Chereads / RAVAGER / Chapter 2 - Gadis Itu Memakannya.... (pt.2)

Chapter 2 - Gadis Itu Memakannya.... (pt.2)

Mereka keluar dari toilet. Irfan dan gadis-gadis itu sudah menunggu di luar.

"Apa tidak terlalu panas untuk jalan-jalan?" tanya Arya, mengingat matahari masih tepat berada di atas kepala.

"Kita tidak akan jalan di luar." Irfan menunjuk gedung berbentuk tabung yang berjejer dengan gedung-gedung lainnya. Gedung itu adalah sebuah plaza dan Arya mulai menebak arah jalan kencan ini mulai condong ke mana. "Kita ke sana sampai sore dan kembali lagi ke sini untuk melihat sunset."

Mereka semua berjalan berpasang-pasangan. Irfan dan Indri adalah pasangan yang menarik untuk dipandangi, dalam waktu singkat Irfan berhasil membuat Indri menempel pada dirinya. Lengan ramping Indri melingkar padanya. Mereka melangkah paling depan, disusul Faisal dan Karen yang jelas masih belum akrab atau tidak bisa akrab. Karen tidak banyak bicara, membuat Faisal bingung untuk menggandengnya. Sementara itu, Arya masih belum terbiasa berada di dekat Alesia yang terkesan sangat mendominasi.

Mereka memasuki gedung. Rombongan itu beriring-iringan masuk ke dalam toko demi toko, hanya sekedar melihat-lihat. Tetapi, Irfan telah merencanakan ini lebih matang daripada kedua temannya. Ia membawa cukup banyak uang untuk dibelanjakan. Irfan tidak segan membelikan Indri barang yang ia mau. Melihat itu, Faisal jadi tertekan.

"Kalau tidak sanggup, biarkan saja, aku juga tidak tertarik dengan barang-barang di sini." Sekalinya berucap, Karen berhasil merobek-robek hati Faisal sampai harga dirinya sebagai cowok sejati turun.

Mereka berempat berada di dalam toko itu. Ini sudah ke-dua belas kali mereka keluar-masuk toko, dan Arya tidak sanggup lagi, jadi ia hanya menunggu di luar dan bersandar pada tiang gemuk gedung. Sambil menunggu, Arya mengemut permen jeruk dan menyimpan bungkusnya di saku celana. Mata sayu itu mengawasi rombongan di sana, sehingga ia tak pernah sadar Alesia masih bersamanya.

"Kau orang yang cukup menyendiri, ya."

Arya tersentak. Beruntung, permen yang ia emut tidak sampai tertelan. Gadis ini diam-diam ingin membunuh rupanya. "Alesia? Sejak kapan di sini?"

"Sejak tadi, aku tidak pernah pergi darimu," katanya.

Arya mengangguk dan diam saja. Alesia ikut bersandar, hanya saja sedikit menempel pada Arya.

"Kau tidak niat mengikuti kencan ini, ya?" tanya Alesia.

"Bu-bukan, siapa bilang, aku hanya—!"

"Jujur saja," potong Alesia. "Aku juga tidak niat kok, awalnya, sampai aku melihatmu."

Arya bungkam, pikirannya kalang kabut mencari makna dari apa yang Alesia katakan barusan. Diam-diam, Alesia menyelipkan jari jemarinya di antara jari jemari Arya. Laki-laki itu sadar, tapi ia berusaha tetap cuek dengan pandangan lurus ke depan. Namun Alesia bukan gadis bodoh, ia tahu betapa tegangnya Arya sekarang. Dengan selembut mungkin, Alesia merapatkan ruang di antara mereka, sedetik hingga dua detik setelahnya, mereka sudah saling bergenggaman.

"Ayo, kita pergi," bisik Alesia sangat menggoda.

Seolah-olah telah menyerahkan jiwanya pada gadis itu, Arya ikut begitu saja. Diam-diam mereka memisahkan diri, tanpa ada satu pun di dalam rombongan itu menyadarinya. Irfan dan Indri masih terlarut-larut dalam kesenangan, tak pernah sedikit pun bibir itu mengendurkan senyumnya. Ia begitu puas dengan hasil kerja kerasnya selama seminggu ini, dan semakin puas melihat Indri memilih-milih barang dan meminta pendapatnya tentang barang-barang tersebut. Lagipula, ialah orang yang mengundang mereka, jadi dia merasa harus bertanggung jawab dan mentraktir mereka semua.

"Tamat riwayatku," kata Faisal.

"Kenapa kau?"

"Dompetku sedang tipis dan aku tidak bisa membelikan Karen suatu barang." Faisal berjongkok di balik deretan pakaian. Dengan lesu, ia menekuri lantai.

"Aku sudah bilang padamu sebelumnya, buat gadis-gadis ini puas. Aku sudah mentraktirmu tadi, sekarang mandiri sedikit."

"Kau tidak kasihan padaku?" Faisal memelas.

"Tidak." Irfan menendang pelan kaki Faisal. "Lagipula, Karen bukan tipe yang suka membuang-buang uang, kurasa. Lihat saja dia."

Mereka mengintip Karen yang duduk di dekat kaca sambil memainkan ponselnya. Sejak tadi, ia selalu sibuk dengan benda persegi panjang itu, tak pernah lepas. Satu-satunya yang menarik perhatian gadis itu adalah Arya, tapi Faisal tak pernah tahu.

"Kau bisa menghiburnya atau membelinya barang murah."

"Kau gila?" desis Faisal. "Aku tidak tega memberikannya barang murah."

"Yah, melihat isi dompetmu yang sangat memprihatinkan, aku hanya bisa menyarankan seperti itu. Jangan membuat usaha yang pada akhirnya akan merepotkanmu."

"Jangan sok bijak." Faisal menolak pelan tubuh temannya itu. Ia menghela napas sambil duduk di kursi terdekat. "Sepertinya hanya aku yang gagal di sini."

"Hey, jangan putus asa dulu, hari masih belum berakhir." Irfan membungkukkan badannya. "Gunakan hari ini sebaik mungkin, kau hanya belum mengeluarkan segenap kemampuanmu. Karen pasti sedang menunggu itu."

Terceramahi dengan itu, api seakan bergejolak di mata Faisal. "Kau benar, aku tidak boleh menyerah dulu, akan kubuat Karen jatuh ke dalam pesonaku." Dan, ia mulai membayangkan adegan-adegan romantis yang akan ia lalui bersama Karen.

Tak lama, Karen muncul dan memergoki tingkah konyol Faisal. Laki-laki itu membeku menatap Karen, tapi dengan raut wajah datar seperti itu, dipastikan ia tidak kaget. "Masih lama?" tanyanya.

"Nunggu Indri dulu sepertinya," kata Irfan.

Karen memutar kedua bola mata dengan malas. Ia hendak beranjak menuju kursi tadi, tapi mulai sadar sesuatu. Ia berbalik dan menghadap mereka kembali. "Di mana … Alesia?"

"Alesia? Bukannya sedang bersama Arya di sana?" Faisal menunjuk ke luar, tapi nihil, sepasang remaja itu tidak ada di sana. Faisal bangkit segera, ia memindai seantero toko, tetapi tidak juga melihat sosok Arya maupun Alesia.

"Lo, mereka di mana?" tanya Faisal.

"Biarkan saja mereka," ucap Irfan. "Mereka juga ingin waktu berduaan."

Akan tetapi, Irfan dan Faisal tidak tahu akan ada kejadian buruk yang akan menimpa teman mereka. Di luar, cuacanya sedang cerah, Arya dan Alesia sudah berada di belakang gedung sejak tadi. Tempatnya sepi dan sunyi dari pengganggu, tidak akan ada yang mengganggu mereka.

Di bawah sebuah pohon yang rindang, Alesia mendorong Arya ke sana. Ia meletakkan kedua tangannya di sebelah kepala Arya, mengurungnya dan mulai mendominasi. Ia tersenyum nakal, sementara Arya tidak tahu harus berbuat apa selain menelan ludahnya sekeras mungkin.

"Apa yang kau … lakukan?" tanya Arya.

"Aku sudah jatuh cinta kepadamu sejak pandangan pertama, dan …." Jari yang ramping itu mengelus pipi Arya, membuatnya merinding hebat. "…. aku sudah tidak tahan lagi." Alesia langsung merenggut kesucian bibir Arya yang tak pernah tersentuh selama enam belas tahun. Dalam permainan dengan tempo yang sangat cepat, Arya hampir tidak bisa bernapas, tapi ia menikmatinya.

Terlena dengan itu, angin datang berlalu begitu cepat. Daun-daun yang berguguran dan merangkak turunnya semut hitam dari sisi lain pohon, serta jatuhnya tangan Arya dari bahu Alesia. Darah menetes dari ujung pakaian laki-laki itu, pandangan Arya seketika kosong—kosong dalam artian yang sesungguhnya. Kesadarannya terenggut bersamaan dengan ciuman itu, ia tak tahu bahwa jantungnya sudah direbut sejak permainan itu berlangsung.