Chereads / TABUR TUAI / Chapter 4 - Pulang Ke Jakarta

Chapter 4 - Pulang Ke Jakarta

Eric tidak jadi mengantar Eliza sampai Jakarta, dia hanya mengantar sampai stasiun. Karena tujuan Eric sebelumnya pulang ke Jakarta adalah ingin mengadakan pertemuan keluarga, namun karena Aliza menolak, dia mengurungkan niatnya.

"Kabari kalau sudah sampai Jakarta ya El."

"Pasti… kamu baik-baik ya. Sampai ketemu minggu depan Ric…"

Eric mengangguk, dia memandangi Eliza yang sudah masuk menuju kereta. Entah kenapa dia merasa Eliza semakin hari semakin berbeda, seolah Eliza itu sangat jauh dari genggamannya.

***

Eliza sampai di Jakarta sekitar jam 5 sore, orangtuanya sudah tiba di stasiun sebelum Eliza sampai.

"Ibu…" Eliza menghambur pada pelukan ibunya.

"Sehat Nak?"

"Alhamdullilah Bu, Ibu dan Bapak sehat juga kan?"

"Kamu gak lihat badan Ibu sudah seperti bola gini El?" kelakar Budi, Bapak Eliza.

Mereka tertawa bersama, jelas sekali Eliza mendapat kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya. Mereka segera pulang menggunakan sedan tua milik Bapak Eliza. Mereka sampai di rumah sekitar jam 7 malam.

"Ya sudah El, kamu bersih-bersih dulu. Bapak sama Ibu tunggu di meja makan ya," ujar Ibu Eliza.

"Iya Bu."

Eliza langsung masuk ke kamar dan beres-beres. Setelah selesai mandi, Eliza melihat gawainya sebentar. Banyak panggilan tidak terjawab dari Eric. Eliza segera menghubungi kembali Eric.

"Halo Ric…"

"Ya El, kamu sudah dimana?"

"Sudah di rumah, sudah sampai rumah sekitar setengah jam yang lalu deh."

"Syukur deh, kamu dijemput tadi?"

"Iya, ini juga sudah ditunggu makan malam…"

"Ohh ya sudah, kamu makan gih. Salam sama Om dan Tante ya…"

"Iya Ric."

"I miss you," gumam Eric pelan namun terdengar jelas di telinga Eliza.

"Baru juga tadi pagi ketemu Ric…"

"Namanya rindu mau gimana lagi El?"

"Gombal kamu. Ya sudah, aku makan dulu ya."

"Oke, bye…"

Eliza tersenyum,Eliza sangat senang ketika Eric mengatakan dia merindukan Eliza. Hal sederhana yang cukup membuat Eliza bahagia.

"El… sudah belum? Keburu dingin nih makanannya…" teriak Ibu Eliza dari dapur.

"Iya Bu, sudah kok…" sahut Eliza dan bergegas ke luar.

Bapak dan Ibu sudah menunggu di meja makan, lengkap dengan hidangan yang sangat menggiurkan. Semua makanan yang ada di sana adalah makanan kesukaan Eliza.

"Wahhh, Ibu masak ini semua?"

"Iya dong, untuk anak gadisku yang sudah jadi dokter."

"Hemmmm, makasih Ibu…"

Mereka makan sambil mengobrol hangat. Mereka sama-sama merindukan suasana seperti ini. Setelah makan mereka kembali mengobrol di ruang keluarga. Banyak hal yang mereka bincangkan, mulai dari pengalaman Eliza selama co-ass, pegalaman ujian sampai dengan hubungannya dengan Eric.

"El, kamu masih berhubungan sama Eric?" tanya Ibu Eliza.

"Masih Bu."

"Ehmm dia bekerja di Jogja kan?"

"Iya Bu, meneruskan usaha keluarganya."

"Ooh, jadi rencana kalian gimana?"

Mata Eliza terbelalak mendengar pertanyaan Ibunya. Dia tidak menyangka kalau Ibunya akan bertanya kearah seperti itu.

"Apa Eric belum ada niat untuk menikah?" tambah Bapak Eliza pula.

"Ehmm, bukan Eric yang gak ada niat Pak, tapi Eliza yang belum siap," tutur Eliza pelan.

"Kamu belum siap El? Kenapa?"

"Eliza mau rampungkan internship dulu setahun lagi Pak."

"Kan bisa sambil jalan El, Bapak yakin Eric gak akan larang kamu utuk melakukan ini dan itu deh. Bapak lihat dia orang yang berpikiran terbuka kok."

"Iya Pak, Eliza tahu kok. Tapi ya itu, Eliza tetap mau fokus untuk internship dulu."

"Eric sudah pernah ajak kamu untuk meneruskan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius?" tanya Ibu Eliza lagi.

"Sudah Bu, Eliza juga sudah kasih pengertian sama Eric kok. Dia juga paham dan cukup mengerti, dia bisa terima kok."

"Hemm, El kamu itu anak Bapak dan Ibu satu-satunya. Usia kamu juga tidak belia lagi. Sudah seperempat abad kan? Sepertinya kamu harus berpikir ke depan juga, jangan hanya fokus pada karir. Kasihan Eric juga, dia sudah serius sama kamu, mau buat komitmen sama kamu. Kalau kamu selalu mengulur-ulur waktu lagi, nanti dia malah pergi. Kamu dapat darimana lagi laki-laki seperti Eric?"

Eliza diam mendengar penuturan Ibunya. Eliza tidak ingin memperpanjang pembahasan orangtuanya mengenai hubungannya dengan Eric. Dia memilih untuk diam.

"El, Bapak dan Ibu tidak memaksa kamu buru-buru untuk menikah. Tapi tolong pikirkan apa yang dikatakan Ibumu tadi ya…" tambah Bapak Eliza.

Eliza mengangguk. Melihat suasana menjadi canggung, Bapak Eliza megalihkan topic pembicaraan.

"Jadi rencana kamu ambil internship dimana El?"

"Ehmm, kalau jadi sih di Magelang Pak. Di salah satu puskesmas yang ada di sana."

"Di kota?"

"Di kabupaten sih Pak, tapi bukan di desanya banget."

"Ooh, ya sudah. Kamu yang lebih tahu, kita hanya bisa mendukung saja."

Perbincangan mereka tetap menjadi kaku, tidak ada yang sanggup mencairkan suasana. Mereka memutuskan menyudahi obrolan mereka dan tidur. Eliza berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamarnya. Semua perkataan Ibunya terngiang di telinganya.

Menurut Eliza usia 25 tahun masih terlalu muda untuk menikah, tapi dia juga tidak bisa memungkiri kekhawatiran orangtuanya karena dia adalah anak tunggal. Eliza merasa tidak bisa menyanggupi permintaan orangtuanya dalam waktu dekat ini, dia benar-benar ingin merampungkan sekolah dan menata karirnya terlebih dahulu.

Dddrrrrttt….dddrrrttttt…..

Getaran gawai Eliza membuyarkan lamunannya. Eric menghubunginya.

"Ric…"

"Kamu sudah tidur? Tumben tidur cepat?"

"Belum kok…"

"Tapi kenapa suara kamu berat banget El?"

"Ehmmm, gak apa-apa."

"El, ada masalah kah?"

"Enggak Ric, semua baik-baik saja kok."

"El, aku kenal kamu gak sebulan atau dua bulan loh, aku tahu kamu banget. Kamu kenapa? Cerita sama aku deh."

"Ehmm, ini masalah keluarga Ric."

"Gak mau cerita sama aku?"

Eliza diam, dia bingung. Kalau dia cerita, sama saja memberitahukan Eric kalau kedua orangtuanya setuju dia segera menikah dengan Eric.

"El… kamu jangan pendam sendiri kalau ada masalah. Siapa tahu aku bisa kasih masukan, atau paling enggak aku bisa jadi pendengar yang baik buat kamu."

"Ehmm itu Ric, orangtuaku minta aku segera menikah."

"Apa? Kamu dijodohkan?" tanya Eric panik.

"Bukan...bukan… mereka tahu kok aku lagi sama kamu. Ya mereka minta aku memikirkan

hubungan kita kearah yang lebih serius lagi."

"Oh ya? Terus respon kamu?"

"Ya aku sudah jelasin, kalau aku belum siap. Aku masih mau menata karirku dulu."

"Ooh…"

"Aku harus bilang apa ya Ric, sama Bapak Ibu?"

"Kamu bilang saja, kalau kamu masih mau meniti karir, tinggal setahun lagi kok. Harusnya gak jadi masalah sih."

"Iya sih, kalau nanti misalnya kalian ketemu bantuin aku ngomong ya Ric."

"Uhuk… uhuk…" Eric belum menjawab, dia malah terbatuk.

"Ric… kenapa? Kamu baik-baik saja kan?"

"I-iya El. Uhuk… uhuk…"

"Minum dulu deh."

"I-iya bentar ya, uhuk… uhuk…"

Eric masih terus terbatuk-batuk untuk beberapa saat. Eliza menunggu sampai batuk Eric mereda. Dari suara batuknya, Eliza merasa aneh. Tidak seperti suara batuk biasa.

"Halo El, kamu masih di sana?"

"Iya Ric, kamu kok batuk-batuk gitu?"

"Iya nih gak tahu, akhir-akhir ini aku suka batuk-batuk. Sudah minum obat juga gak ada efeknya."

"Serius? Kok kamu gak pernah cerita? Kamu periksa kedokter mana?"

"Gak periksa, cuma minum obat batuk doang. Paling juga batuk biasa."

"Kok gitu sih, jangan disepelein deh. Kamu ada keluhan lain gak selian batuk-batuk gitu?"

"Ada."

"Apa?"

"Keluhan rindu setengah mati dengan dokter cintaku," canda Eric sambil tertawa yang kemudian diikuti dengan batuk.

"iihh.. tuh kan. Aku serius Ric. Kamu merasa sesak, atau dada kamu gimana rasanya?"

"Apa sih El, aku lagi gak mau konsultasi kesehatan sama kamu. Nanti saja kalau kamu sudah balik ke Jogja. Gak usah tanya rasa dadaku gimana, karena dadaku akan terasa sesak kalau kamu ada di sampingku."

"Ah gitu ah, Eric bercanda terus…" gerutu Eliza.

"Ya ampun El, ini tuh cuma batuk biasa. Paling karena belakangan ini aku suka makan goreng-gorengan saja. Nanti juga sembuh. Segitu khawatirnya sih sama aku…"

"Jadi kamu gak mau aku khawatirin?"

"Ya maulah, itu tandanya kamu perhatian sama aku. Aku senang dong."

"Tapi kamu bercanda terus, nyebelin."

"Iya… iya… nanti kalau kamu sudah di sini, periksa aku ya."

Obrolan mereka semakin mengalir dan entah bermuara kemana, sampai akhirnya keduanya mengantuk dan tertidur.