Setelah mengetahui dengan siapa Yos ingin bertemu petang itu, dengan secepat kilat Kelvin melakukan reservasi lengkap dengan pelayanan dan ruangan premium.
"Oh, gue kira lo sengaja pingin temuin gue sama dia. Hampir gue ngamuk tadi."
"Terus, kenapa enggak jadi?"
"Kelvin makin seneng dong. Lagi pula dengan melakukan itu apa bisa menyelesaikan masalah?"
Dengan spontan Yos menepuk puncak kepala Fiona, "good girl. Mature girl, i'm so proud of you."
Dasar Yopeph menyebalkan! Tidak bisakah bersikap biasa saja pada Fiona??! Gerutu Fiona dalam hati. Akan tetapi, meski begitu, bibirnya mengulas senyum tanpa sengaja.
"Terus? Apa yang mau lo obrolin tadi?"
"Itu, gue enggak merasa nyaman sama hubungan kita belakangan ini."
"H-hubungan? Maksud lo hubungan yang seperti apa?"
"Canggung. Setelah kemarin pertunangan lo dan Firda yang gue dengar dari orang lain—"
"Belum, Fi," pangkas Yos tidak terima.
"Iya, tapi akan kan? Sama aja."
"Beda!"
"Okay, okay! Terus juga hubungan gue sama Kelvin yang mendadak begini."
"Terus? Masalahnya dimana, Fi?"
Fiona menatap Yos tajam, "semua bisa berubah, apa pun bentuknya. Tapi gue enggak mau lo berubah, hubungan kita harus tetap sama."
Yos terkekeh kecil. "Lo sebegitunya enggak mau kehilangan gue ya?" canda Yos.
Fiona menggerutu kesal, andai saja bisa, ingin sekali dia pukul kepala Yos dengan sepatu sneakersnya saat ini. "Yos ..." kata Fiona dengan tatapan tajam.
"Enggak, gue becanda ahelah."
Sejak dari rumah Fiona sudah memikirkan seribu satu macam cara agar dia bisa minta maaf dan setidaknya memberi pelukan hangat walau hanya tiga detik saja. Tapi melihat senyum Yos yang merekah, itu sudah lebih dari cukup baginya. Lagi pula, tadi sore sudah cukup baginya, saat Yos memberikan pelukan hangat yang entah apa maknanya.
"Jadi ... tadi lo peluk gue tiba-tiba karena?"
"Gue merasa bersalah sama lo."
"Okay, dimaafin."
"Gue belum minta maaf."
"Bodi amat," balas Fiona tidak peduli. Yos kembali terkekeh melihat tingkah Fiona kali ini.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang wanita dengan tinggi yang sama persis seperti Fiona. Dia mengenakan dress berwarna orange selutut lalu mengenakan hoodie hitam polos lengkap dengan masker hitam. Lalu duduk tepat di samping Fiona.
Yos sempat curiga karena dia menunjukan gerak-gerik yang mencurigakan. Sesekali dia menoleh ke belakang atau ke kanan dan kiri. Dengan sigap, berpindah ingin bertukar tempat duduk dengan Fiona. Namun dengan secepat kilat, wanita itu meraih tangan Fiona.
Pada awalnya Fiona terkejut, namun saat melihat tatapan sendu wanita itu, dia tahu pasti bahwa wanita yang saat ini bersama mereka bukanlah orang jahat.
"Anda ... mengenali kami?" tanya Fiona memberanikan diri.
Bola mata wanita itu mulai berkaca-kaca. Dia lalu semakin kuat menggenggam pergelangan tangan Fiona. Perlahan tapi pasti, Fiona mulai mengenalinya. Meski antara ragu dan yakin, lalu ...
"Ini lo?"
"Siapa, Fii? Lo kenal sama dia?" tanya Yos ikut penasaran.
Namun tidak ada jawaban dari Fiona. Yos ingin membuka masker dan menurunkan topi hoodie yang wanita itu kenakan, tapi secepat kilat Fiona menarik paksa agar Yos tidak melakukan hal itu.
"Jangan, Yos," ucapnya sembari menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Dia adalah orang yang juga kamu kenal."
"Siapa—maksudmu dia adalah Fan—"
Fiona hanya menganggukan kepala.
***
Malam sudah semakin larut. Akan tetapi, Fiona masih begitu betah menikmati angin malam dari balik jendela kamarnya. Tidak dia pedulikan lagi angin malam yang terasa semakin dingin.
"Kenapa lo jadi begini sih, Fan?"
Fiona kesal, ingin marah dan juga kasihan. Semua perasaannya bersatu menjadi satu. Andai bukan Fania yang meminta dia pasti akan tidak perduli dan bersikap acuh tak acuh.
Tidak berapa lama kemudian terdengar langkah kaki menuju kamarnya. Tanpa ketukan pintu, suara gesekan engsel terdengar.
"Mama boleh masuk?"
Fiona hanya menggelengkan kepala. Dia masih terus memandang keluar jendela.
"Kamu sedang apa?" tanya ibunya.
"A-ah?" balas Fiona tersentak.
Meski sikap ibunya seolah tidak begitu peduli dengannya. Tapi jika ada satu orang yang paling peduli dengannya di dunia ini ... dia adalah Raniesha, ibu kandungnya sendiri. Terkadang dia juga yang selalu menjadi alasan bagi Fiona untuk terus bertahan di sini. Belum lagi, jika ayahnya menuntut banyak hal.
"Kamu sedang apa?" tanya ibunya berjalan mendekat menuju Fopna yang masih berdiri di depan jendela kamar.
"Tidak ada. Hanya ingin berdiam diri di sini."
"Ya, Mama tahu. Tapi, bukan itu yang Mama maksud."
Fiona menatap ibunya lalu mengernyitkan alis dengan heran. "Lalu, apa?"
Raniesha tersenyum kecil, "Mama mengenalmu sudah belasan tahun. Mama juga yang mmengandung dan mengasuhmu sejak bayi. Apa mungkin Mama tidak tahu, bahkan untuk hal yang sepele seperti saa t ini?"
"Ma ... jangan misteri begini, katakan saja, ada apa?"
Raniesha menghela napas panjang seolah melepas bebannya di sana. "Can you help me?"
"Yes, i think. What's is that?"
"Bioleh kamu anggap bahwa Mama ini adalah ... Fania?"
Fioan asemakin tidak mengerti kemana arah pembacaraan ibunya kalli ini. "I don't understand, Ma. You are my mother dan selamanya enggak akan tergantikan."
"Dan enggak akan bisa menjadi Fania, begitu?"
Fiona menganggukan kepala menjawab pertanyaan. Begitu pula dengan Raniesha, dia memberiakan anggukan tanda setuju. Akan tetapi, raut wajahnya tidak bisa berbohong. Tampak jelas guratan kecewa di sana.
"Mama ... ada apa? I have a some mistakes to you?" tanya Fiona merasa tidak nyaman dengan ekspresi yang ditunjukan ibunya.
"Nope!" balasnya sembari menggelen.
"Mama suidah lama enggak pernah cerita sama Fiona, loh."
"Kamu mau dengar?"
"Yes."
Raniesha menghela napas untuk beberapa kali sebelum akhrinya menceritakan kejadian beberapa jam lalu saat bertemu dengan beberapa teman lamanya di restauran.
"Mama malu dengan kehidupan keluarga kita, begitu?"
"No! Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Salah ya? he he he, ya, maaf."
"Tadi ada anaknya teman Mama, laki-laki. tampan, berprestasi, dan ada satu hal yang paling bikin Mama iri."
"Apa?"
"Dia akrab layaknya sahabat..." ucap Raniesha lirih.
Fiona terdiam untuk sesaat, dia kini mengerti apa maksud ucapan ibunya tadi. Dia ingin menjadi lebih dekat dengan Fio, seperti Fania dan Fiona.
"Ah, begitu rupanya."
Bu Raniesha tersentak mendebgar jawaban dari anak gadisnya itu. sungguh sangat mengecewakan.
"Bukan begitu maksud Fio ... maksudnya adalah, Mama bisa anggap Fio seperti Fania."
Lagi pula, tidak ada ruginya juga bagi Fiona. Belum lagi seteleh kepergian Fania, Fiona butuh teman untuk mengobrol. Rasanya agak sepi tanpa ditemani oleh Fania kini.
"Jadi, hanya Mama yang menganggap, kamu enggak menganggap begitu?"
Fiona bingung harus menjawab apa. Mungkin maksud pertanyaannya hanya lelucon tanpa ekpresi jenaka.