Sampai bagian ini ceritanya mirip seperti adegan dalam komik-komik action lainnya.
Gadis itu mendesah. Ia menegakkan posisi duduknya.
Castor dan Pollux adalah anak kembar yang terkenal dalam mitologi Yunani Kuno. Mereka sering disebut Dioscuri. Meskipun mereka dikatakan sebagai anak Tyndareus, Raja Sparta, namun orang-orang percaya bahwa hanya Castor saja yang betul-betul putranya Tyndareus. Sementara ayah Pollux yang sebenarnya adalah Zeus, raja para dewa yang menguasai angin dan gelombang. Itulah sebabnya Castor dapat meninggalkan dunia, sedangkan Pollux yang merupakan putra dewa, tidak.
Ketika Castor terbunuh dalam suatu pertempuran, Pollux merasa sangat kehilangan. Akhirnya ia memohon kepada ayahnya, Zeus, agar diizinkan mati bersama dengan saudara kembarnya. Kenangan abadi ini kemudian dikaitkan dengan kehidupan di langit yang akhirnya dikenal sebagai rasi bintang Gemini atau si kembar.
Gadis itu mengambil sesuatu dari dalam rak bawah meja kayunya. Sebuah album foto. Di dalamnya berisi foto-fotonya tiga tahun silam. Di bagian muka album, terpampang sebuah foto berukuran besar, bergambar dua gadis cantik yang berwajah sangat mirip. Rambut mereka hitam legam, panjang, dan indah.
'Carren and Cassie Sayersz in Graduation, Cleancy Hall, 7 Agustus 20xx'
Gadis itu memegang erat albumnya. Setetes air jatuh menimpa foto tersebut. Buru-buru diusapnya. Kemudian digerakkan tangannya ke wajah bagian kanannya. Ia bergidik. Luka-luka melepuh itu masih ada di sana dan tak akan pernah dapat hilang. Luka itulah yang merenggut kehidupannya selama tiga tahun belakangan ini.
Diusapnya perlahan. Sudah tidak terasa sakit lagi, seperti ketika ia pertama kali mendapatkan luka ini. Waktu itu ia merasakan api membakar bagian pipinya hingga meleleh seperti lilin yang terbakar. Kini bagian lukanya sudah mengering, meski separo wajahnya berubah warna jadi hitam. Cermin tidak bisa menjadi teman yang menyenangkan baginya. Ia mendapati bayangan wajahnya seperti monster.
Benci!!
Ia jijik melihat wajahnya sendiri. Biasanya ia akan memukul cerminannya hingga pecah. Setelah itu, ia akan duduk terpekur. Terisak. Merasa dirinya lebih baik mati saja. Cermin tak pernah berkata bohong. Wajahnya adalah yang terburuk.
Gadis itu kemudian menatap gambar wanita yang satunya, yang dalam foto itu mengenakan kalung bandul bulan (dirinya mengenakan kalung bandul bintang.)
Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Apakah ini perasaan cemburu? Wanita itu. Kembarannya, tetaplah seseorang yang berwajah cantik. Kembarannya cukup beruntung karena kejadian naas itu tidak menimpanya pula. Dan ia menginjak masa dewasa, dengan kehidupan normal, bahkan lebih dari normal. Ia mempunyai wajah cantik dihiasi mata secerah madu manis yang menakjubkan.
Menatap wajah cantik itu seakan menatap cermin. Tapi ini yang terasa lebih menyakitkan. Gadis itu berpikiran, seharusnya ia bisa pula memiliki wajah yang sama. Cantik tanpa cacat. Tak ada sekat perbedaan, karena sebenarnya mereka kembar. Dan bukankah sebagai kembar, mereka berhak memiliki hal-hal yang sama?
Ketika kecil, ia dan kembarannya sering diberi pakaian yang sama. Orang-orang selalu memperhatikan bila mereka berdua diajak oleh ibu mereka ke pasar. Mereka memakai baby doll berwarna cerah dengan renda di bagian bawah roknya. Baju mereka sebenarnya tidak terlalu mewah, terlebih baju-baju itu hanya buatan tangan ibu mereka sendiri. Namun tetap saja perhatian orang-orang tersita padanya. Dan waktu seakan berhenti sampai mereka bertiga melintas.
Gadis itu berpikir bahwa menjadi kembar adalah keistimewaan. Tapi kini...?! Gadis itu memalingkan mukanya. Kenyataan berbicara, bahwa sekarang ini kembar bagi mereka berdua tinggallah cerita usang. Perbedaan tampak jelas terlihat. Kembarannya itu berubah menjadi wanita yang cantik, sedangkan ia jauh lebih buruk.
Sangat buruk.
Apakah ini rasa cemburu? Yang meletup-letup di dalam dadanya?
'Kenapa harus aku?' Gadis itu menggigit bibirnya. 'Tuhan tidak adil!!'
Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Ia memejamkan pendengarannya. Tidak ada suara apa pun, kecuali suara titik-titik hujan yang menimpa pipa paralon di atas jendela kamarnya. Sebagian besar penghuni apartemen ini pasti pergi berlibur. Hanya ia dan kembarannya yang masih tinggal di lantai dua ini.
Gadis itu mulai resah. Namun baru saja ia meletakkan album itu kembali pada tempatnya semula, terdengar suara mobil di luar. Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Mesin mobil dimatikan. Sayup-sayup kemudian terdengar suara orang bercakap-cakap.
Si gadis tersenyum tipis. Disambarnya pisau di atas meja, dan diselipkannya ke dalam saku celana piyamanya. Ia melangkah menuju jendela. Melalui celah tirai jendela, ia melihat keadaan di luar.
Kembarannya telah datang. Sosok berkerudung itu turun dari sebuah Chevrolet Camaro hitam metalik. Meski dari atas sini tidak kelihatan jelas wajahnya, gadis itu yakin bahwa dirinya tidak akan salah mengenali orang. Hanya kembarannya itu satu-satunya orang di tempat ini yang mengenakan pakaian bergaya aneh semacam itu. Lagi pula mobil itu memang akhir-akhir ini sering mengantarkannya pulang.
Laki-laki di belakang setir itu bernama Nico. Seseorang berkebangsaan Indonesia. Ia beberapa kali pernah menanyakan perihal Nico pada kembarannya.
"Oh..., Itu! Nico adalah temanku."
"Hanya teman?"
"Iya! Hanya teman."
Aneh!!!
Gadis itu meraba saku celana piyamanya. Pisaunya tersembunyi di sana. Sementara di bawah, terdengar langkah kaki kembarannya meniti tangga kayu.
***
Malam yang menyedihkan di pertengahan bulan Juli. Matthew mengelap kaca mobil depan yang berembus lantaran AC mobilnya mati. Di luar hujan turun deras sekali, seperti diguyurkan seketika dari sebuah ember raksasa di atas langit. Air hujan sebesar biji-biji jagung yang tentunya teramat sakit apabila mengenai kulit. Dalam cahaya remang-remang, ia bisa melihat hujan seperti barisan anak panah yang menunjam ke bumi. Beberapa menumbuk kaca depan mobilnya dan menimbulkan suara "klotak-klotak". Bising, dan itu membuat hati Matthew bertambah keruh.
Ia melakukan mobilnya memasuki Vasio Central Bussiness Distric---melewati Santruk Street dari arah timur. Matthew menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan mencoba mencari penumpang. Berhati-hati ia untuk tidak melanggar jalur tram yang membelah ruas dua jalan tepat di tengahnya. Tram selalu lewat jalur ini setiap setengah jam sekali meski malam hari sekalipun. Di tepi kanan kiri jalan terlihat ratusan lampu di gantungkan di ranting pohon-pohon kering. Berjajar, menggantikan daun-daun yang telah banyak meranggas. Suasana ini tak ubahnya seperti malam natal. Meriah. Tapi Santruk Street memang jalan yang paling ramai, dan suasana seperti itu telah biasa setiap harinya. Turis-turis asing yang datang ke sini pasti mengira hari ini adalah natal. Naunereka akan terkejut ketika tidak mendapati tulisan "Merry Christmas! Sorry, we're closed!" tergantung di etalase-etalase toko.
Matthew melambatkan mobilnya ketika melewati Le Cosien Hotel yang nyaris bersebelahan dengan Violet Towers Observation Deck. Di sana ternyata sudah ada banyak taksi lain yang menunggu penumpang. Dalam hati Matthew mengeluh.
Dilajukan mobilnya melewati butik-butik yang menjajakan barang-barang impor berkualitas. Matthew berusaha untuk tidak melirik ke samping kanannya. Tapi toh tetap saja matanya tidak bisa lewat dari permadani Persia yang tergantung di etalase Helsinki's. Permadani indah berwarna hijau tua dengan hiasan ornamen Bunga-bunga rumit dan kecil-kecil mirip bunga Lilly. Tentunya harganya tidak kurang dari tujuh ratus dolar. Dan ia mulai berandai-andai.....
Ahh, Matthew buru-buru mengusir pikirannya jauh-jauh. Ia tidak di lahirkan dari orang yang berkecukupan. Mengingat hal itu saja sudah membuat hatinya miris. Kenapa juga manusia susah berpikir rasional bila berhadapan dengan keinginannya?
Ciit!!!!