Mendadak ia mengerem mobilnya. Seorang laki-laki yang kelihatannya sedang dalam keadaan mabuk berjalan terhuyung-huyung, menyebrangi jalan tepat di depan bibir mobilnya. Jarak yang sedemikian tipisnya, membuat Matthew menahan napas. Mobil-mobil di belakangnya macet. Membentuk antrean panjang. Satu per satu mereka membunyikan klakson. Jengkel karena mobil di depannya berhenti mendadak. Untung tidak ada yang tertabrak.
Matthew mengetuk-ngetuk jemarinya pada setir mobil.
"Cepat!" teriak Matthew pada laki-laki itu. Dilambangikan tangannya ke luar. Jendela yang terbuka membuatnya tersiram air hujan. Sebagian kemeja lengan panjangnya basah.
Tetapi lelaki itu seperti tidak mengindahkan ucapan Matthew. Tampaknya ia benar-benar mabuk. Berjalan dan melenggang seenaknya, seakan jalan itu miliknya. Lalu lintas di ruas jalannya semakin macet. Lelaki mabuk itu berjalan seperti siput.
Tepat di tengah jalan ia diam mematung.
Tin... Tiiin..... Tiiiiiiiiin!!!!!
Ampuuuunnnnn...! Matthew menutup telinganya. Mobil-mobil di belakangnya ribut sekali. Konser klakson membuat orang-orang yang berjalan di bawah naungan payung dengan menenteng tas-tas berisi barang belanjaan (kaum Borjuis itu), begitu kata Matthew, juga menoleh. Tapi mereka toh kembali tak acuh. Beberapa orang kelihatan simpatik, namun mereka tetap tidak berusaha membantu. Seorang wanita bermantel wool---entah berapa ekor domba yang bulunya dicukur habis untuk membuatnya---menatapnya. Kemudian ia membuang muka jijik. Ia takut membayangkan tangannya yang mulus bersentuh laki-laki mabuk berpakaian kumuh.
'Di mana polisi saat dibutuhkan?!?!' keluh Matthew dalam hati.
Akhirnya Matthew mengambil inisiatif. Dibukanya pintu mobil tanpa peduli hujan mendera tubuhnya. Ia menggandeng lengan laki-laki itu dan mengajaknya ke tepi.
"He... he... he... he..., Pak sopir.... Bodoh kamu, mobil diparkiran di tengah jalan!" kata lelaki mabuk itu. Ia mengeluarkan sebuah botol berwarna keperakan dari balik jaket kulitnya. Langsung ditenggaknya. Tapi tak lama kemudian ia mengumpat karena tidak ada setetes pun yang keluar.
Diiringi sebuah seringaian, laki-laki itu menyodorkan botol Sherry-nya pada Matthew.
"Mau Sherry, anak muda? Istriku bilang, aku tak boleh minum terlalu banyak! Nanti mabuk, hiks! He... he... he..., kamu kira aku sedang mabuk?"
Matthew tidak menjawab, ia memapah lelaki itu ke tepi. Terkadang laki-laki itu tidak menurut, jadi Matthew terpaksa harus menyeretnya. Lelaki itu berjalan tertatih-tatih dan tidak henti-hentinya mengoceh. Ia mendongakkan kepalanya, sehingga mulutnya sangat dekat dengan hidung Matthew. Bau alkohol membuat Matthew pening.
"Hei.... cepat kamu pinggirkan mobilnya!" teriak seseorang yang mobilnya berada di belakang taksi Matthew. Mobil Matthew masih menghalangi jalan.
Matthew melengos. Orang-orang itu bahkan tidak berterima kasih. Atau jangan-jangan mereka tidak tahu jika Matthew sedang mencoba untuk mengatasi keadaan?
"Mau ke mana, anak muda?" tanya lelaki mabuk itu. Ia di dudukkan Matthew di bangku halte bus. Tangannya diletakkan pada pagar besi berjeruji. Matthew berharap punya borgol untuk memastikan lelaki itu tidak akan melepaskan pegangannya.
"Mau ke mana?"
"Pulang!" jawab Matthew pendek.
"Wah..., pasti istrimu cantik, ya? Tidak seperti istriku. Kalau besok pagi ia bertambah gendut lagi, pasti tubuhnya akan seperti donat! Ha.... ha... ha... ha... ha... ha..!!"
Matthew tergelitik. Namun ia tahu, tersenyum mungkin bukanlah hal yang akan di lakukannya pada saat-saat seperti ini. Ia segera berlari menuju mobilnya. Ditutupi kepalanya dengan tangannya. Matthew bisa pusing jika rambutnya terlalu basah oleh air hujan.
Lelaki mabuk itu memanggil-mamggilnya. Namun Matthew tidak peduli.
Baju Matthew sudah basah kuyup seperti kain pel yang belum diperas, menempel ketat pada tubuhnya. Dinginnya membuat ia bergidik.
Matthew segera melarikan mobilnya, setelah melirik ke belakang dan mendapati antrean mobil yang panjang. Panjang seperti ular, berkelip-kelip seperti kunang-kunang, dan ribut tentu saja.
"Pulang!"
Ya.... karena bajunya basah kuyup. Atau jika tidak, ia bakal terkena flu.
"He.... he... he.... he... he..., pasti istrimu cantik, ya?"
Matthew mau tak mau jadi tersenyum, teringat seloroh si lelaki mabuk itu. Baru kali ini ia sepakat dengan ucapan orang mabuk.
Ia membelokkan mobilnya di sebuah gang kecil, memutar, dan kembali ke titik pertama ia tiba. Perempatan jalan sebelum masuk ke Santruk Street. Kemudian ia berjalan menuju ke arah utara.
Pulang. Ia telah menemukan alasan lain untuk cepat-cepat kembali ke rumah. Seraut wajah yang selalu ada di dompetnya. Matthew senyum-senyum sendiri. Bahkan sebenarnya tanpa memandang foto itu pun, ia akan selalu dapat membayangkannya.
Vera.
***
Matthew membelokkan mobilnya memasuki sebuah jalan yang lumayan sempit dengan hati-hati. Sempit yang menyisakan ruang gerak terbatas. Ia menjalankan mobilnya terseok-seok karena banyak lubang pada lapisan aspal. Sesekali terdengar suara ban mobilnya melindas genangan air. Di samping kiri kanan jalan, rumah-rumah mungil berjejer rapi sekaligus rapat nyaris tanpa sela. Matthew melirik jam di dashboard mobilnya. Belum lagi pukul sembilan, belum terlalu terlambat untuk makan malam. Ia tersenyum membayangkan Vera, istrinya, pasti menunggunya untuk makan malam bersama. Matthew tahu, Vera tidak akan bisa makan bila tidak bersama-sama dengannya.
Hujan sudah reda. Matthew mematikan wiper mobil. Bajunya masih basah kuyup dan terasa lengket di kulitnya.
Matthew melintasi area tanah dengan bangunan-bangunannya yang masih separoh digarap. Dinding-dinding rumah yang belum di cat dan masih kelihatan batu batanya. Ada beberapa yang sudah mulai dilapisi semen. Kayu-kayu dan pralon yang tergeletak di tanah. Tumpukan pasir dan batu. Juga mesin penggiling semen yang dibiarkan begitu saja hanya ditutupi selembar plastik.
Tiba-tiba ia merasakan udara yang sumpek. Tentu daerah ini akan bertambah sesak lagi. Fitzroy, harga tanah di tempat ini memang cenderung lebih murah dari pada di pusat kota. Selain itu, letaknya dari Central Bussiness Distric juga tidak begitu jauh, hanya sekitar dua puluh menit naik tram jalur sebelas. Tanah impian, terutama bagi orang-orang golongan ekonomi lemah.
Matthew memarkirkan mobilnya di tepi jalan, dengan menaikkan separo bagian mobilnya di atas trotoar, menyisakan ruang untuk kendaraan lain yang akan lewat. Di rumahnya yang mungil masih tampak redup lampu penerangan. Ia melewati halaman depan yang hanya tersisa beberapa meter saja, itu pun di gunakan Vera untuk menjemur pakaian mereka. Halaman belakang habis digunakan untuk berbagi dengan Yuwe, tetangganya. Pengungsi dari Vietnam itu berhasil membujuk Vera untuk menyisakan tanah yang cukup, guna ditanami bibit jagung super, bahan percobaannya.
Pintu terbuka dari arah dalam. Vera dengan senyumnya yang sehangat kopi, menyambutnya. Rasa penat yang menggerogoti sekujur tubuh Matthew serta merta hilang.
Kening Vera berkerut melihat pakaian Matthew basah. Ia urung untuk memeluknya. Namun suaminya keberatan dengan penolakan ini. Ia masih mengembangkan tangannya lebar-lebar, meski jelas-jelas Vera menunjukkan mimik jengah. Belum lagi buat Matthew kesampaian, sekonyong-konyong dari arah dalam muncul dua bayangan mungil. Dua bayangan itu langsung memeluk kaki Matthew. Matthew gelagapan. Vera tidak dapat menahan senyumnya.
"Carren? Cassie? Kalian belum tidur?"
Carren mengulurkan tangannya meminta digendong. Ia tidak peduli dengan baju papanya yang basah kuyup. Tak mau kalah dari kembarannya, Cassie menarik-narik celana Matthew.
"Mereka sudah menunggumu sejak tadi! Mereka tak mau tidur sebelum bercerita tentang pertandingan cricket tadi di sekolah," ucap Vera. Ia menarik tangan Cassie. Tapi anak itu tetap ngotot untuk digendong papanya.
Vera melotot. "Anak-anak...., Papa sudah capek!"
"Biar saja, Sayang!" sahut Matthew, buru-buru menengahi. Ia menggendong si kembar di atas bahunya sekaligus. Cessie di kanan dan Carren di kiri.
'Aduuhh...., beratnya!' keluh Matthew dalam hati.