Chereads / DARK HEROS / Chapter 8 - Burung Parkit Pembawa Berita

Chapter 8 - Burung Parkit Pembawa Berita

Sementara itu, Kara dan Heros yang mencurigai kemunculan siluman dari level Tsu, segera mengunjungi desa Hiyokuna. Kara beranggapan, mereka bisa mendapat petunjuk disana. Setidaknya seseorang yang diketahuinya dapat membantu mereka.

Pemandangan pertama yang disuguhkan adalah keadaan desa yang nampak begitu asri dengan pepohonan hijau dan rumah yang berderet rapi.

Heros menghembuskan napasnya memandangi desa dari kejauhan. Sungguh, setelah 15 tahun lamanya ia tak kembali ke desa kelahirannya itu, desa itu masih tetap sama. Tetap Hijau dan juga menyebalkan.

Selama hidup disana, ia tak pernah bisa diterima. Kehidupannya selalu disembunyikan dari orang-orang desa. Ibunya tak pernah membiarkan Heros untuk berjalan ke luar rumah sendirian. Hal ini sudah tentu karena ia bukanlah manusia seperti yang lainnya.

Dikucilkan dan teraniaya, adalah hal biasa yang harus diterimanya kala itu. Bahkan seandainya semua itu tak pernah terjadi, hal terburuk dalam hidupnya tak akan pernah ada.

"Ingat Heros, jangan aneh-aneh nanti disana. Bertingkahlah yang normal." Kara menasihati Heros layaknya ibu-ibu yang baru membawa anaknya turun ke pasar dengan peringatan agar tak bertingkah aneh semacam rengekan minta beli mainan baru.

"Tak normal?!" protes Heros sambil menaikkan sebelah alisnya dengan tak terima.

"Siapa yang bilang aku tak normal?" Lagi Heros berkata sambil menekan setiap katanya. Ia merenggangkan otot-ototnya. Nampak sekali siluman kasar itu hendak menciptakan benjolan lagi pada Kara.

"Bu-bukan begitu! Kau dan aku kan bukan manusia. Kalau misalnya kau aneh-aneh, kita bisa ketahuan nanti." Kara tergagap berusaha membuat Heros tenang dan mengerti maksudnya. Heros memang sangat sensitif sekali hari ini.

"Dibanding aku … kau jauh lebih aneh! Mana ada burung gagak bisa bicara. Itu sungguh tak normal," sanggah Heros sewot tak terima.

"Baiklah, baiklah. Kita tak usah memperpanjang urusan ini. Kau segeralah gunakanlah baju itu!" Kara memutar matanya ke depan. Ada seorang lelaki tua yang tergeletak di tanah dan tak sadarkan diri di sana.

Heros mengikuti tatapan Kara yang tertuju pada si lelaki tua. Lalu matanya melebar disusul nada-nada protes berikutnya.

"Tak mau! Memang kenapa dengan bajuku? Bajuku bagus. Lebih bagus dari miliknya. Lagi pula itu bau!" Tangan Heros bersedekap depan dada. Dengan tatapan angkuh dan dinginnya, kembali ia melihat lelaki tua itu yang pingsan karena ulahnya.

Tidak, Heros akan meralatnya. Itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Laki-laki tua itu saja yang jantungnya tak kuat karena tiba-tiba melihat Kara dan Heros yang merupakan siluman, muncul dihadapannya berterbangan diantara pepohonan.

Yap, dia pingsan setelah itu. Sungguh pencari kayu bakar yang malang. Ck ck ck.

"Haish! Kau ini! Ini bukan saatnya bersikap begitu … Kau harus menyembunyikan telingamu." Kara menunjuk telinga Heros. "Telingamu tak seperti manusia pada umumnya, Heros."

Kara jadi kesal karena Heros selalu telmi alias telat mikir. Kara harus mengomel dulu sambil menjelaskan sedetail-detailnya agar siluman itu mengerti.

Heros memegang telinganya. Telinganya yang ditumbuhi bulu halus dan memanjang ke atas, memang sedikit berbeda. Tidak, maksud Heros ya banyak bedanya. Dan seperti kata Kara, manusia akan mencurigai itu.

"Ck, baiklah," katanya menyerah dengan tak rela.

Dengan berat hati, Heros pun membuka baju pencari kayu bakar itu. Kemudian mengenakannya meski telah berkali-kali mengendus baju tersebut dengan wajah masam. Baju bertopi itu mampu menutupi telinga Heros yang aneh.

Setelah persiapan yang matang, keduanya pun berangkat ke desa. Mereka langsung saja berjalan melewati pasar. Kara bertengger saja di bahu Heros. Ia berusaha setenang mungkin dengan hanya berpijak di bahu kekar itu.

Kegugupan melanda Heros yang memang belum pernah berinteraksi dengan manusia seperti sekarang ini. Apalagi mata mereka semua tertuju padanya dengan heran. Sejujurnya bukan tatapan mereka yang membuatnya gugup. Ia hanya takut jika ketahuan.

Kara yang merasa jika Heros berkeringat dingin, lantas sedikit bergumam padanya.

"Cie … Heros, kau takut?" bisik Kara sambil menggulum senyumnya.

"Ta-takut?! Siapa yang takut?! Tidak, tuh!" kilah Heros meski sekarang jalannya seperti robot. Tegang sekali.

"Hehe, bilang saja jika kau takut! Jangan bohong padaku. Apa sih yang aku tak tahu tentangmu. Aku sudah hapal sifatmu, Heros. Kolormu saja aku tahu." Lagi Kara menggoda Heros yang terusan menelan salivanya.

"Hush!! Sudahlah! Jangan bicara terus. Bisa aneh jika orang-orang mendengarmu!" Heros berkata dengan galaknya.

Padahal tanpa Heros sadari pun, orang-orang tengah menganggapnya aneh karena berjalan-jalan membawa burung gagak yang suka makan bangkai. Padahal masih banyak burung hias lain yang patut di pelihara.

Itulah sebabnya seorang pria tiba-tiba menghadang jalannya. Hampir saja ia menabrak pria itu jika Kara tak berbisik dengan mengatakan awas!

Heros memicingkan matanya memindai penampilan pria itu dari atas sampai bawah. Nampaknya ia hanya pria biasa dengan burung parkit di tangannya. Burung itu bertengger manis dalam sangkar.

"Tuan, kenapa memilih memelihara burung jelek begitu?!"

'A-apa?! Je-jelek? .. dia bilang aku jelek?' Kara terperangah mendengar hinaan pada fisiknya. Membuatnya auto insecure dan berkaca-kaca.

'Heros, bisakah kau robek mulutnya? Sekali saja' Ratap Kara pada Heros dengan wajah kesal. Namun Heros tak menghiraukannya. Siluman itu tengah serius memperhatikan pria dengan burung Parkit itu.

Ingin rasanya ia mengadu pada Heros. Tapi apalah daya, karena mereka sedang menyamar sekarang. Jelas semua akan ketahuan jika Kara sampai buka paruh untuk bicara.

Andai mereka sedang tak dalam mode penyamaran, maka habislah riwayat pria itu. Heros pasti membuatnya kapok berkata seperti itu tentang kawan baiknya.

Lalu pria itu tersenyum lebar pada Heros. "Ini aku tawarkan burung yang lebih cantik dan bagus."

"Tuan! Hai Tuan!" Burung parkit dalam sangkar itu tiba-tiba mengeluarkan suara memanggil-manggil Heros di depannya.

"Hah?! Burung itu bicara?" Sekarang Heros yang dibuat terperangah.

Tapi pria itu hanya tertawa dan tak heran.

"Memanglah burung Parkit seperti ini bisa berbicara, Tuan. Anda dapat mengajarinya berbicara banyak hal. Dia dapat mengikuti perkataan anda, Tuan," bujuknya agar dagangannya tersebut laku.

Heros tertawa kecil. Baginya kebolehan burung Parkit itu belum ada apa-apanya dibanding dengan Kara. Burung Parkit itu tak selevel dengan Kara. Kara jauh lebih pintar. Bahkan bisa mengomeli Heros sesuka hatinya.

Kemudian tanpa meladeni penjual itu lagi, Heros berlalu meninggalkannya.

"Sepertinya pemuda itu marah peliharaannya aku bilang jelek. Ah, lagi pula kenapa pelihara burung gagak begitu!" Pedagang itu pun berlalu hendak menawarkan kembali barang dagangannya pada yang lain.

"Tuan! Tuan siluman!" Oceh burung itu membuat sang pemilik berhenti dan seketika menatap heran pada burung Parkit miliknya.

"Hei, jangan bicara sembarangan. Kau ini! Amit-amit jika siluman masuk ke desa." Pria itu segera membawa burung Parkitnya. Sempat ia berbalik mencari Heros dan Kara, namun keduanya tak terlihat karena sudah berhasil melewati pasar.

Kedua makhluk abadi itu sudah berada di dekat bangunan tua yang dimaksud oleh Kara.

"Disini?" Tunjuk Heros pada bangunan itu yang nampak keropos. Kara mengangguk dengan pasti.

Tapi melihat halaman rumah yang berantakan dan sarang laba-laba bertebaran dimana-mana, Heros berkata lagi, "Aku rasa dia sudah tak disini."

"Coba saja masuk dulu." Segera Kara memimpin di depan.

Namun sekitar selangkah lagi dari tiang rumah, siluman gagak itu terpental. "Aw!"

Mata Heros membulat seketika. "Ada apa?!"

Kara meringis dan mengernyitkan dahinya menatap rumah di depannya. "Kertas mantra! Kita tak akan bisa masuk. Rumah itu di pasang mantra. Lihatlah kertas itu!"

Keduanya baru sadar jika ada kertas mantra yang terpasang disana.