Dan, sore harinya, Karen kebagian jadwal piket. Ia harus pulang lebih lambat dari yang lain. Ketika sedang menyapu, temannya minta tolong untuk mengambil kursi yang dipinjam Arya. Ternyata laki-laki itu belum mengembalikannya sampai sekarang. Sambil mengenakan masker kain, Karen pergi ke kelas Arya.
Ketika ketukan langkah sepatunya menyebar ke sepenjuru koridor, Karen mendadak berhenti. Dirinya belum sampai di pintu kelas Arya, tapi ia mendengar lantunan alat musik dari dalam sana. Ia mendengar genjrengan gitar yang sangat lembut. Nadanya amat menyentuh dan Karen tidak tega untuk menyelonong masuk.
Tak lama, suara seseorang melantun keluar dari kelas. Karen membuka sedikit matanya yang lemas, seketika dirinya merinding tatkala suara yang sangat merdu itu bergema di kelas yang kosong. Penasaran dengan orang di dalamnya, Karen mengintip lewat celah yang ada. Ia mendapati seorang laki-laki sedang duduk di kursi guru sambil memangku sebuah gitar. Dalam sekali pandang, Karen mengenalinya meski baru dua kali bertemu.
Dia Arya. Dan, sosoknya berkali-kali lipat menjadi lebih tampan.
Karen melemah, ia tak ingin akui itu, tapi ia melemah di hadapan Arya. Ia terjebak lagi dalam pesona unik Arya. Jari jemari yang kurus tapi panjang itu sangat lihai memetik gitar, menciptakan nada-nada yang indah. Diperpadukan dengan suara merdu yang Arya ciptakan, sempurna. Ia memainkan lagu barat dengan judul; Once in A Lifetime dari One Direction.
Karen tetap berdiri di sana sampai Arya selesai bernyanyi. Wajah Karen agak kecewa ketika melihat Arya meletakkan gitarnya di meja guru, ia takkan lagi bernyanyi setelah itu. Padahal, Karen ingin pulang secepatnya setelah mengambil kursi dari kelas ini, tetapi lihatlah Karen sekarang, ia ingin berada lebih lama lagi di sini demi melihat Arya yang bernyanyi. Jantungnya berdetak lebih cepat seiring Arya sampai ke lirik paling akhir lagu itu.
"Permisi," kata Karen setelah memutuskan untuk masuk. Ia mengetuk dan Arya segera bangkit, wajahnya pucat pasi—khawatir karena malu kalau Karen mendengarkan suaranya.
"Ada apa?" tanya Arya, mencoba setenang mungkin.
Karen yang saat itu masih mengenakan masker kain untuk menutupi mulut dan hidungnya tidak pernah dikenali oleh Arya.
"Aku ingin mengambil kursi," kata Karen.
Arya langsung teringat masih belum mengembalikan kursi dari kelas sebelah. Ia segera mengambil kursi dari mejanya. "Maaf, aku hampir lupa, biar aku bawa ke kelasmu."
Karen hanya mengangguk. Mereka jalan beriringan. Dalam perjalanan singkat ke kelas, suara Arya masih terngiang-ngiang di kepala Karen. Ia takkan pernah melupakan itu. Dan, hari demi hari berlalu, Arya masih berada di pikiran Karen. Laki-laki itu berhasil membuatnya gila, bahkan terbawa ke dalam mimpi. Setiap waktu Arya lewat, ia akan melirik. Ketika Arya tidak ada pada hari itu, ia akan mencarinya. Sekarang, ia baru paham apa yang dimaksud teman-temannya tentang masa-masa indah SMA. Karen baru merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ia sangat terpikat pada laki-laki itu, bahkan hingga sekarang.
"Kau melamun lagi?" Faisal mengguncang pelan bahunya. Karen tersadar lagi, pandangannya menyapu ke sekitar, ia tak sadar sudah dibawa ke tempat hiburan arkade. Tempat yang paling berisik di seantero plaza. "Mau kubelikan minum?" tanya Faisal, jika sekedar beli minum ia masih sanggup asal hanya air mineral.
"Tidak." Karen menggeleng. "Tidak perlu." Ia memandangi Irfan dan Indri yang sedang bermain basket. Tiba-tiba saja perasaannya tidak tenang. "Aku … harus ke toilet dulu," katanya bohong.
"Mau kutemani?"
Karen mendelik tajam, padahal Faisal hanya bersikap baik, tapi gadis itu salah mengartikan.
"Bukan, bukan begitu maksudku." Wajah pucat Faisal menggeleng kuat demi menepiskan dugaan itu dari benak Karen.
"Aku bisa sendiri, aku segera kembali." Ia menyambar tasnya dan melesat ke luar.
***
Alesia menyudahi ciumannya. Darah segar menetes keluar dari ujung bibir Arya, cairan merah kental itu melekat di bibir Alesia. Tanpa ragu, gadis itu menjilati darah yang melekat pada bibirnya sampai bersih, licin.
Alesia menyeringai. Tahu-tahu, sepasang taring atasnya tumbuh jadi lebih runcing dan lidahnya menjadi lebih panjang. Sedikit sisik muncul di pelipis Alesia, bersamaan dengan perubahaan mata yang ujungnya meruncing hingga ke telinga. Sepasang bola mata Alesia berubah menjadi merah total, rambutnya memanjang dengan warna yang agak berbeda, memutih. Ia menjadi lebih tinggi, lebih kekar, dan sepasang sayap tumbuh di belakang punggungnya dengan selaput. Asap menguar dari mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi tajam bak gergaji raksasa. Namun yang lebih mengerikan lagi dari semua itu, sepasang capit menggantikan lengan rampingnya, salah satu capit itu mengapit jantung Arya.
Laki-laki yang sudah tak bernyawa itu jatuh ke tanah dengan dada yang berlobang, membebaskan berliter-liter darah dari sana.
Alesia tertawa dalam suara kikik-kikikan yang mengerikan. Ia mengangkat jantung milik Arya itu ke langit, seolah-olah itu adalah benda pusaka yang sudah ia buru selama ini. Kenyataannya, ia mengunyah organ vital itu dan memakannya lahap. Darah milik jantung Arya menetes dari mulut hingga ke dagunya.
"Maafkan aku, sayang," kata Alesia, suaranya bagaikan terompet rusak. "Aku sudah membunuhmu, tapi ini adalah bukti kasih sayangku, jadi jangan marah di alam sana."
Tiba-tiba, Alesia melompat tinggi ke belakang, ketika sebuah jarum datang dari atas. Ia berdecak, jarum tersebut berubah menjadi kaktus raksasa yang tumbuh berkelompok-kelompok, mereka memancarkan duri-duri yang lebih panjang dari jari telunjuk manusia. Tak lama, Karen mendarat di puncaknya. Duri-duri di sana bergeser dengan sendirinya untuk memberikan Karen tempat pijakan yang aman.
"Sialan," desis Karen. "Aku tidak menyangka kau adalah Sherper selama ini!"
Alesia terkikik-kikik lagi. "Jadi, kau adalah Numerio, aku juga tidak pernah berpikir kalau kau adalah salah satu dari mereka. Gadis lemah yang tak punya selera yang baik. Nomor berapa kau?"
"Itu bukan urusanmu," kata Karen tajam. Ia menoleh kepada Arya yang tubuhnya mulai mendingin, menyuruk di balik kaktus Karen. Gadis itu menggigit bibirnya, ia menyesal datang terlambat. "Kau membunuhnya …." geram Karen penuh ancaman, kobaran energi-aura menguar dari tubuh Karen, bergerjolak layak api yang membara.
Alesia mengangkat capitnya ke depan. Kobaran energi itu membuatnya sesak, tapi masih bisa ia atasi.
Karen tiba-tiba melempar dua jarumnya, Alesia yang membaca itu segera menghindar. Getaran terjadi di tempat Alesia berpijak sebelumnya, kaktus-kaktus lain bermunculan. Jarum itu merupakan senjata khusus milik Karen yang bisa berubah menjadi tumbuhan ketika tertancap di permukaan yang keras.
"Kau tidak akan bisa lari dariku, Alesia!" teriak Karen. Ia melompat dan melemparkan jarum lainnya. Dari udara, Alesia bisa mengelak, tapi jarum lain datang berdatangan. Perempuan itu harus menangkis salah satu, salah satu jarum terpelanting mengenai capitnya, tetapi itu membuat keunggulan bagi Karen. Sebuah tanaman venus terbebas dari jarum itu—rupanya yang jelek dengan moncong besar dan duri-duri tajam layaknya gigi, venus itu menganga selebar mungkin dan menciptakan ruang yang lebar dan luas untuk memuat kepala dan tubuh bagian atas Alesia.
"Akan kubunuh kau sampai hancur lebur!" teriak Karen.
Venus itu mengatup.