"Bakar rumahnya!!"
"Tangkap mereka!!"
"Jangan lari!!!"
"Dasar siluman!!!"
Bocah kecil itu terlihat ketakutan dalam dekapan sang ibu. Ia hanya bisa menangis kala itu.
Hutan yang seharusnya gelap gulita, menjadi begitu terang akibat obor-obor yang tak terhitung jumlahnya yang diarahkan pada mereka.
Sang Ibu terus berlari menghantam belukar meski sebagian kakinya sudah nyaris tanpa luka. Darah segarnya mengalir disepanjang jalan yang dilalui.
"Ibu … aku takut!" kata bocah kecil itu dengan suara bergetar. Napasnya hampir tak keluar saking takutnya.
"Tenanglah Heros. Ibu pasti melindungimu!" sahut sang ibu dengan masih berlari. Peluh membanjiri wajahnya yang panik. Sang anak bahkan merasakan beberapa tetesnya jatuh mengenai wajahnya yang juga pucat pasi.
Entah sudah berapa jauh kaki wanita itu melangkah, tetap saja warga desa mengejarnya. Seakan mereka tak mengenal lelah, padahal Hana tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan itu.
Hana pun memutuskan untuk sembunyi dibalik bebatuan ditepi jurang bersama dengan putranya—Heros.
"Sssstttt … jangan ribut, sayang," titah Hana pada Heros sambil berbisik. Ia tak dapat menyembunyikan suaranya yang bergetar karena ketakutan. Untunglah Heros menurut saat jarak warga desa semakin dekat.
"Kemana siluman itu??!!!"
"Entahlah … tadi mengarah kesini."
"Tunggu dulu! Bu-bukan kah ini goa siluman?"
"Benarkah? Bisa celaka kita!! Sebaiknya kita pergi saja!!! Bisa gawat jika pintunya terbuka!"
Hana yang mendengar percakapan para warga sempat lega sehingga melonggarkan kewaspadaannya. Ia pun bersandar pada batu besar dihadapannya dan kemudian …
PLUK!
Hana terperanjat karena kakinya tak sengaja menendang bebatuan kecil sehingga jatuh ke dasar jurang dan menimbulkan bunyi.
Sontak warga desa mengarahkan obor!
"Itu mereka!!!"
"Tangkap!!!"
Mereka semua langsung menyerbu Hana, berniat menangkap wanita itu.
"Jangan!! Ku mohon lepaskan kami!! Kami tak pernah menyakiti kalian!!" teriak Heros dalam keputus asaannya. Bocah kecil berusia lima tahun itu berusaha menghalau warga desa yang hendak menangkap mereka.
"Mana ada siluman yang tak menyakiti manusia??? Sejak kalian pindah ke desa, desa kami justru diserang oleh para siluman!"
"Ya! benar!! Andai kami tahu bahwa kalian adalah siluman, kami tak akan membiarkan kalian tinggal!"
"Ayo cepat tangkap!!!"
Namun sebelum warga desa mendekati keduanya, Hana tak memiliki pilihan lain dalam kepalanya.
Netra Hana sekilas melihat kebelakang. Tepian jurang yang begitu curam terlihat begitu menakutkan. Seketika tubuh wanita itu menjadi dingin dan kaku.
Heros kecil menangis memeluk Hana. Ia pasrah dengan keadaan mereka. Tubuh kecilnya yang tak memiliki kekuatan apa-apa, tak akan bisa melawan mereka yang bekali-kali lipat ukuran tubuhnya.
Para warga semakin tak sabaran, mereka segera mendekati Hana dan Heros. Namun sebelum tangan mereka menyentuh keduanya, sang ibu mendorong Heros kejurang.
Pukk!!!
Mata Heros melebar.
Ia jatuh tanpa bisa berkata apa-apa …
*****
"HAH!!! IBU!!!!" Heros tersentak kaget dari tidurnya. Peluh yang membanjiri keningnya adalah saksi betapa ia larut dalam ketakutan mimpi buruknya barusan.
"Huh! Kenapa mimpi begitu lagi! Sudah lama aku tak bermimpi begitu … tapi kenapa malah sekarang …." Tangan kekar siluman itu menyapu butiran bening yang membasahi kening dan pelipisnya dengan gusar.
Matanya mengerjap melihat sekelilingnya yang mulai terang. Sinar matahari merambat masuk dari celah-celah dedaunan untuk menyapa kulitnya yang pucat.
"Kara!! Ayo pergi!!" Serunya dengan suara lantang. "Perutku lapar … ayo kita cari makanan!"
Rasa-rasanya hanya dengan cara itu Heros bisa mengabaikan mimpi buruknya. Diam di tempat seperti ini hanya akan membuat pikirannya mengawang kemana-mana. Dengan berburu sesuatu, pikirannya akan teralihkan.
Namun setelah lama menunggu, seruannya barusan tak mendapat jawaban dari Kara.
Netra Heros menyipit. Diperhatikannya sekeliling yang kosong. Hanya ada kicauan burung-burung kecil dan suara berisik dedauanan yang saling bergesekan karena angin. Heros mengerutkan dahi setelah menyadari kenyataan yang ada.
"Benar juga … Kara tak kembali sejak kemarin. Aku lupa …."
Siluman angkuh itu segera turun dari atas pohon.
Kemudian katanya, "Baiklah! Sendiri bukan berarti aku tak bisa apa-apa, kan?"
Heros lalu berjalan meninggalkan hutan.
Beberapa kilo kemudian, Heros tercenung. Berpikir keras untuk melangkah atau tidak. Sebuah pedesaan hijau terbentang di depan matanya.
"Pergi tidak, ya." Heros jadi ragu sendiri. Mata kelabunya menatap lurus ke depan. Rumah-rumah penduduk yang rapi nampak horor dimatanya. Sungguh ia benci jika harus bertemu manusia lagi.
"Sial sekali kemarin … baju pak tua itu gosong karena api," cakapnya dengan wajah sebal. Satu-satunya perisai yang dapat ia gunakan untuk menyamar sudah tak dapat digunakan lagi karena ulahnya sendiri kemarin.
"Bisa-bisanya tubuhku mengeluarkan aura panas … Baju itu sampai terbakar karenanya." Heros menepuk-nepuk lututnya, membersihkan dedaunan yang menempel pada celananya.
"Tapi baju dan celana ini lumayan, tak lecet sedikit pun." Ia senang karena baju dan celana miliknya tahan dengan aura panas yang dikeluarkan oleh tubuhnya. Tidak seperti baju lelaki tua itu yang langsung berubah menjadi abu.
"Ini terbuat dari apa, ya …," gumamnya. "Lebih baik aku tanya Kara."
Namun baru beberapa detik kata itu terlontar, ia jadi marah sendiri.
"Ti-tidak! Tidak!" Heros menggelengkan kepala dengan kuat. "Kenapa aku jadi bergantung pada Kara begini, sih! Apa-apaan kau, Heros!" Heros memarahi dirinya sendiri.
"Sudahlah, lebih baik aku urungkan saja niatku kesana. Lagi pula aku bisa mendapatkan makanan di tempat lain."
Siluman itu pun pergi. Ia tak jadi pergi ke desa untuk mencari makanan. Tadinya Heros sedikit lupa. Biasanya jika ingin makan ia langsung saja mencari ikan di sungai, namun karena kejadian terakhir kali dimana ia dan Kara melewati pasar, Heros melihat aneka jajanan yang menggoda selera.
Saat itu rasa takutnya akan ketahuan membuat Heros seakan kehilangan selera untuk makan, padahal hidungnya sudah dicucuk dengan bau menyengat dari daging segar dan bau harum lain yang berasal dari makanan manusia yang beraneka bentuk.
"Gotcha!!!" teriaknya dengan mata berbinar.
Seekor ikan menggelepar di tangan Heros. Namun wajahnya jadi berkerut ketika ikan itu memandangnya dengan mata lebar yang mengiba untuk tak dimakan.
"Hei! Jangan melihatku begitu! Aku kelaparan … dan juga ini sudah takdirmu karena bertemu denganku," ujar Heros. Walau sebenarnya ia lah yang mengunjungi ikan itu di sungai.
Namun lagi-lagi ia tak begitu tega memandangi ikan itu yang terlihat begitu malang.
"Begini saja, ikan … Aku akan mencari teman-temanmu yang lain. Setidaknya kamu tak akan kesepian dalam perutku jika aku makan nanti."
Mendengar perkataan itu, siapapun pasti setuju jika ikan itu sedang mengutuk Heros sekarang. Boro-boro di lepaskan, siluman itu justru ingin memakan semua kerabatnya yang ada di sungai.
Sambil bersiul, Heros pun meletakkan ikan yang akan di mangsanya itu di bebatuan. Ikan itu menggelepar, namun tetap tak bisa menjangkau air karena jaraknya yang jauh dari tepian sungai. Heros tak begitu bodoh membiarkannya kembali kesana.
Sementara ikan itu berusaha kabur, siluman kejam yang menangkapnya itu sedang asyik lagi berburu ikan lain.
"Yeahhh!!! Dapat!!!" Dengan bangganya Heros mengangkat ikan itu ke atas.
Ia berniat meletakkan ikan itu bersama ikan yang pertama. Namun Heros dibuat celingukan karena ikan itu sudah menghilang.
"KE-KEMANA DIA?!!"
Heros jadi kesal tak mendapati ikan itu. Namun ia mulai curiga melihat darah segar di bebatuan.
Dahinya berkerut. "Siapa yang berani mengambil buruanku?!!!"
Kemudian alis heros langsung menukik tajam begitu mengendus udara sekitar.
"Ini bau siluman ..."