Robert Edmund menerimanya dengan penuh suka cita. "Boleh saya datang ke rumah Anda sekali waktu?"
Darah Cassie berdesir. "Boleh! Tapi mohon telepon dulu!" jawabnya.
Mr. Robert Edmund tampak makin riang. Raut wajahnya seperti seorang anak yang baru dibelikan balon. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah lagi. Serius. "Anda bersungguh-sungguh tidak bisa makan malam hari ini dengan saya?"
"Maaf! Saya akan dijemput teman hari ini!" ucap Cassie dengan suara tercekik. "Lain kali mungkin.....," katanya, dengan tidak yakin.
Mr. Robert Edmund mengangguk. Kemudian ia pamit, dan langsung meninggalkan tempat ini.
Cassie cepat menata dirinya. Kemudian ia buru-buru menuju telepon dan memutar sebuah nomor.
"Halo.... Assalamu 'alaikum, bisa bicara dengan Nico?'
Ia menunggu cukup lama, hingga dari sebrang sana terdengar suara orang yang dicarinya.
"Maaf mengganggu, tapi ini darurat! Bisakah aku meminta tolong untuk dijemput makam ini di klinik? Ya, ini sangat penting! Menyangkut masalah hidup mati."