Petugas itu mengingatkan Matthew untuk memakainya dengan sisi yang benar. Namun Matthew tidak ambil pusing, karena ia benar-benar tidak tahu yang mana bagian muka dan mana yang bagian depan atau sebaliknya itu.
Ia mendobrak pintu ruang bersalin, seakan ia merasa bahwa pintu dikunci dari dalam. Tapi ternyata pintu itu tidak dikunci. Malang bagi Matthew karena tubuhnya terdorong ke depan, sehingga nyaris menabrak rak peralatan untuk bersalin. Semua orang yang ada di dalam seketika menoleh semua ke arahnya. Dalam keadaan biasa alias bukan genting melahirkan seperti ini, tentunya Matthew akan sangat malu sekali. Tentu di pandang sebagai laki-laki yang ceroboh.
"Suaminya!" bisik seorang suster pada lelaki paruh baya. Orang itu adalah dokter yang akan bertanggung jawab untuk menangani proses persalinan ini.
Dokter itu hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya maklum. Ia pun teringat betapa paniknya dulu sewaktu istrinya melahirkan anak pertamanya. Dan yang membuatnya lebih malu adalah saat itu ia adalah seorang mahasiswa tingkat akhir fakultas kedokteran. Bila memungkinkan, rasanya ia sendiri yang akan melakukan persalinan istrinya. Di matanya, apa yang dilakukan dokter persalinannya waktu itu serba kurang sempurna. Terlalu lambanlah, bertele-tele, atau jahitannya kurang rapi. Ia sangat cerewet saat itu hingga di dokter membentaknya dan menyuruhnya untuk diam, atau keluar dari ruangan.
"Vera!" bisik Matthew, merengsek ke tepi istrinya. "Ini aku, Sayangku! Kamu akan baik-baik saja!" bisik Matthew lagu. Ia menggenggam tangan istrinya erat-erat, dan menciumnya.
Vera tersenyum. Namun wajahnya segera pucat saat melihat rak peralatan yang berada di samping kanan Matthew. Gunting, pisau bedah, suntik, lalu alat-alat yang mirip dengan tang, dba bahkan ada yang mirip pembuka tutup botol coke atau Coca-Cola. Suara benda berbentuk kotak yang ada garis-garis naik turun yang terhubung dengan selang infus-nya. Masih banyak macam-macam alat yang tampak asing baginya. Ia berharap dokter tidak akan menggunakan semua alat itu untuk mengeluarkan bayinya. Semoga saja persalinannya berjalan lancar.
Suster-suster dan dokter yang berada di tempat itu terdiam. Mereka bukannya terpesona melihat adegan Romeo Juliet semacam itu. Tapi sengaja memberi mereka berdua kesempatan, sebelum persalinan benar-benar dilakukan.
Bahu Matthew ditepuk dari belakang. Matthew buru-buru menoleh. Dokter.
"Mr...?"
"Sayersz! Matthew Sayersz!" jawab Matthew gelagapan.
"Well... saya tahu Anda tengah cemas dan kebingungan sekarang. Ini yang pertama kalinya, bukan?" Dokter itu kemudian memandangnya tajam. "Tapi saya kira Anda sudah tahu bahwa tim kami tidak akan bisa mengeluarkan bayi-bayi Anda dengan selamat, apabila Anda tidak membantu untuk menjaga ketenangan selama proses persalinan. Anda bisa melakukan itu?"
Matthew terdiam. Lalu ia mengangguk.
"Ini bukan persalinan biasa. Anda tahu kan, maksudnya? Ini kembar."
"Apa akan sakit sekali, Dok?" tanya Matthew. Vera pun tak tahan untuk menanti jawabannya. Sampai titik ini saja ia merasa masih bisa bertahan.
Dokter tidak berkomentar. Ia memasang sarung tangan karetnya.
"Mengapa tidak dibius saja?" cecar Matthew tanpa putus asa.
"Kami perlu istri Anda sadar ketika melakukan proses kontraksi dan itu sangat berguna untuk mendorong bayi itu keluar," jawab dokter itu, kemudian diam sebentar. "Kecuali kalau bedah Caesar. Tapi saya yakin, kami tidak perlu sampai melakukannya. Ini bisa dilakukan secara normal." sambung dokter menjelaskan.
Matthew manggut-manggut. Sementara itu, Vera mulai mengerang-erang. Beberapa suster memegangi tangannya.
"Musiknya, Dok?" tanya seorang suster.
Dokter mengangguk. Sebentar kemudian mengalunlah sebuah lagu klasik dari CD player, yang ada di pojok ruang bersalin itu.
Matthew mengeluh dalam hati. Apa yang dipikirkan orang-orang itu? Di saat-saat seperti malah mendengarkan musik?
***
"Aku rasa Carren dan Cassie bagus!"
"Carren dan Cassie Sayersz? Mengapa tidak?" kata Matthew sambil menggenggam tangan istrinya. Vera tersenyum. Ia sempat cemas ketika suster mengatakan bahwa bayi yang dilahirkannya prematur. Apakah ini berarti ia mungkin saja kehilangan dua buah hatinya?
"Tidak! Bayi Anda baik-baik saja!"
"Benar itu, Suster?"
"Anda bisa memegang ucapan saya."
Ucapan terakhir suster ini membuat Vera akhirnya bisa tersenyum lega. Ia menanyakan kapan dirinya bisa melihat bayi-bayinya. Suster itu mengatakan mungkin beberapa hari lagi. Ini dikarenakan bayinya lahir dengan bobot badan yang kurang. Vera kembali panik. Namun suster itu buru-buru meyakinkan bahwa dalam kelahiran kembar, hal itu bisa terjadi. Dan karena selama ini selalu bisa mengatasinya dengan baik.
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" bisik Matthew lembut, sembari mengusap peluh di kening Vera. Dirapikannya rambut istrinya yang berantakan. Wajah Vera begitu cantik dan berbinar. Matthew pernah di beri tahu oleh seseorang, bahwa masa wajah wanita yang paling cantik adalah sehabis melahirkan.
Vera menatap suaminya dengan tatapannya yang dalam. Dadanya bergemuruh. Ia lalu memeluk pinggang suaminya dengan penuh kelegaan yang meluap. Air matanya menetes di kedua pipinya.
"A... aku....!" ucap Vera dengan terbata-bata. Perasaannya seperti balon gas yang meledak di dadanya. Dan ledakannya menumbuhkan bunga-bunga bagi semua yang dilewatinya. Vera menangis dengan perasaan bahagia bercampur haru.
"Anak kita lahir dengan selamat. A... aku tidak bisa mempercayainya!" bisik Vera.
Matthew tersenyum, dan bulir-bulir air matanya pun menetes. Mereka telah berbulan-bulan menantikan momen ini. Bulan-bulan yang penuh dengan kecemasan. Mereka mengetahui perut Vera membesar lebih dari ukuran kehamilan orang normal. Terlebih ketika saat usia tujuh bulan usia kehamilan Vera, Vera merasakan ada dua pasang kaki menjejak rahimnya. Matthew segera membawa Vera ke rumah sakit. Benar saja, dokter mengatakan bahwa mereka bakal mempunyai anak kembar.
Mereka pulang ke rumah, segera setelah mendengar dokter mengatakan bahwa mereka akan segera melahirkan anak kembar. Selama perjalanan, baik Vera maupun Matthew tidak saling bercakap-cakap. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka lupa bahwa tadi belum saling memberikan komentar terhadap berita yang diberikan oleh dokter.
Sesampainya di rumah, Vera langsung menuju kamar yang dipersiapkan untuk bayinya. Ia menatap lemari kayu yang telah dipenuhi oleh pakaian-pakaian bayi hasil pinjaman dari tetangga-tetangganya. Kemudian ia menatap kereta dorong yang baru beberapa hari yang lalu dibeli oleh Matthew di toko bayi "Brooklyn". Bagaimanapun juga mereka telah mempersiapkan kelahiran satu bayi. Namun sekarang mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akan segera mempunyai dua bayi. Pada waktu yang bersamaan.
Matthew berada di belakang Vera. Ia melingkarkan lengannya pada pinggang Vera. Diciumi tengkuk istrinya.
Vera tersenyum tipis. "Apakah kita siap untuk mempunyai anak kembar?"
Matthew tidak langsung menjawab.
"Sebenarnya aku tidak yakin kita bisa membesarkan dua anak kecil sekaligus," gumam Vera.
"Sayang...."
Vera membalikkan badan. "Kita lihat saja keadaannya! Kita tidak pernah mempersiapkan biaya untuk kelahiran dua orang bayi sekaligus. Kamu tentu tahu, Sayang! Mereka akan membutuhkan banyak biaya perawatan. Kita akan butuh membeli susu lebih banyak lagi. Semua hal yang kita yakini akan berhasil dilakukan jadi percuma!" ucap Vera dengan suara tercekik.
Tapi Vera tahu, ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapnnya. Ia bertanya pada lubuk hatinya yang paling dalam, apakah ia keberatan mempunyai anak kembar. Jawabnya, ia tidak berkeberatan sama sekali! Siapa yang tidak akan senang mempunyai dua anak yang lucu dan berwajah mirip? Melihat mereka berdua, bisa menjadi suatu kepuasan tersendiri. Tapi di sisi lain, dua makhluk kecil itu pulalah yang akan membutuhkan pakaian ekstra, makanan yang banyak, dan segala tetek bengek lainnya. Semua itu bukanlah masalah bila mereka mampu mencukupinya.
Diam-diam Vera merasa bersalah. Tapi bukankah Vera atau bahkan Matthew tidak dapat dipersalahkan atas derita serba kekurangan yang menimpanya? Mereka toh tidak pernah memilih untuk diciptakan menjadi orang miskin.
Matthew memeluk istrinya lebih erat. Ia pun mengalami hal yang sama. Namun ia yakin, mereka berdua akan dapat melaluinya bersama-sama.
"Aku tahu itu, Sayang...! Dan aku berjanji, kita akan bisa melewati semua ini dengan baik!"