Chereads / DARK HEROS / Chapter 12 - Ada Apa di 15 Tahun Silam?

Chapter 12 - Ada Apa di 15 Tahun Silam?

Setelah dipikir berulang kalipun, seharusnya mereka menyadari dari awal jika dirinya adalah siluman. Namun orang-orang bodoh itu tak tampak begitu.

"Siluman? Aku pikir tadi sejenis burung beo!" Si pendek itu berkata lagi membuat semua teman-temannya menoleh padanya. Diantara mereka, yang paling aneh adalah si pendek ini.

Bisa-bisanya gagak hitam seperti itu malah dikiranya burung beo oleh si pendek. Pantas saja tadi ia bersemangat sekali ingin memeliharanya jika tertangkap.

"Aku bukan beo!!" ketus Kara. Ia tak suka jika orang lain salah mengira tentang dirinya. Gagak berbulu hitam legam sepertinya tentulah jauh lebih terlihat maskulin ketimbang beo yang berwarna-warni. Menurut Kara terlalu berwarna seperti itu kurang Macho saja.

"Hahaha! Sepertinya mataku sedikit salah karena keadaan sudah mulai gelap." Mata si pendek itu mengerjap-ngerjap sambil memperhatikan sekelilingnya. Memanglah malam hampir tiba. Namun bukannya sunyi, suasana hutan malah terdengar sedikit berisik dengan suara-suara hewan.

Si bongsor menepis kembali bualan temannya. Ia kembali menatap Kara. Pria ini jadi penasaran dengan ucapan Kara barusan.

"Tadi kau bilang ingin bertanya … tentang apa?"

Kara menarik napasnya. Sejenak menghalau rasa perih pada bahunya untuk bicara.

"Aku ingin tahu tentang wanita yang kalian bawa 15 tahun yang lalu …."

"Lima belas tahun? Woah … itu lama sekali!" celetuk salah satu teman si bongsor. "Daiki, siapa wanita yang ia maksud?"

Si bongsor yang ternyata bernama Daiki itu mengerutkan keningnya lebih dalam. "Entahlah!"

"Aku tak tahu wanita mana yang kau maksud burung … Kami sering menjarah, tapi tak pernah membawa wanita sebagai hasil jarahan."

"Jangan bohong! Aku jelas melihat ikat kepala dengan tanda yang sama ditempat hilangnya wanita yang aku cari itu!" serang Kara dengan nada tinggi. Ia berpikir orang-orang ini sedang mencoba membodohinya. Tak semudah itu!

"Terserah jika kau tak ingin percaya. Tapi aku …" Daiki menunjuk dirinya. "Daiki, tak berkata bohong. Tak ada kebohongan dalam perkataanku barusan."

Apa bandit ini bersungguh-sungguh? Dia nampak begitu, tapi Kara tak bisa mempercayai ucapannya. Jelas-jelas saat itu warga desa Hiyokuna mengatakan bahwa ibu Heros dibawa oleh kumpulan bandit Dragon Black Fire.

"Hiyokuna! Kalian pernah kesana, kan? Kalian membawa salah satu wanita dari desa itu!"

"Hei, gagak! Sudah aku katakan … kami tak pernah membawa wanita. Kau benar-benar keras kepa—"

"Daiki!" si pendek itu memotong perkataan Daiki dengan cemas. "Hari sudah gelap! Lihatlah, sebaiknya kita kembali! Bos bisa marah jika kita terlambat."

Daiki tampak melihat kesekeliling yang benar telah gelap. Ia tak lagi melanjutkan perkataannya dan hanya menatap Kara dengan tatapan yang entah apa maknanya.

"Ayo!" Kemudian katanya pada kawanan mereka.

Daiki menghentakkan dagunya pada jalan yang akan mereka tuju sebagai isyarat mereka akan melanjutkan perjalanan.

Melihat orang-orang itu pergi, Kara mengikuti mereka dari jauh. Ia menjaga jarak untuk berjaga-jaga. Siapa yang tahu jika orang-orang itu berniat jahat padanya.

"Apa maunya gagak itu? Dia membuntuti kita."

"Sudah, abaikan saja," lontar Daiki setelah sekilas mendongak ke atas, melihat Kara terbang dengan pelan.

"Psstt! Goro!" Si pendek berjalan mendekati salah satu temannya.

" Goro … apa kau tahu sesuatu tentang wanita itu?" bisiknya pada Goro.

Goro tak langsung menjawab. Ia memandangi si pendek dengan pandangan tak suka.

"Sebaiknya, kau jangan terlalu ikut campur urusan, Daiki." Tatapannya jadi semakin tajam pada si pendek, membuat si pendek mendengus pelan dengan kesal.

"Aku kan hanya penasaran, huh!"

Andai bukan karena ia teringat akan peringatan bos mereka agar tak kembali lebih malam, ia pasti akan membiarkan saja Daiki dan siluman gagak itu bertarung mulut sehingga jelaslah semuanya.

Tapi ia harus memendam rasa penasarannya sekarang.

Mereka pun berjalan tanpa berkata apa-apa lagi menuju tempat yang mereka sebut sebagai sarang.

*****

Sementara itu, di tempat lainnya yang juga sama gelapnya, Heros yang menempuh perjalanan ke Utara, menghentikan langkahnya sejenak.

"Dia tak mengikutiku, ya." Heros bermonolog pada dirinya sendiri setelah menyadari dirinya hanya ditemani kesunyian. Tak ada suara angin hasil kepakan menyebalkan dari siluman kecil yang biasanya terus membuntutinya. Apa dia benar-benar marah?

Heros membaguskan duduknya di batang pepohonan. Lalu ia menyandarkan dirinya di pohon.

"Sepertinya aku keterlaluan …" ucapnya sedikit menyesal.

Baru kali ini ia bertengkar hebat dengan Kara, sebelum-sebelumnya juga sering. Tapi Kara tak pernah benar-benar meninggalkannya seperti sekarang. Rasanya Heros ingin kembali kesana dan mengejarnya, namun harga dirinya yang sangat tinggi membuat siluman ini mengurungkan niatnya sejak tadi.

Ia hanya berharap sepanjang perjalanan jika Kara datang padanya. Tapi itu hanyalah harapan kosong. Nyatanya, Kara tak kunjung menjumpainya.

Heros menghembuskan napas sekali lagi, ia tersenyum tipis.

"Kita sudah lama bersama … lima belas tahun, ya." Heros berucap sambil memandangi rembulan yang memang bersinar terang.

"Dan selama itu, kau menjagaku dengan baik tanpa ibu."

Hati Heros sedikit lemah ketika menyebut 'ibu'. Ia ingin menangis saja rasanya. Tapi itu terlalu cengeng untuknya. Jika saja sekarang ada Kara, burung gagak cerewet itu pasti akan mengolok-oloknya karena air matanya menetes seperti hujan.

"Ibu … aku …." Heros mengusap wajahnya.

"Aku sedikit rindu pada ibu," katanya dengan lirih.

"Hanya sedikit saja, bu."

Kebohongan terbesar yang ia ucapkan saat ini adalah kalimat itu. Siapapun yang melihatnya pasti tahu bagaimana perasaan Heros saat ini. Selain Kara, ia tak memiliki siapa-siapa.

Di dunia yang malang ini, Heros terlahir dari seorang wanita baik. Wanita cantik yang bahkan siluman pun ingin meminangnya … dan ayah Heros adalah salah satunya.

Tapi sampai detik ini, Heros tak pernah bertemu sang ayah.

Kara pernah berkata, melihat dari bentuk dan bulu telinganya, mungkin ayahnya adalah keturunan siluman serigala, atau rubah, atau hewan lainnya yang mirip.

Memang asal-usul yang tak jelas. Tapi Heros tak pernah bertanya pada ibunya tentang sang ayah. Sedari dulu, ia tak pernah ingin tahu tentang ayahnya. Bukan karena ia tak penasaran, hanya saja, orang yang telah meninggalkan mereka, tak pantas untuk dikenang.

Heros berpikir, ayahnya mungkin hanyalah siluman biasa yang terpikat kecantikan manusia. Lalu menjalin kasih terlarang dengan sang ibu. Sebuah hubungan yang tak boleh tercipta, karena manusia bukanlah pasangan siluman.

Manusia bagi siluman hanyalah kasta terendah dari makhluk bumi. Bahkan siluman dari kelas Tsu, menganggap hewan jauh lebih berbudi dan pantas di pelihara ketimbang manusia. Manusia lebih pantas dijadikan budak.

"Kalau ibu masih ada … bagaimana rupanya, ya. Sudah setua apa dia sekarang?" Heros tersenyum. Hatinya sudah sedikit lebih tenang.

Tapi kemudian ia teringat kekuatan aneh yang tiba-tiba ia miliki. Heros mengepalkan tangannya dengan kuat.

Ia bertekad akan ke barat mencari Saint itu. penyamarannya kali terakhir di desa Hiyokuna bisa sedikit berhasil. Ia bisa mencoba menyamar seperti itu lagi nanti.

"Sebaiknya aku tidur sekarang," cetusnya sambil merebahkan badan. "Besok pagi, aku pasti akan menemukan Saint itu ... bagaimanapun caranya."