Chereads / TRAITOR / Chapter 10 - Prasangka

Chapter 10 - Prasangka

Matthew meloskan semuanya. Pijakan rem dan gas dilepaskan. Tindakannya ini mampu membuatnya sembuh dari kepanikan. Mobilnya melaju lurus dengan kecepatan yang semakin melambat. Matthew menarik nafas lega. Satu masalah terselesaikan sudah. Seharusnya ia berhati-hati. Memang salahnya tadi karena mobilnya terlalu ke tengah.

"Untunglah...," batin Matthew. Ia mengerjap-ngerjap matanya. Tampaknya silau lampu truk tadi cukup mempengaruhi mata Matthew. Karena yang ada di depan matanya sekarang, tak lebih dari bintang-bintang yang membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Ia baru sadar, di depannya masih ada sebuah tikungan tajam.

Sebuah lampu dipasang bertuliskan, Drive Carefully. Matthew buru-buru menginjak rem. Namun jarak ini terlalu dekat. Dalam keadaan gugup, hal terakhir yang sempat dilakukannya adalah membayangkan wajah Vera dan kedua anak kembarnya. Mobilnya menabrak pembatas jalan yang tidak lebih hanya palang besi kecil-kecil ---yang tidak cukup untuk menahan mobil itu. Sedetik kemudian, mobil itu meloncat dan jatuh ke dalam lembah curam.

***

Malam itu ketika sedang sibuk menyiapkan makan malam, Vera mendengar suara pintu diketuk. Ia berharap itu adalah Matthew seperti biasanya. Namun buru-buru ia mengenyahkan pikirannya itu. Semenjak tadi pagi ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa suatu saat ia harus jauh dari Matthew. Lagi pula kan hanya untuk tiga hari? 

"Ya...," sahut Vera sambil membuka pintu.

Keningnya berkerut ketika melihat dua orang polisi. Mobil polisi diparkir di depan pekarangan rumahnya. Beberapa tetangga yang kebetulan lewat di jalan, menyempatkan diri melihat apa yang terjadi dari kejauhan.

"Mrs. Sayersz?" tanya polisi itu.

"Iya....," jawabnya. Vera merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tidak beres. Jantungnya berdebar tak karuan, Matthew?

"Suami Anda, Mr. Sayersz mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh ke jurang di sekitar perbukitan menuju Lilydale."

Vera terbelalak. "Ja... jatuh....? La.... lalu bagaimana keadaan suamiku?"

Dua polisi itu saling berpandangan. Tampaknya mereka adalah kader baru yang belum terbiasa menyampaikan berita menyedihkan seperti ini. Namun kebingungan mereka itu cukup menjawab pertanyaan Vera.

Vera tidak mampu menangis. Air matanya telah habis beberapa hari terakhir ini. Dadanya bergemuruh. Jantungnya seakan ditikam. Telinganya ngilu, seperti ada sirene nyaring yang dibunyikan di dekat telinganya. Persendiannya lemas, dan ia kehilangan keseimbangan.

Tubuhnya ambruk ke lantai. Tak sadarkan diri. Sayup-sayup ia mendengar jeritan si kembar. Kemudian diam.

***

Cassie membereskan arsip yang ditinggalkan atasannya dengan cekatan. Ditumpuknya jadi satu, kemudian dimasukkannya ke dalam binder plastik berwarna hitam. Setelah disimpan rapi di salah satu laci lemari file di belakangnya, ia masih menyempatkan diri merapikan letak bunga dalam vasnya.

Ting..., ting..., Suara bunyi lonceng mungil berbunyi bila pintu dibuka. Ada rumbai-rumbai tepat di bawah lonceng. Semua orang yang melewati pintu itu pasti akan menyempatkan waktunya untuk mengamati benda itu. Lucu. Atasannya membeli lonceng itu sewaktu melawat ke Jepang.

"Klinik Greenlife, ada yang bisa saya bantu?" tanya Cassie sambil membenarkan letak kerudungnya. Ia melihat siapa yang datang. Seorang lelaki kurus kering, berwajah kerucut yang tampak kebingungan. Ia menatap Cassie dengan tatapan aneh.

"Selamat sore, Sir! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Cassie tenang dan tampak terkendali. Ini sudah bulan kedua ia bekerja di tempat ini. Menemui orang-orang aneh adalah santapannya sehari-hari. Yang paling parah adalah minggu lalu, saat ada seorang pasien datang --- penderita maniak depresif --- yang tiba-tiba langsung mengobrak-abrik meja pendaftarannya. Jika keadaan sudah sangat genting, biasanya Cassie akan memencet tombol rahasia yang ada di bawah laci mejanya. Beberapa detik kemudian akan datang Tim, petugas security. Ia yang akan mengurus masalah selanjutnya.

"Saya ingin bertemu Erwin Stark!" jawabnya pendek. Nada suaranya misterius.

Cassie tersenyum. Semua orang yang datang ke sini sudah tentu ingin bertemu dengan dr. Erwin Stark, Ph.D, psikolog klinis sekaligus atasannya.

"Anda sudah buat janji, atau..."

"Saya ingin ketemu segera!" kata laki-laki itu tak sabar.

Cassie mengangguk sopan. Sejujurnya ia begitu lelah hari ini. Pagi tadi ia mengantarkan salah satu klien atasannya untuk rujuk ke psikiater. Meskipun demikian, Cassie masih bisa mengendalikan emosinya.

"Orang yang anda maksud sedang ada di dalam. Beliau juga sedang ada tamu. Saya harap anda bisa bersabar menunggunya." Cassie menyodorkan secarik kertas padanya. "Ini form, mohon diisi dulu! Anda bisa mengisinya di kursi sebelah sana!" kata Cassie sopan.

Laki-laki itu mendengus. Tapi ia mau juga melakukannya. Ia meraba-raba saku kemejanya. 

"Ini bolpoinnya! Silahkan!" Cassie meletakkan bolpoin di atas meja. Lelaki itu menatapnya sejurus. Ia bertanya-tanya, mengapa ia tidak menyerahkan langsung kepadanya? Seakan ia menghindari untuk menyentuh tangannya. Apakah gadis itu takut kepadanya?

Lelaki itu dengan sedikit ragu hendak bertanya. Tapi niat itu diurungkan ketika melihat senyum tulus di bibir Cassie.

"Anda ingin secangkir teh atau kopi?"

Laki-laki itu terpana dan buru-buru menolak. "Eh... eh...., ti... tidak!" katanya, dan mukanya pun memerah.

Kening Cassie bertaut. "Tidak?"

"Mak.... maksud saya teh saja!" kata lelaki itu dengan gagap. Ia menyembunyikan mukanya yang masih bersemu merah.

Sementara itu Cassie, yang tampaknya tak sadar dengan pesona dirinya, membalikkan badan. Dalam beberapa menit saja, ia sudah memegang secangkir teh di tangannya. Ia kaget mendapati lelaki itu masih berdiri di tempatnya.

Cassie pucat. Apakah sedari tadi laki-laki itu memperhatikan punggungnya? Dan tiba-tiba ia merasa risih. Tapi dengan cepat ia bisa mengendalikan diri agar perasaan itu tidak muncul dalam mimik wajahnya. Dan ketakutan-ketakutan itu membuatnya membisu untuk beberapa saat. Tangannya bergerak ke bawah meja. Ia siap-siap untuk menekan tombol rahasia bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bermacam-macam orang yang mengalami gangguan psikologis datang ke tempat ini. Ia mengamati tiap raut wajah klien  dan mencocokkan dengan kelainan yang diidap mereka. Tapi yang ini tampaknya lain. Apakah ia punya semacam gangguan seks maniak? Atau.....?

Astaghfirullah.... suuzhan! Cassie buru-buru mengusir pikiran buruknya, meski ia tetap waspada. Tubuhnya bergetar.

"Bol... bolpoinnya mati!" kata lelaki itu sambil mengacungkan bolpoinnya.

"Maaf!" Lelaki itu menggoreskan bolpoinnya di atas kertas. Tidak ada goresan tinta, hanya bagian kertas yang tertekan.

"Oh...!" Cassie serasa ingin menggigit lidahnya. Ia menyodorkan bolpoin yang baru. Lelaki itu beranjak ke arah kursi yang tadi ditunjuk Cassie, duduk, dan mulai menulis.

Cassie memperhatikannya hingga beberapa menit lamanya. Ia kemudian tertawa ---menertawakan dirinya sendiri. Teringat ia akan perkataan atasannya. Ketika itu ia mengingatkan dirinya agar selalu waspada, namun jangan menjadi terlalu paranoid.

Ia merasa prasangkanya terlalu berlebihan. Untung ia tidak jadi memencet tombol. Keadaannya bisa jadi lebih runyam. Meskipun demikian, ia tetap merasa malu dengan dirinya sendiri. Tapi apa sebenarnya yang diderita lelaki itu, ya? Cassie menjadi ingin tahu.