Matthew butuh waktu lama untuk menyalakan mesin mobilnya. Malam tadi hujan deras menyebabkan mobilnya agak rewel. Anak-anak mulai ribut dari kursi belakang. Matthew gampang menjadi panik lagi. Untunglah tak lama kemudian mesin menyala, dan ia segera mem-blower mesinnya kuat-kuat.
Ia mengambil rute melewati Santruk Street dan kemudian memutari bagian belakang Philadelphia Gardens. Membelok ke kanan, ia melewati dua rumah sakit, Xafier Hospital dan Zaberth Hospital, yang letaknya berdekatan. Di bagian kanan jalan, mereka sudah bisa melihat jajaran pohon Eucalyptus yang berdaun jarang-jarang dan hanya terlihat batang dan rantingnya yang panjang-panjang.
Masa kecil Matthew banyak di habiskan di habiskan di Australia bagian timur. Saat itu pohon Eucalyptus sangat mudah ditemui di pekarangan-pekarangan rumah. Ia punya pohon Eucalyptus yang cukup besar. Sangking besarnya, ranting-rantingnya bisa jatuh menyentuh jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Jika malam tiba dan sinar perak bulan masuk melalui jendela kamarnya. Ia membayangkan bayangan ranting-ranting pohon Eucalyptus seperti jari-jari nenek sihir. Panjang dan kurus-kurus.
Sampai di bagian Philadelphia Gardens, Matthew mencari tempat parkir. Untung ia datang cukup pagi, sehingga masih banyak ruang kosong tersisa. Bahkan di bagian A3 satu sisi panjang kosong melompong.
Mereka (Matthew, Vera, Carren dan, Cessie) bergandengan tangan masuk pintu utama Philadelphia Gardens. Matthew tampaknya sudah lupa dengan corak bajunya yang norak. Beberapa orang yang ada di tempat itu menaruh perhatian padanya dan merasa bingung melihat penampilan Matthew sekeluarga.
Seorang mahasiswa yang ditugasi dosennya untuk mendata koleksi pohon di tempat ini, bertanya pada rekannya.
"Apa ini memang sudah masuk waktu musim panas? Jangan-jangan aku yang salah melihat kalender!"
Matthew sekeluarga melewati Cook's Cottage, salah satu bangunan bersejarah yang ada di Australia. Bangunan yang sangat sederhana. Hanya sebuah rumah yang tidak jauh lebih besar dari pada rumah mereka di Fitzroy. Rumah itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian depan rumah mempunyai atap lebih pendek dari pada bagian belakangnya. Dindingnya masih asli batu, tidak di poles dengan semen apalagi dilapisi cat.
Cook's Cottage dibangun pada abad ke tujuh belasan di Great Ayton, Inggris. Kemudian rumah itu di bangun kembali di Philadelphia Gardens untuk mengenang Kapten James Cook, seorang pelaut dan pengembara kebangsaan Inggris yang diyakini sebagai penemu Benua Australia. Itulah alasannya, mengapa di depan bangunan ini selalu dikibarkan bendera Inggris.
Cook's Cottage telah jauh berada di belakang. Mereka berbelok ke arah kanan di sebuah percabangan jalan setapak. Dari papan panah, Matthew tahu bahwa mereka sedang menuju ke daerah Fairies Tree. Di situ ada sebuah pohon yang dikeramatkan. Sebenarnya tidak betul-betul pohon utuh, karena hanya batang yang telah ditebang. Bentuknya memang tidak terlalu istimewa. Bahkan Matthew hingga saat ini tidak tahu alasannya, mengapa pohon itu bisa sedemikian dihormatinya.
Akhirnya mereka sampai di sebuah dataran lapangan. Matthew segera menggelar alas tempat duduk, sementara Vera sibuk mengeluarkan ransum dari dalam keranjangnya. Si kembar mulai berceloteh ribut. Entah membicarakan apa. Tidak jelas. Dan sepertinya mereka berbicara dengan bahasa yang diciptakan mereka sendiri, dan tidak ada orang lain yang tahu apa maksudnya.
Matthew menatap Flame Tree, pohon yang konon tidak ada di tempat lain selain Australia. Pohon seperti itu banyak di jumpai di daerah New South Wales dan Queensland.
Pohon itu akan kelihatan paling cantik saat musim panas tiba. Pada awal musim tersebut, daun-daun biasanya meranggas, dan setelah itu langsung berbunga. Bunga berwarna merah sedikit kejinggaan. Biasanya beberapa helai daun masih tertinggal di ranting, namun segera hilang ditelan warna bunga yang kelihatan seperti kobaran api.
Pemandangan yang tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Barisan Flame Tree dengan gedung-gedung tinggi menjulang di belakangnya. Pemandangan di sekeliling philadephia Gardens adalah gedung-gedung bertingkat. Seperti Hotel Hilton Moreira di Clarendon Street, sebelah timur Philadelphia Gardens. Seakan gedung-gedung tersebut tengah dilalap api. Dan ketika angin bertiup, bunga-bunga melayang di udara seperti bara api unggun yang diterbangkan angin.
Menyenangkan, pikir Matthew. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Masih belum banyak orang. Di sebuah bangku taman tak jauh dari tempatnya kini, terdapat seorang gadis---Matthew menerka ia adalah mahasiswa---tampak serius membaca buku tebal sembari menikmati biskuit. Matthew melihat pula seseorang dengan koran menutupi mukanya, berbaring di atas bangku taman yang lain. Kakinya diangkat melewati pegangan bangku.
Matthew tercekat. Ia tampaknya familiar dengan sosok itu. Dan benar saja, ketika orang itu berganti posisi tidurnya dan membuat wajahnya terangkat sedikit dari koran, Matthew langsung dapat mengenalnya.
Lelaki mabuk itu!!
Matthew cepat-cepat memalingkan muka. Ia tak mau paginya yang indah dirusak oleh hal-hal yang konyol seperti kejadian semalam. Matthew menduga lelaki itu nyelinap masuk ke taman ini malam-malam. Melalui celah pagar kawat berduri yang tersembunyi di balik rerimbunan semak.
"Jadi, bagaimana keputusannya? Kamu jadi mengambil pekerjaan itu?" tanya balik Vera tiba-tiba.
Matthew tidak langsung menjawab. Ia melihat Carren dan Cassie yang sedang bermain-main di padang rumput di hadapan mereka. Entah bagaimana tiba-tiba ada seekor kelinci, dan si kembar berebutan untuk menangkapnya.
"Aku tidak yakin. Tapi mungkin aku akan mengambilnya!" jawab Matthew. Ada nada keraguan menggantung dalam kalimatnya.
"Tapi Warrandyte letaknya jauh dari Pendholva."
Matthew mengangguk. "Aku tahu!"
"Lalu?"
Matthew mengedikkan bahunya. "Pekerjaan di sana menghasilkan lebih banyak uang. Mungkin tiga kali lipat lebih banyak dari pada menjadi sopir taksi di Melbourne sekalipun."
Vera menatapnya tidak percaya. "Meski itu artinya kamu tidak akan pulang setiap hari?!!"
"Aku akan pulang di tiap akhir pekan. Aku janji!"
Vera memalingkan muka.
Matthew menggenggam pergelangan tangan Vera, dan mengusapnya lembut.
"Aku kira kita sepakat untuk menabung agar kedua anak kita bisa sekolah di tempat yang layak, tidak seperti kita. Hanya sampai High school. Selebihnya aku yakin, mereka akan mendapatkan beasiswa."
"Tapi haruskah sejauh itu?"
"Bukannya aku tidak berusaha mencari pekerjaan tambahan? Sulit memang mencari pekerjaan yang layak di kota ini. Justru karena pekerjaannya sedikit, tetapi banyak orang yang butuh bekerja."
Matthew berusaha meyakinkan Vera. "Lagi pula di sana ada Kevin, yang berjanji akan membantuku! Tugasku juga tidak terlalu susah, kok. Hanya menjaga gudang penyimpanan amunisi. Yang kulakukan hanya duduk diam, mengawasi orang-orang yang keluar masuk, mencatatnya. Dan asyiknya lagi, itu bisa kulakukan sembari mendengarkan radio."
Vera tidak berkomentar apa-apa. Ia menatap kedua anaknya yang bermain di kejauhan. Tatapannya begitu sendu. Bola mata coklat madunya bertambah sayu. Ada setitik kesedihan di sana. Matthew yang melihatnya kembali didera perasaan ragu. Ragu akan keputusannya untuk pergi.
"Anak-anak pasti tidak akan suka dengan keputusanmu," kata Vera tanpa mengalihkan tatapannya.
Matthew menghela nafas. "Mereka lama-kelamaan akan mengerti nantinya."
"Saat itu sudah terlambat! Kamu mungkin sudah tidak mendapatkan tempat di hati mereka."
"Hei...., aku toh tak akan pergi bertahun-tahun dan tak kembali"
Vera memandang Matthew. Ia menggantung air di sudut matanya.
"Sadarlah.... mereka sangat membutuhkanmu. Ada hal-hal yang tidak bisa kuselesaikan sebagai seorang ibu. Dan itu menjadi bagianmu untuk menyelesaikannya. Aku tak habis pikir, bagaimana nanti aku sepeninggalanmu? Aku tak tahu harus berkata apa saat mereka bertanya tentang ayah yang selalu mereka tunggu kedatangannya tiap malam hari, lantas menggendong mereka masuk ke dalam kamar. Mengertilah...., Sayang!! Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan beban kemiskinan kita. Mereka mungkin sudah cukup menderita dengan kenyataan yang bahwa mereka tidak pernah dibelikan mainan baru setiap minggunya. Tapi mereka tidak pernah mengeluh. Kamu tahu kenapa?" tanya Vera dengan bibir bergetar. Dipalingkan mukanya ke arah lain. Air matanya meleleh. "Karena ada seorang ayah yang selalu di samping mereka setiap saat."