Matthew menurunkan koran yang dibacanya tepat ketika seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan pesanannya di atas meja.
"Kopi dengan krim. Ada lainnya yang ingin Anda pesan?"
Matthew tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia harus menunggu sekitar satu jam lagi ketika jalan sudah mulai sepi. Matthew ingin bisa benar-benar menikmati perjalanannya pulang. Sayang untuk melewatkan pemandangan di sepanjang jalan nanti.
Rencananya malam ini ia akan menginap di rumah Kelly, saudara sepupu Vera yang tinggal di Lilydale. Warrandyte dan Lilydale jaraknya lebih dekat dari pada harus bolak-balik ke Philadelphia.
Besok pagi adalah pengumuman pelamar yang masuk seleksi selanjutnya. Dari lima puluh calon pelamar, akan dipilih lima orang saja yang kemudian akan dites kesehatan. Bila semuanya lolos, maka kelima-limanya akan dapat langsung bekerja seminggu sesudahnya. Jika lolos besok, berarti tiket menjadi pegawai sudah ada di tangan. Matthew tersenyum. Seminggu lagi ia akan memperoleh seragam barunya.
"Aku tahu, ini hari keberuntunganku! Sudah kubilang aku akan mendapatkan banyak hari ini!" ujar seorang laki-laki yang duduk di samping meja Matthew. Ia menepuk-nepuk boks yang diletakkannya di lantai. Temannya yang duduk di hadapannya tertawa.
"Aku senang, akhirnya kita bisa membawa sesuatu untuk pulang. Istriku mencemoohku beberapa hari yang lalu ketika aku berkata akan pergi memancing. Ia mengira memancing adalah kegiatan yang tidak berguna."
"Mereka tidak akan bisa berkomentar jelek lagi jika mendapati kita pulang membawa persediaan lauk pauk selama seminggu."
"Hah.... entahlah! Aku tidak yakin istriku senang. Ia alergi ikan!"
Laki-laki yang mengenakan topi bergaya koboi itu tertawa. "Oh, ya...? Pantas ia tidak suka sekali kalau kamu memancing!" Ia kemudian membenarkan letak kail pancingnya yang melorot. "Untunglah, Elaine tidak!"
Matthew menatap mereka berdua. Benar, ia bahkan baru menyadari bahwa orang-orang bisa melakukan apa saja di kota ini. Memancing, hiking, bersepeda, ataupun berkuda. Ia juga baru benar-benar menyadari pula bahwa kota ini kental dengan nuansa koboi. Apalagi cafe ini, dengan dinding yang hampir semuanya dibangun dari kayu, juga tong-tong yang ditumpuk di pojok ruangan. Di langit-langit ia bisa melihat tali laso digantungkan. Entah untuk suatu keperluan tertentu atau memang sekedar untuk hiasan saja--- Matthew tidak mengerti.
Dalam perjalanan tadi ia menyempatkan diri melewati perkebunan anggur di Kenga Park. Dan ia merasa hatinya benar-benar tertambat di kota ini. Hijau terhampar. Tanaman anggur yang ditanam berpetak-petak dalam sebidang tanah luas berpuluh-puluh hektar. Rambat tanaman anggurnya dililitkan pada pagar-pagar kayu. Para petani terlihat sibuk memetik anggur dan sebuah mobil kecil yang mengangkut dua orang melintasi balok-balok perkebunan sambil mengawasi petani melakukan pekerjaannya.
Matthew membayangkan Carren dan Cassie akan senang berada di tempat ini. Mungkin tempat ini lebih baik mereka. Udaranya pun bersih dan sehat. Aku tidak perlu khawatir dengan kesehatan mereka, pikir Matthew. Dan tiba-tiba saja wajahnya berubah ceria. Iya! Mengapa tidak terpikirkan olehnya untuk mengajak mereka pindah ke tempat ini? Matthew tahu, Vera tidak akan begitu saja setuju dengan usulannya. Ia mengenal baik istrinya itu. Vera tidak begitu suka dengan perubahan. Dan pindah rumah baginya adalah seperti mengubah sejarah. Tapi Matthew yakin, pendapat Vera akan segera berubah bila ia sudah benar-benar melihat tempat ini. Kota ini seperti sihir yang akan membuat orang terpesona dan menginginkan tinggal di sini selamanya.
Matthew menjadi bersemangat. Dibukanya kembali korannya. Ia mencari rubrik informasi tentang rumah-rumah yang disewakan atau dijual. Harga sewa di sini tentunya lebih miring dari pada di Philadelphia.
***
Matthew bersiul-siul riang sembari melajukan mobilnya merayapi jalanan lengang yang mengitari perbukitan. Hari ini ia serasa mendapatkan kehidupannya yang baru. Waktu dua jam sejak dari cafe tadi, digunakannya untuk mencari alamat-alamat rumah yang disewakan. Akhirnya, ia menemukan rumah yang dicarinya.
Rumah itu adalah yang terbaik dari beberapa pilihan yang sempat dilihatnya. Sebuah rumah mungil di tengah pekarangan rumput yang tampak terawat. Berdinding bongkahan bebatuan besar-besar yang disemen tanpa dicat. Sekilas, penampakannya persis Cook's Cottage. Dua buah jendela besar berbingkai putih yang menghadap ke jalan. Kusam. Namun Matthew yakin, bila dicat sedikit pasti hasilnya akan lebih memuaskan.
Ia membayangkan Vera setiap sore menunggunya pulang, duduk-duduk di tepi bingkai jendela yang besar sembari membaca novel kegemarannya. Ah...., tinggal di rumah ini seharusnya bisa membuat Vera lebih bersantai. Matthew tahu, Vera kelihatan terlalu serius dan tegang setiap harinya. Ia berharap tinggal di lingkungan ini bisa membuat Vera tampak lebih segar.
Oh, ya....! Perapian. Matthew paling suka bagian itu. Ia ingin suatu saat bisa punya waktu untuk menyelonjorkan kakinya di depan perapian saat musim dingin. Ditemani secangkir susu coklat panas, dan Vera di sampingnya menjahit sweater untuknya.
Sayangnya, Matthew tidak berhasil menemukan pemiliknya. Hanya sebuah papan bertuliskan "FOR RENT" dengan nomor telepon di bawahnya. Tadi ia menelpon, namun tak ada yang mengangkat. Matthew berharap sewa perbulannya tak lebih dari lima ratus dolar. Karena ia yakin, gajinya sebagai satpam sebulan tak akan lebih dari dua puluh dolar per jamnya.
Lembah curam di sisi kiri Matthew. '5 Kilometer of Winding Road'. Matthew membaca rambu lalu lintas berwarna kuning. Sebentar lagi ia akan memasuki daerah The Dandenongs. Daerah perbukitan yang tinggi. Pada musim dingin, salju sering turun.
Hijau di bawah sana dengan warna jingga di langit membuat pemandangan ini terlihat seperti lukisan. Kanopi-kanopi hijau yang lebat. Matthew melambatkan laju mobilnya ketika ia mencapai puncak bukit. Sepertinya ia bisa melihat semuanya dari tempat ini. Dilongkokkan kepalanya dari balik jendela mobil. Sebentar lagi matahari tenggelam. Jarang-jarang ia melihat pemandangan seperti ini.
Ini hari pertamanya pergi sendirian jauh dari rumah. Matthew tertawa, ia bahkan merasa dirinya seperti anak kecil. Namun kelahiran kedua anak kembarnya memang benar-benar banyak menyita waktunya. Hingga ia tidak sempat pergi berlibur. Ia juga tidak tega melihat Vera susah payah mengurus kedua anaknya yang sehat dan aktif itu. Terima Carren yang sering banyak bergerak.
Seminggu yang lalu ia pulang dari kerja. Carren menyambutnya di depan pintu. Tersenyum sembari berkata, bahwa ia bisa mencium lututnya. Si kecil langsung duduk dengan menyelonjorkan kaki di atas lantai. Dibungkukkan badannya hingga hidungnya menyentuh lutut. Matthew terkesiap. Ia membayangkan tulang punggung Carren akan patah.
Namun ajaib..., tidak!
"He.... he... he... he...!" Carren tertawa bangga. Muncul lesung pipit di pipinya yang chubby.
Muka Matthew pucat.
Carren tertawa lagi. Tampaknya ia puas telah membuat papanya terkejut setengah mati.
Cassie...? Matthew tersenyum. Ia yang paling sering menangis. Tapi Cassie pulalah yang paling peka dengan perasaan orang lain. Ia tahu saja papanya sedang bersedih. Biasanya Cassie akan menggosok-gosokkan tubuhnya ke lutut Matthew untuk menghiburnya. Anak yang benar-benar manis.
Diiiiiinn!!!!!!!!!
Matthew meminggirkan mobilnya. Di tikungan jalan, dari arah berlawanan, muncul sebuah truk besar. Lampunya menyorot wajah Matthew. Refleks ia menutup mata dengan punggung tangannya. Mobilnya berada tepat di depan hidung truk itu ---hanya beberapa meter jauhnya. Buru-buru ia membanting setirnya ke kiri.
Suara ban yang menggesek aspal dengan tekanan yang kuat menimbulkan bunyi yang tidak enak didengar. Matthew menginjak pedal rem sekuat tenaga. Suaranya melengking serta memekakkan telinga. Mobilnya selip. Bagian belakangnya terlempar ke arah kanan. Untuk sesaat, Matthew tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Namun untunglah, ia berhasil melewati truk itu.
Sopir truk itu mengumpat dari balik kaca jendela. Matthew kini harus berusaha untuk mengembalikan keseimbangan mobilnya. Mobilnya melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, membentuk huruf S. Gerakannya ini akan membuat stuntman sekalipun terpesona.