Chereads / TABUR TUAI / Chapter 7 - Laki-laki Terbaik

Chapter 7 - Laki-laki Terbaik

Eliza mengantar Mia sampai naik taksi dan berlalu dari depannya. Dia kembali masuk ke dalam rumah, sekarang dia hanya sendiri di sana. Dia melihat rumah itu secara detail sekarang, mulai dari depan, ruang tengah, kamar hingga dapur. Saat memasuki dapur, Eliza membuka kulkas dan di sana penuh dengan bahan makanan.

Tiba-tiba telepon genggam Eliza berbunyi, panggilan masuk dari Mia.

"Halo Kak Mia?"

"Ya El, tadi aku lupa bilang sama kamu. Kemarin Eric bilang kalau kamu itu suka masak, jadi tadi pagi aku sudah ingatin Ibu yang bersihin rumah untuk belanja dan simpan di kulkas. Coba kamu cek kulkasnya, bahan makanannya ada gak?"

"Ada Kak. Baru saja aku buka kulkas, penuh."

"Ooh bagus deh, ya sudah kamu kalau mau masak, masak saja ya."

"Iya Kak, makasih ya."

"Oke, ya sudah ya. Bye."

Panggilan diakhiri, Eliza masih termangu melihat layar telepon genggamnya. Dia tidak bisa berkata-kata lagi melihat kebaikan Eric dan keluarganya. Eliza merasa benar-benar berhutang budi banyak dengan Eric.

***

Hari pertama kerja di puskesmas Mungkid.

Sudah menjadi rahasia umum, seorang dengan status Dokter pasti akan mendapat penilaian tinggi dari masyarakat, hal ini jugalah yang didapatkan Eliza. Dia sangat dihormati oleh orang-orang yang ada di puskesmas dan warga sekitar. Eliza juga memiliki teman baru di sana. Namanya Karin, dia juga seorang dokter internship. Karin dua tahun lebih tua dari Eliza.

"El, kamu tinggal dimana?"

"Di Muntilan."

"Rumah sendiri atau sewa?"

"Ehmm, rumah saudara."

Eliza merasa tidak enak mengakui kalau dia tinggal di rumah pacarnya, takut Karin berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.

"Ooh, enak dong ya."

"Kalau kamu Rin?"

"Aku kan asli sini, rumahku di Mertoyudan. Kapan-kapan mampir yuk…"

"Oh iya boleh…"

Semakin hari, Eliza dan Karin semakin dekat. Mereka sering bepergian berdua, cerita tentang hidup masing-masing dan mereka merasa cocok satu sama lain.

***

Hari ini Eric akan berkunjung ke Magelang, karena bertepatan hari Sabtu Eliza tidak bekerja dia ingin menyambut Eric dengan menyiapkan beberapa hidangan kesukaan Eric. Mulai dari makana ringan, sampai makanan berat, semua sudah tersedia.

Jam 10 pagi, Eric sudah sampai di rumah. Kondisinya sudah lebih baik dibanding sebulan lalu, tapi terlihat lebih kurus. Eliza menyambut Eric dengan senyuman hangat di wajahnya.

"Pacar datang bukannya dipeluk malah senyum-senyum doang…" ujar Eric sambil menarik tubuh Eliza dalam dekapannya.

Beberapa saat mereka melepas rindu saling cerita dari hati ke hati.

"Gimana kesehatan kamu Ric?"

"Sudah jauh lebih baik El, tapi masih harus rutin kontrol ke dokter."

"Dokter spesialis paru?"

"Iya. Kenapa?"

"Ehmmm, aku jadi kepikiran untuk ambil spesialis paru deh nanti."

"Loh bukannya kamu mau ambil spesialis anak?"

"Lihat keadaan kamu seperti ini, aku mau jadi dokter pribadimu Ric."

Eric menatap Eliza lekat, tidak berkedip sedikitpun. Eric benar-benar tersentuh dengan apa yang dikatakan Eliza tadi.

"El, aku jadi beban ya buat kamu?"

"Enggaklah, kok bicara seperti itu sih?"

"Ya aku takut saja, aku jadi beban buat kamu. Aku terkadang mikir, kenapa aku sesial ini harus sakit-sakitan."

"Bicara apa sih Ric, gak usah dibuat susah deh. Kita jalani saja apa yang bisa kita jalani ya, gak usah mikir terlalui jauh."

Eric mengagguk dan mengelus rambut Eliza, "Makasih ya El…" bisik Eric lembut.

"Iya Ric, tapi kamu setuju kan?"

"Aku akan dukung apapun yang kamu mau El. Rencana kamu setelah internship ini langsung ambil spesialisnya?"

"Ehmmm, lihat uangnya dulu. Aku gak mau repotin Bapak sama Ibu lagi, aku mau tabung dulu saja."

"Heiii, kamu bicara apa sih? Terus gunanya aku apa? Masalah uang gak usah dipikir ya, kalau memang kesempatan ada langsung ambil saja, nanti aku bantu ya…"

"Serius?"

"Iya dong…"

"Makasih ya Ric…" Eliza memeluk tubuh Eric.

Eliza merasa senang sekali, dia mendapat dukungan untuk keputusannya. Eliza juga memang berniat mengambil spesialis paru karena dia ingin merawat Eric. Niat tersebut muncul pertama kali ketika mengetahui Eric masuk rumah sakit karena ada masalah di paru-parunya.

Setelah banyak bercerita mereka makan siang, Eric semakin jatuh hati pada Eliza yang sudah menyiapkan hidangan istimewa untuknya. Eric sudah tidak bisa lepas lagi dari Eliza. Setelah makan mereka keliling kota Magelang, dan mengunjungi wisata-wisata yang ada di kota kecil itu.

Sekitar jam 8 malam, mereka sampai di rumah.

"El, aku langsung pulang saja ya. Biar gak kemalaman sampai di Jogja."

"Kenapa gak menginap saja sih Ric? Besok juga kan hari Minggu."

"Gak enak dong El, apa kata orang nantinya?"

"Memangnya kita ngapain? Di sini juga kan ada 2 kamar."

"Tetap saja gak enak El, lagian takut nanti terjadi hal-hal yang kita inginkan," ujar Eric tersenyum menggoda Eliza.

Eliza mengerucutkan bibirnya, dia masih ingin berlama-lama dengan Eric.

"Sudah, nanti Sabtu aku datang lagi ya…"

"Janji ya…"

"Iya sayang, ya sudah aku pulang ya."

El mengangguk dan mengantar Eric ke depan.Eric mengecup kening Eliza sebagai tanda sayangnya. Eliza masih berdiri di depan sampai mobil Eric tidak terlihat oleh matanya.

Dddrrrtttt… drrrtttt…

Getaran telepon genggam Eliza menyadarkan dia, kalau dia sudah terlalu lama berdiri di luar. Dia melihat layar telepon selulernya, panggilan masuk dari Ibunya.

"Halo Bu…" sapa Eliza.

"Halo El, kamu lagi sibuk gak?"

"Enggak Bu, ada apa Bu?"

"Pengen ngobrol saja sih, takut kalau kamu lagi sibuk."

"Enggak kok Bu, ini habis antar Eric ke depan."

"Eric ke Magelang?"

"Iya Bu."

"Ehmmm, kalian gak berduaan di rumah seharian kan El?"

"Astaga Bu, enggaklah. Eric itu bukan tipe cowok yang begitu Bu."

"Hemmm, Ibu cuma tanya saja El. Oh ya kamu tinggal di rumah Eric kan?"

"Iya Bu, ya bisa dibilang semua kebutuhanku di Magelang ini disediain sama dia."

Eliza menceritakan semua kebaikan yang dia dapat dari Eric dan keluarganya. Mulai dari tempat tinggal, kendaraan sampai kebutuhan harian. Eliza juga menceritakan kalau Eric bersedia membiayai Eliza mengambil spesialis paru.

"Ya ampun, baik sekali dia. Benar-benar gak akan dapat loh El laki-laki seperti itu. Kamu harus jaga dia baik-baik."

"Iya Bu, Eliza juga kadang jadi merasa gak enak. Jadi seperti berhutang budi gitu."

"Iya sih, eh tapi kamu bilang apa tadi? Kamu mau ambil spesialis paru? Kenapa paru El? Bukannya dulu kamu mau ambil spesialis anak?"

"Ehmmm…" Eliza bingung mengutarakan maksudnya. Karena Eliza belum pernah cerita mengenai penyakit Eric pada Ibunya. Eliza takut penilaian Ibunya pada Eric berpengaruh karena sakit yang diderita Eric. "Keren saja sih Bu, sepertinya lebih menantang gitu…" jawab Eliza meyakinkan Ibunya.

"Hemmm, kamu mah ada-ada saja. Tapi kalau boleh sih, kamu nabung dulu saja. Nanti kalau ada kekurangannya biar Bapak dan Ibu yang bantu. Selama kamu belum nikah, ya masih tanggung jawab Bapak dan Ibu, lain halnya kalau kamu sudah nikah dengan Eric," tutur Ibu Eliza.

"Iya Bu, nanti Eliza pikirkan. Masih ada waktu kok."