Chereads / RAVAGER / Chapter 3 - Kencan Berdarah (pt.1)

Chapter 3 - Kencan Berdarah (pt.1)

Karen menengok jam digital pada layar ponselnya, terhitung sudah lima belas menit berlalu sejak Arya dan Karen pergi memisahkan diri dari mereka. Sebenarnya mereka ke mana? Kenapa tidak minta izin? Karen segera menepis pemikiran itu dari benaknya, itu jelas bukan masalah Karen dan ia tak berhak ikut campur. Sejak awal kencan ini dimulai, mereka sudah menentukan pasangan masing-masing—walau Karen tidak pernah memilihnya.

Alesia berhak berduaan dengan Arya.

Menguatkan diri tanpa memikirkan yang tidak-tidak membuat Karen selalu termenung. Ia selalu teralihkan dari kencan ini, bahkan Faisal sudah beberapa kali menyadarkannya dari lamunan itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada Karen? Ia sendiri juga bingung.

Sejujurnya, Karen tidak pernah setuju untuk ikut ke dalam kencan konyol ini. Ia tidak pernah suka. Satu-satunya alasan ia berada di sini karena hutang budi dengan Indri harus dilunaskan, jika bukan karena itu ia sudah dipastikan akan mengurung diri di kamar dan menonton anime atau apa pun sebutannya. Karen pikir kencan ini akan berlangsung sangat membosan, apalagi pasangannya adalah Faisal yang selalu kikuk di setiap detiknya. Namun, ia tak pernah menyangka Arya mengikuti kencan ini.

Karen tahu Arya, setidaknya untuk dua tahun yang cukup lama di SMA. Mereka tidak satu kelas, itu adalah alasan utama Arya tidak mengenali Karen di awal pertemuan mereka, tapi Karen kenal Arya sejak awal masuk sekolah. Singkat cerita, teman-teman Karen berencana melakukan pengintaian ke kelas lain—kata mereka banyak cowok-cowok yang lumayan untuk dilihat-lihat. Sebagai seorang gadis yang sejak lahir cuek dengan keadaan, ia menolak dalam ajakan pertama. Namun, entah mengapa teman-temannya itu bisa meyakinkan Karen untuk mau repot-repot mengintip ke kelas lain. Awal cerita terjadi saat Selasa siang ketika jam istirahat, latar belakangnya cukup cerah, dan banyak anak-anak baru yang melakukan kunjungan ke kelas lain, jadi kalau dibilang mengintip pun mereka tak perlu cemas.

Kelas pertama yang mereka intip adalah kelas yang di dalamnya ada teman lama dari salah satu teman Karen. Mereka mendapat keuntungan untuk masuk ke dalam kelas dengan alasan ingin mengunjungi siswi itu. Pada awalnya, Karen sama sekali tidak tertarik, ia hanya bersandar pada dinding sambil bermain ponsel, tapi ia terpancing sedikit demi sedikit karena temannya mengajak untuk bermain pilih-pilih cowok.

"Aku tertarik dengan cowok itu." Ia menunjuk laki-laki jangkung yang duduk memunggungi mereka. "Tapi kalau diberi kesempatan untuk pacaran, aku memilih yang di sana," katanya sambil menunjuk laki-laki tegap yang berada tak jauh dari jendela dan lemari kelas.

"Kalau kau tertarik, cukup tunjuk satu cowok saja," balas Karen dengan datar.

"Tapi pilihannya cukup banyak di sini, aku jadi bingung."

Karen memutar kedua bola dengan malas. Tak lama, laki-laki tegap itu mendatangi mereka dengan teman-temannya. Karen cukup kaget di sana, ia pikir laki-laki itu baru saja membaca isi pikiran mereka. Dari dekat, laki-laki tersebut bagaikan menara kokoh, seperti sulit dijangkau. Itu membuat Karen tidak nyaman dan berusaha mencari jalan keluar. Namun, temannya berpikir hal yang berbeda, memang jika sudah terpikat sangat sulit untuk lepas, gadis itu malah sangat nyaman berbincang dengan laki-laki bernama Dio itu.

Tiba saat mereka ingin bertukar nomor telepon, Karen mulai terang-terangan untuk lepas, tapi tak dibiarkan begitu saja oleh temannya yang satu itu. Meski Karen sudah meminta izin untuk pergi ke toilet, ia tetap tidak diberi kesempatan. Katanya, Dio ingin bertukar nomor dengan Karen. Ya, bukan sesuatu yang diharapkan Karen di minggu pertamanya sebagai anak SMA. Ia tidak ingin membagikan nomornya kepada orang yang ia tidak kenal. Tapi, saat itu tibalah Arya dengan tampang sedikit mengantuk.

"Dio," panggilnya. Laki-laki kurus dengan tinggi yang cukup menjulang menarik perhatian mereka semua. Rambut hitam lebat bagaikan semak belukar, mata sayu, ditambah postur tubuh yang sedikit bungkuk. Ia tengah mengapit jaket di ketiaknya. "Kau dipanggil."

"Sama siapa?" tanya Dio.

"Anak kelas 12, katanya dia abangmu."

Seakan itu adalah sebuah peringatan, Dio langsung beranjak dari sana tanpa diikuti oleh teman-temannya. Arya yang tidak punya urusan lagi setelah itu kembali begitu saja ke tempat duduknya, dan tidur. Ia kelihatan sangat mengantuk sekali, mungkin ia bergadang semalaman karena menonton bola atau main game online di komputernya. Tipe-tipe yang seperti itu sangat jelas dapat ditemukan pada diri Arya.

Untunglah, batin Karen.

"Untunglah aku dapat nomornya dengan cepat." Gadis di sebelahnya cengengesan.

"Itu bukan keuntungan." Karen mendelik. "Kau tahu aku tidak suka nomorku tersimpan di kontak orang asing."

Bukannya menyesal, teman Karen itu malah menepuk-nepuk pundak Karen, lalu berkata, "Karen, Karen, kita ini sudah anak SMA. Sebagai anak SMA yang mengenakan rok abu-abu, kita tidak bisa membiarkan masa-masa indah ini lalu begitu saja. Kita harus membuat momen yang sangat baik agar bisa dikenang di masa depan."

"Kalau kau menyebutnya masa-masa indah, maka aku menyebutnya sebagai masa-masa yang sangat kelam." Karen bersandar kembali di dinding sambil menyilangkan tangan, satu lututnya agak ditekukkan, dan rambut indah itu menghalau mata kanan Karen. "Masa-masa yang indah itu adalah masa di mana kau sudah sukses dan menikmati hasilnya."

"Iya deh," kata temannya sambil mengangkat kedua tangan ke udara. "Karen memang selalu benar. Ngomong-ngomong, cowok tadi lumayan juga."

"Dia?" Karen menunjuk Arya.

"Iya, meski tidak berada dalam daftar laki-laki yang mendekati sempurna. Kalau tipeku adalah cowok yang sederhana, mungkin aku akan jatuh hati padanya. Dia juga kelihatan tidak peduli dengan suasana sekitarnya, seolah punya dunia sendiri. Jika dia punya pacar, mungkin dia akan memberikan dunianya itu kepada pacarnya. Romantis banget!"

Karen menyeringai tipis dalam gelengan yang ringan. "Seperti kau tahu saja isi pikirannya."

"Aku hanya menebak. Tapi, kalau dilihat-lihat kalian mirip, lo."

"Yang benar saja?"

"Benar!" ucapnya setengah lantang. "Dari segi penampilan, kepribadian, dan …."

"Dan apa?"

"Dan … entahlah, aku juga bingung. Coba kau berkenalan, mungkin cocok."

"Tidak mau, aku tidak suka bicara dengan orang asing."

Di awal pertemuan yang tidak disengaja itu memang kurang berkesan untuk Karen. Ia menganggap Arya tidak punya niat untuk menyelamatkannya pada saat itu, hanya sekedar mengantar pesan pada Dio dan pergi tidur. Akan tetapi, pertemuan mereka yang sama sekali tidak diingat oleh Arya terus berlanjut.

Pada saat itu hujan dan kelas Arya kekurangan kursi. Jadi, dia dan temannya terpaksa meminjam kursi dari kelas Karen. Karen yang pada dasarnya tidak peduli tidak memberi perhatian, tapi ia tak sadar pada saat itu sedang duduk sendirian. Teman sebangkunya tidak hadir karena sakit. Alhasil, hanya kursi di sebelahnya yang menjadi satu-satunya kursi yang kosong. Arya menghampiri.

"Aku pinjam sampai hari ini selesai," kata Arya.

Karen yang kaget melepaskan dagu dari topangan tangan. "Ah, iya, ambil sa—!" Kata-kata itu sulit keluar dari tenggorokannya, ketika Karen membiarkan matanya terpaku pada mata kebiruan Arya yang pucat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Karen terpesona. Tetapi insting mengatakan ia harus mengalihkan perhatian. Cepat-cepat ia memandang ke arah lain dan mengangguk ringan, memberi isyarat kepada Arya agar pergi sambil membawa bangku itu.

Matanya biru, pikir Karen. Sulit dipercaya.