Chereads / DARK HEROS / Chapter 7 - Memburuk

Chapter 7 - Memburuk

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Rai … sepertinya kau terluka cukup parah."

Rai memegangi dadanya yang sesak dan terasa perih.

"Kalau begini, kita tak usah kembali ke desa dulu. Sekalian kita bantu warga desa Nogyo. Rumah mereka sudah habis terbakar. Aku dan kawan-kawan yang lain akan sebisa mungkin membantu mereka. Kau cukup beristirahat saja."

Rai pun mengangguk. "Aku serahkan semuanya pada kalian, teman-teman."

"Oh ya! Bagaimana dengan bangkai siluman kelabang raksasa itu? Dia menutupi sebagian besar area desa, akan sulit untuk membangun kembali jika itu tak dipindahkan," ujar salah satu teman Rai yang bernama Sadao.

"Hahaha … Kau ada-ada saja, Sadao. Siluman itu sangat besar, mana mungkin kita bisa memindahkannya begitu saja," celetuk salah satu teman Rai yang lain.

"Iya juga sih. Kenta pun tak akan sanggup." Rai tersenyum pada Kenta. Teman Rai yang satu ini memang memiliki postur tubuh kuat dan besar. Namun tetap saja, walau 1000 orang sekuat Kenta mencoba mengangkat tubuh siluman itu, Rai percaya itu tak akan bisa meski hanya untuk bergeser beberapa langkah.

"Kita minta mereka untuk membangun ditempat yang lebih aman saja, atau mungkin mereka bisa membuka hutan sebagai tempat tinggal baru," kata Rai lagi.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan berbicara pada mereka." Sadao pun beranjak menemui para warga yang masih berkumpul disekitar siluman kelabang itu. Mereka beramai-ramai melihat penampakan siluman raksasa yang baru saja terkapar setelah menghancurkan desa harapan mereka.

Namun saat Sadao tengah berbincang dengan warga desa Nogyo, sesuatu yang buruk terjadi.

Langit tiba-tiba menghitam disertai awan gelap yang berkumpul.

"Rai! Lihat itu!" Kenta terkesiap melihat perubahan langit yang tak biasa.

Semua mengarahkan pandangan ke langit. Sebuah lubang besar yang nampak seperti pusaran air berputar dengan cepat disana. Seakan langit saat itu memang sedang berlubang.

"A-apa itu??!!"

Rai tercengang melihat lubang yang memiliki pusaran hitam itu mulai menarik benda-benda disekitar mereka. Dedaunan bahkan serpihan kayu-kayu kecil terhisap kesana.

Warga desa yang merasakan angin disekitar mereka mulai tertarik ke arah lubang pada langit segera berlari mencari perlindungan kebelakang pepohonan hutan.

Tapi hisapan lubang hitam itu begitu kuat. Beberapa pohon besar yang berada di bawahnya bahkan tercabut hingga ke akar dan terbang kesana. Semakin lama, hisapan lubang itu semakin menyerupai magnet.

"Aaaaaaaaaaaaa!!!! Tolooonggg!!!!!"

"Tidak!!!"

Beberapa warga desa terbang terhisap lubang itu. Rai semakin bingung melihat situasi ini.

"Bagaimana ini??!! Aku sudah tidak memiliki energi lagi untuk menggunakan Hurricane Boomerangku," batin Rai panik melihat makin banyak warga desa yang tersedot.

"Raaaaiiiii!!! Ra-sa-nya a-ku su-dah tak kuuuat laaagiii," teriak Kenta. Pegangan Kenta terlihat sudah hampir terlepas dari batang pohon yang dipeluknya tadi.

"Tidak!!! Kenta!! Bertahanlah!!!"

Rai mengeluarkan Hurricane Boomerang dari sakunya. Ia berniat menggunakan sisa-sisa terakhir kekuatannya. Rai sudah tidak peduli lagi jika ia akan mati setelah melepas energi Seishin miliknya.

SSSRRAAAAAAAAAAAAAAAA

"Hah?"

BUKK!

Kenta terguling ke tanah. Hisapan langit itu tiba-tiba berhenti.

Rai pun heran karena merasakan hisapan angin yang hilang secara tiba-tiba. Segera ia memeriksa ke atas langit dan menemukan ada pelindung bola angin yang terbentuk diatas sana.

"Kakak! Apa kau gila!"

Tiba-tiba seorang wanita berlari mendekati Rai.

"Ran?!"

Wanita itu segera membantu Rai untuk duduk begitu melihat luka Rai yang cukup parah.

Ran yang merupakan adik kandung dari Rai itu terlihat marah. Sebenarnya Rai bertanya-tanya mengapa Ran bisa berada disana. Wanita itu seharusnya sedang menjaga desa Yajirusi sekarang.

Ran menatap tajam. "Apa yang kau lakukan?! Jika aku terlambat datang, kau pasti sudah mati sekarang."

"Jangan menggunakan energi Seishin kakak seenaknya!" sergahnya lagi.

"Aku hanya tak punya pilihan lain tadi. Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Rai memuntahkan darah dari mulutnya.

Melihat itu, Kenta berlari tergopoh-gopoh menghampiri keduanya.

"Rai, kau tak apa?!" katanya kemudian.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Kenta?" Ran memutar kepalanya menatap Kenta.

"Siluman kelabang raksasa muncul dan menghancurkan desa Nogyo. Kami semua berusaha untuk menghentikannya. Tapi siluman itu benar-benar kuat. Ini aneh karena kita bahkan belum pernah menemui yang sekuat itu." Kenta menceritakan kronologis pertarungan mereka.

Ran menelan salivanya menyadari sesuatu. "Jadi bukan hanya di desa, ya."

"Apa maksudmu?" tanya Rai mendengar ucapan Ran yang sangat lirih seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri. Adiknya itu nampak mengkhawatirkan sesuatu.

"Kakak … sejujurnya aku kemari karena ingin memintamu kembali ke desa."

Dahi Rai mengernyit. "Ada apa, Ran? Apa terjadi sesuatu pada desa kita?"

Ran menggeleng. "Lebih tepatnya pada ibu."

"Pada ibu?!"

"Ada apa dengan ibu?" tanya Rai lagi.

"Beberapa hari setelah Kakak pergi, siluman laba-laba menyerang desa."

"Apa??!!" Netra Rai membulat. Dia tak menyangka jika para siluman sampai ke desa mereka, padahal jebakan yang mereka pasang telah bertebaran dimana-mana.

"Aku, ibu, dan warga desa lainnya mencoba melenyapkan mereka. Kami berhasil mengusir siluman laba-laba itu. Tapi … ibu terkena gigitannya."

"Apa itu beracun?" tanya Kenta.

Ran hanya mengangguk dengan serius sebagai jawabannya.

"Lalu bagaimana kondisi ibu?"

"Ibu demam sudah dua hari ini. Bekas gigitan siluman itu semakin menjalar. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada ibu jika kita belum mendapatkan penawarnya."

Rai nampak begitu cemas mendengar kondisi ibunya. Sebelumnya belum pernah ada yang selamat jika mendapat gigitan dari siluman laba-laba.

"Ran!" teriak Sadao, spontan membuat percakapan ketiganya terhenti.

Sadao dan teman-teman Rai yang lain bergegas berjalan mendekat. Ran bisa melihat luka-luka yang juga belum kering ditubuh mereka. Sepertinya pertarungan frontal dengan siluman kelabang itu sama sekali tak menguntungkan meski mereka menang.

"Kalian semua tak apa?" tanya Ran begitu mereka tiba.

"Kami tak apa. Dan terimakasih sudah menolong kami, Ran."

Ran mengangguk, namun sesungguhnya ia khawatir karena hisapan lubang hitam itu benar-benar dahsyat. Dan sepertinya pelindung bola angin dari Hurricane Boomerangnya juga mulai tersedot kesana.

'Sebenarnya apa yang terjadi?' Ran mengeratkan kepalan tangannya dengan tatapan tajamnya ke langit.

Semua mengarahkan pandangannya ke langit lagi mengikuti Ran yang mulai terlihat gelisah.

"Gila! Hisapannya kuat sekali!" Kenta tercengang melihat bagaimana lubang hitam itu menarik semua yang ada di luar bahkan siluman kelabang raksasa itu pun ikut tersedot karenanya.

"Habislah kita." Kata Kenta lagi dengan pesimis. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu hal mengerikan yang akan terjadi pada mereka selanjutnya.

Tapi …

"Hah??!! Berhenti?!"

Hisapan lubang hitam itu berhenti. Benar-benar berhenti.

Rai bisa melihat pepohonan disekitar mereka berhenti bergoyang. Langit yang tadinya menghitam terasa begitu dingin dan gelap, tiba-tiba kembali seperti semula.

"Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba lubang hitam itu berhenti dengan sendirinya?"

"Aku rasa … itu berhenti karena sudah mendapatkan apa yang diinginkannya," kata Sadao menyimpulkan. Ketiganya menatap Sadao seperti meminta penjelasan tentang apa yang baru saja dikatakan pemuda itu.

Tatapan Sadao berubah makin serius. "Jika tebakanku benar, para siluman sedang saling membantu."

"Membantu?" Pertanyaan itu serempak mereka tanyakan ketika ucapan Sadao meluncur.

"Lubang hitam itu tiba-tiba menghilang, sesaat setelah berhasil menghisap tubuh siluman kelabang raksasa itu. Jika memang bukan untuk membantu teman silumannya, hal lainnya yang mungkin adalah … mereka tak ingin meninggalkan jejak. Mungkin ada sesuatu pada siluman itu yang tak boleh kita ketahui."

Semua terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing.

Sadao pun berkata lagi, "Dua siluman yang kita temui hari ini sudah tak selemah siluman-siluman sebelumnya. Entah mereka sedang berevolusi atau apa, yang jelas, kita akan semakin terancam dengan keberadaan mereka."

Ran dan Rai saling berpandangan. Ran tak bisa menyembunyikan lagi kekalutannya.

"Kak, aku rasa kita harus lebih cepat kembali ke desa. Aku khawatir situasi semakin memburuk. Aku takut sesuatu terjadi di desa kita …." Wajah cantik Ran menjadi semakin khawatir.