Matthew mengamati Vera yang sedang menyiapkan bekal untuk dirinya tanpa berkomentar. Terlihat mata Vera masih sembab. Matthew yakin Vera tidak tidur semalam. Ia berbaring dengan posisi memunggunginya, sehingga Matthew tidak bisa memastikan apakah Vera sudah benar-benar memejamkan mata atau belum. Namun beberapa kali Matthew memergoki kepala Vera bergetar. Dan meski dengan lembut, Matthew dapat pula mendengar isak tangis Vera. Ingin sekali ia membelai rambut Vera untuk menenangkan hatinya. Tapi ia tahu, saat tidak tepat.
Kemarin, sehabis makan malam, Matthew mengatakan bahwa tekadnya untuk bekerja di Warrandyte sudah bulat.
"Kamu tidak menahanku?" tanya Matthew tidak mengerti. Di luar dugaannya, Vera tidak menampakkan reaksi penolakan.
"Well...., aku tidak dapat mencegah keinginanmu! Kamu tahu itu, tanyakan pada dirimu sendiri!"
"Aku sebenarnya tidak bermaksud...."
"Aku tahu!" potong Vera cepat. Ia mengangkat piring kotor yang terakhir dari atas meja makan ke dapur.
"Lalu?" sahut Matthew cepat. Ia meloncat, mencegah langkah Vera.
"Apa kamu minta aku mencegahmu? Apa kamu belum yakin tentang keputusanmu itu?" Vera tahu, Matthew berusaha membujuknya. Ia berusaha mendapatkan dukungan. Atau sebaliknya, mereka akan berdebat sepanjang malam. Percuma! Vera yakin, bahwa Matthew punya seribu alasan bagus untuk mengandaskan ketidaksetujuan Vera atas keputusannya itu. Matthew akan menang dan itu berarti pula semacam isyarat bahwa "seharusnya Vera pun mendukungnya".
Matthew menatap punggung Vera. "Jadi, kamu mengizinkan?"
Vera hanya mengangkat bahu, kemudian ia terus berjalan melewati Matthew yang hanya diam tak mampu berkata apa-apa.
"Aku akan pulang secepatnya!" janji Matthew, ketika Vera menyodorkan sekotak roti untuk bekal selama perjalanan nanti.
Vera diam. Kemudian ia mulai menangis lagi. Ia tahu dirinya tidak berhak menyalahkan Matthew atas keputusannya itu. Maksud Matthew sebenarnya baik. Itu merupakan bukti bahwa ia sangat memperhatikan kehidupan keluarga. Bila Vera tetap menahannya, berarti dirinya egois. Keadaannya tentu tidak akan sesulit ini jika saja mereka tidak hidup dalam lingkaran garis kemiskinan.
Hari-hari terakhir ini Vera merasa terlalu banyak menangis. Kelopak matanya menjadi sedikit gelap dan pipinya semakin kelihatan kurus. Si kembar tahu perubahan itu. Cassie, yang paling peka, mengusap kelopak mata ibunya saat sedang tidur. Ketika Vera terbangun, Cassie memamerkan senyum bidadarinya sembari berkata ada lingkaran hitam di matanya.
Vera mencoba untuk tersenyum. Bibirnya bergetar, sementara air matanya masih terus menetes. Ia berjanji, nyali saat ini dan selanjutnya, ia harus lebih tabah. Ini semua adalah cobaan. Dan seperti kata Matthew, mereka akan bisa melaluinya bersama-sama.
Ia kemudian teringat malam itu, saat ia mengatakan kegelisahannya tentang mempunyai dua anak sekaligus. Dan setelah itu, terbukti mereka bisa melaluinya dengan baik. Meski itu berarti Matthew harus lembur dan bekerja lebih lama beberapa jam setiap harinya. Mulanya Vera merasa kesepian. Ia menyadari dirinya sering kehilangan sosok suaminya pada sore hari.
Saat petang tiba, Vera menatap senja merah jingga. Seperti luka gores di dadanya. Namun kerinduannya itu tergantikan dengan kehadiran Carren dan Cassie yang mungil dan lucu-lucu. Mereka selalu membuatnya menjadi lupa waktu. Tak terasa setiap hari berjalan seperti itu. Berbulan-bulan lamanya. Vera menjadi terbiasa.
"Hati-hati, Sayang!" kata Vera sambil memeluk tubuh Matthew.
Matthew melambaikan tangannya ketika akan masuk ke mobilnya. Ia menatap wajah Vera, seakan mencari kepastian. Vera tersenyum dan mengangkat tangannya.
"Pergilah! Aku akan menjaga anak-anak untukmu!"
Matthew mengangguk. Perasaan haru memenuhi dadanya. Ia memacu mobilnya.
Vera berdiri tegak di belakangnya tanpa bergeming. Hingga mobil Matthew menghilang di balik tikungan. Ia menarik nafas panjang, sebelum kembali melangkah masuk rumah.
"Carren..., Cassie..., kalian mau main ke taman hari ini?" tanya Vera. Wajahnya mulai kelihatan ceria. Ia akan menunggu pulangnya Matthew suaminya, hanya untuknya dan kedua anak mereka.
***
Matthew tidak menyangka bila proses wawancaranya bisa berjalan dengan semudah ini. Dan ia merasa telah melakukannya dengan baik. Bagian di mana dirinya bercerita tentang perannya sebagai Rover adalah hal yang paling membuatnya mendapatkan penilaian lebih.
Keluar dari ruang wawancara, ada perasaan bangga dan sedikit angkuh. Ia melewati pelamar lain yang sedang menunggu gilirannya diwawancarai. Wajah mereka tampak cemas. Matthew tahu apa yang akan membuat mereka lebih tertekan, yaitu jika ia bercerita tentang apa yang dialaminya selama di dalam ruang tadi.
Di akhir seleksi tadi, tiga orang pewawancara itu mengalami tangannya dengan hangat dan ramah. Matthew merasa, itu adalah ucapan selamat datang kepadanya. Dan tatkala salah satu dari mereka mengatakan bahwa surat pemberitahuan akan dikirim secepatnya, Matthew sudah tak sabar untuk melihat namanya tertera sebagai calon pelamar yang lolos ke tahap selanjutnya. Sejujurnya ia merasa akan lebih menguntungkan bila seleksi ini diadakan secara beruntun dalam satu hari, karena tidak perlu bolak-balik ke kota ini.
Warrandyte sebenarnya kota yang indah. Semua yang ada di sini serba alami. Yarra River yang sangat berbeda dengan yang selalu dilihatnya di Philadelphia, mengalir pula membelah kota ini. Bebatuan alami asli dan tanaman hijau tumbuh lebat di kedua sisi sungai.
Di Philadelphia, Yarra River dibatasi oleh semacam tanggul kukuh, Southbank. Matthew pernah mampir ke daerah itu. Terletak di pinggir Yarra River dan merupakan salah satu pusat keramaian di Philadelphia bagian selatan. Untuk mencapai itu ia harus menyeberangi Princes Bridges yang menghubungkan antara Melbourne bagian Utara dan bagian Selatan. Ketika malam tiba, pemandangannya sangat indah dari sana. Matthew menyempatkan diri untuk mampir di salah satu Cafe yang terletak di pinggir Yarra River, dan ia melihat kapal-kapal menyebrangi sungai ---Philadelphia River Cruises--- yang dipenuhi oleh lampu-lampu. Ia teringat pada perahu-perahu gondala yang melintasi Sungai Virginia.
Dari tempat itu pula, ia bisa melihat Philadelphia bagian Utara ---tempatnya tinggal---, mencolok di antar gelapnya malam. Ribuan titik lampu dari rumah-rumah, menghangatkan malam. Kota lampu. Gedung perkantoran yang beberapa lampunya masih hidup dan ada yang sudah mati ---membuatnya teringat pada balok-balok permainan tetris. Gedung-gedung itu membentuk bayangan pada permukaan air Yarra River. Bayangannya seperti spektrum warna yang memanjang, bergoyang terkena gelombang air. Indah memang.
Namun itu tak lebih dari benda-benda artifisial manusia. Lama kelamaan Matthew merasa bosan melihatnya. Ia toh sudah kenyang melahap pemandangan seperti itu di kota Philadelphia.
Beda dengan Warrandyte. Siapa saja yang menyukai hal-hal berbau alami, pasti tidak akan pernah menyesal mengunjungi tempat ini.
Matthew mencoba mencelupkan kakinya di air. Ia berpegangan pada tanaman merambat yang tumbuh di lereng pinggir sungai. Terlihat beberapa ekor bebek berkepala hitam berenang mondar-mandir. Terkadang menepi ketika ada orang yang membawa remah roti untuk dibagikan.
Seakan tubuhnya dilemparkan ke surga. Ia tidak bisa mendapatkan pemandangan seperti ini di Philadelphia.
Warrandyte juga dikenal dengan sebutan sebagai kota historis. Kota ini termasuk daerah penghasil emas saat gelombang pengungsi Eropa datang. Tak hanya itu, Warrandyte merupakan surga bagi pengrajin dan seniman sejak tahun 1980. Rumah-rumah di pinggir jalan yang lenggang ---memanjakan mata. Tidak seperti di Philadelphia yang rumah-rumahnya terkesan berdesak-desakan. Sepertinya setiap hari ada saja bangunan baru, entah di sisi jalan, di atas bangunan lainnya, atau di bawah tanah.