Chereads / TRAITOR / Chapter 6 - Pasutri Baru

Chapter 6 - Pasutri Baru

Matthew diam. Bisu seperti angin yang tak pernah bosannya bertiup, namun tak pernah berkata-kata. Ia hanya diam. Ia merasakan dunia ikut diam bersamanya.

Lelaki mabuk itu bangun dari tidurnya. Korannya diangkat dari atas mukanya. Matanya mengerjap-ngerjap. Lalu ia berjalan mendekati keran. Menyeka mukanya dengan air, kemudian berkumur beberapa kali, dan terakhir menelannya melalui kerongkongannya. Ia baru sadar bahwa banyak orang yang memperhatikannya. Aneh melihat orang-orang tidak seperti biasanya. Yang selalu tak peduli dengan orang lain.

Lelaki itu menepuk jidatnya.

'Sialan, pasti aku mabuk lagi!' rutuknya dalam hati. Ia menyambar korannya yang masih tergeletak di atas bangku. Lalu pergi.

Lelaki itu berjalan ke arah Matthew. Malangnya, Matthew tidak sempat menyembunyikan mukanya. Tapi tampaknya lelaki itu tidak mengenalinya. Saat hendak berpapasan, Matthew merasa dadanya berdebar kencang. Namun segera lega, ketika laki-laki itu melewatinya tanpa menoleh ke arahnya. Matthew mengikuti dengan pandangannya ke mana laki-laki itu pergi. Dari tempatnya, ia bisa melihat punggung laki-laki itu semakin mengecil dan menjadi titik di antara rerimbunan pohon.

Entah di mana lagi laki-laki itu harus tidur nanti malam. Mungkin di emperan toko kue-kue di Acland Street, atau di bawah jembatan. Terbesit perasaan kasihan di hati Matthew.

Matthew menghela nafas. Ia mengira-ngira lelaki mabuk itu pasti datang dari daerah yang jauh, dibuang oleh keluarganya, atau rumahnya kebakaran dan tidak memiliki pension. Atau pensionnya hanya di habiskan untuk membeli Sherry, atau apalah sejenisnya itu. Yang pasti, ia merasa kesepian. Hidup seorang diri. Apakah ia akan tetap hidup atau mati hari ini, tidak akan ada seorang pun yang peduli. Ia tentu telah berjalan ratusan mil untuk sesuatu yang tak kunjung diketahuinya untuk apa. Lebih baik ia mati saja, begitu komentar orang-orang banyak. Baginya, mungkin hidup adalah sesuatu yang harus dijalani.

Laki-laki itu tak ubahnya seperti seekor semut di tengah jalan raya yang sewaktu-waktu bisa saja tewas dilindas ban mobil.

Matthew diam-diam merasa bersalah, karena ia kemudian membandingkan hidupnya dengan lelaki itu. Ia merasakan hidupnya ratusan kali lebih baik dari pada hidup lelaki itu. Matthew tidak punya harta melimpah, tapi ia punya orang-orang yang selalu ada untuknya.

Tapi itu tidak sepenuhnya benar pula.

Jika ia mengambil pekerjaan itu, bagaimana nasibnya nanti? Tentunya ia akan merasa kesepian pula. Ia sendiri masih sangsi apakah dirinya bisa bertahan hidup tanpa orang-orang yang disayanginya berada di sampingnya. Seminggu berlalu, ia merasa tidak akan ada perbedaan meskipun sesungguhnya ada. 

Sebulan kemudian, ketika ia pulang, Carren dan Cassie lebih memilih untuk bermain sendiri dari pada menyambutnya dengan hangat di muka pintu. Ketika mereka melihat dirinya, seperti melihat seseorang yang semakin asing. Beberapa bulan kemudian, mereka tumbuh menjadi dewasa, dan Matthew sudah merasa tersisihkan dari hidup mereka. Muka Carren dan Cassie mulai ditumbuhi jerawat, dan Matthew bukanlah orang pertama tempat mereka menumpahkan segala keluh kesah. Beberapa tahun kemudian, mereka akan membawa seorang pemuda sebagai kekasihnya. Matthew bergidik membayangkan pemuda yang dibawa adalah potongan lelaki urakan dengan rambut panjang berantakan, bertindik di telinga, dan hidung, atau bagian kulit sekitar alis mata. Pemuda tersebut datang ke rumah tanpa mematikan rokoknya. Ia berkacak pinggang, bahkan itu sekalipun bertemu dengannya. Matthew yang saat itu pasti sudah menjadi semakin tua dan beruban.

Malam harinya Matthew bertanya tentang pemuda itu kepada anak-anaknya. "Siapa lelaki itu? Aku tidak mau dia ada di rumah ini!"

Si kembar itu balas menantangnya, dan bertanya, "Oh..., ya? Lalu siapakah anda?"

Matthew mengusap wajahnya berulang kali. Ia sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk memutuskan....

*****

Ini sudah kesekian kalinya Vera bertanya kepada suster-suster, di mana suaminya sekarang. Seorang suster yang memiliki urat syaraf kesabaran paling tebal di antara rekan-rekannya, mengulang perkataannya bahwa kantor Matthew sudah ditelepon. Operator berjanji akan secepat mungkin mengabarkannya pada Matthew yang saat itu pasti sudah sedang ada di dalam taksinya, lewat alat komunikasinya.

"Hhh..., mana suamiku?" tanya Vera cemas. Ia meremas-remas selimutnya. Perutnya mual sekali. Ia tahu, itu normal karena sebentar lagi dua bayi mungil akan segera lahir dari dalam rahimnya.

Ia berkata tegas kepada suster dengan sedikit mengancam, bahwa ia tidak akan pernah mau diapa-apakan oleh dokter sebelum suaminya datang. Ini adalah peristiwa melahirkan yang pertama baginya. Ia sama sekali buta tentang hal ini. Ia tidak yakin pula apa yang akan dilakukan dokter persalinan itu. Vera hanya merasa aman bila Matthew berada di sampingnya.

"Please..., dapatkah seseorang memberi tahuku di mana hpppffff... su... suamiku sekarang?"

"Pasti beliau dalam perjalanan sekarang. Tenang saja!" jawab seorang suster sambil memegangi tangannya. Di samping kanannya sudah disiapkan tempat tidur dorong. Sebenarnya Vera bisa saja langsung dipindahkan ke tempat itu, jika ia tidak menolaknya. Vera tahu, suster-suster tersebut akan langsung membawanya ke ruang bersalin begitu ia pindah ke tempat itu. Ruang bersalin, tempat di mana ia tidak mau menghadapi kelahiran anak-anaknya ini sendirian.

Vera mulai putus asa. Sedangkan ia masih juga harus menanggung sakit yang luar biasa. Seluruh tubuhnya seakan terpusat di bagian perutnya. Ia tidak merasakan apa-apa, selain perutnya yang seakan hampir meledak. Otot-otot bagian bawah tubuhnya mulai berkontraksi. Kakinya menggelisut bergerak-gerak ke segala arah, mengacaukan tatanan sprei yang ada. Keringatnya bercucuran deras. Ia panik, sekaligus bahagia, sebab bayinya akan lahir sebentar lagi. Tapi kelahiran ini bukanlah hal yang mudah, apalagi jika ia hanya berjuang seorang diri.

"Matth....!!" 

"Vera!!" Tiba-tiba wajah Matthew muncul dari arah luar. Wajah laki-laki itu terlihat sangat tegang. Napasnya terengah-engah. Dia pasti berlari di sepanjang koridor rumah sakit ini.

"Sayang, maafkan aku!" kata Matthew sambil mengecup keningnya.

Vera tersenyum. Meski rasa sakitnya tidak tertahankan lagi, ia juga tidak dapat mengalahkan suaminya jika tidak bisa seharian menjaganya. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi mereka. Tapi bertepatan dengan hari ini pula pelanggan Matthew, Mr. Pascal, baru tiba dari bandara. Dan seperti biasa, ia minta diantarkan ke apartemennya. Orang Rusia ini sangat pemilih. Ia tidak mau oleh orang lain, selain Matthew. Menurutnya, tidak semua sopir taksi bisa nyetir mobil tanpa ada unsur ugalan-ugalannya. Aneh memang. Namun Vera bisa memahaminya. Ia hampir sama seperti dirinya yang tak mau menikah dengan seseorang lain, selain Matthew tentu saja.

Matthew membantu suster untuk mengangkat tubuh Vera dan memindahkannya ke atas tempat tidur dorong di sebelahnya.

"Hati-hati...., di situ ada anakku!" ujar Matthew, terdengar konyol.

Tiga orang suster yang memindahkan Vera hanya tersenyum dikulum. Maklum, ini pertama kalinya pasangan muda itu mempunyai anak. Mereka juga akan sangat paham. Seumpamanya diizinkan, mungkin suaminya itu sendiri yang akan mengeluarkan anak-anaknya dari dalam rahim istrinya.

"Sir..., Anda harus mengganti pakaian Anda dulu dengan yang steril, sebelum masuk ke dalam ruang bersalin. Ruang ganti ada di ujung lorong ini, sebelah kanan."

Matthew memandang suster itu penuh selidik. "Ini bukan berarti aku dilarang masuk dan menemani istriku, kan?"

Suster itu tersenyum penuh, memamerkan giginya yang putih dan rapi. "Tidak ada yang akan mencelakai istri Anda," ujarnya lagi.

Matthew langsung berlari menuju tempat yang dimaksud. Di sana ia melihat pakaian-pakaian yang dibuat dari bahan Polyester melesat keluar. Sekonyong-konyong ia dibentak petugas agar mengganti pakaiannya di tempat ini. Matthew sangat panik. Apalagi istrinya sudah dibawa ke dalam ruang bersalin.

'Sebentar Sayang, aku datang!' teriak Matthew dalam hati.