"Bukan begitu, Ma."
"Lalu apa?"
"Kit—" Fiona terhenti untuk sesaat. "Aaaargh! Anggap saja kita teman, begitu kan yang Mama maksud dari tadi?"
"Hm," balas Raniesha dengan senyum lebar.
Tanpa sengaja Fiona menatap mata ibunya yang berkaca-kaca, namun dengan secepat kilat wanita itu menatap langit-langit kamar agar tidak jadi menetes. Mata itu ... seolah ingin menceritakan banyak hal, namun tidak bisa wanita paruh baya itu katakan.
"Baiklah, mari kita mulai kini."
"Apa maksud Mama?"
"Kan Mama sudah jadi Fania." Mereka terkekeh bersama.
Untuk sesaat Fiona terdiam. Tidak mengelak, bahwa saat seperti ini dia membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Dia bersukur, sangat bersyukur atas kehadiran Yoseph di hidupnya, akan tetapi, dia membutuhkam seorrang sahabat wania seperti Fania. Namun dia juga tidakl menyangka bahwa wanita yang akan menemaninya itu adalah ... Raniesha, ibunya sendiri.
Ya, dia memang cukup dekat dengan ibuinya selama ini. Akan tetapi, tetap saja ... agak terasa aneh jika harus menceritakan segalanya pada Ranieha. Terlebih yang berbau perasaan. Lagi pula, bagaimana pun dia tetap saja ibunya. Jika ada sesuatu yang tidak dia setujui, mungkin saja akan ditolak mentah-mentah oleh ibuinya. Bahkan, buka tidak mungkin Raniesha memarahinya. Mungkin saja.
"Apa Mama siap mendengarkan apa yang akan Fio katakan?"
"Tenttu saja."
Fiona berpikir untuk sejenak. Dia lalu teringat tentang Fania yang pergi secara mendadak, bahkan tanpa berpamitan dengan dirinya.
"Mama tahu alasan Fania pergi?"
Raniesha mendadak menanggapi dengan serius. Tanpa menjawab sepatah kata pun dia hanya mendesah pelan sembari melirik ke arah perutnya, seolah ada beban di sana.
"Jadi ... Mama sudah tahu?" tanya Fiona yang mengerti maksud dari ibunya.
"Ya, dia akhirnya jujur dengan Mama."
"Lalu. Bagaimana dengan ayah?"
Raniesha lalu menceriatakan segalanya yang terjadi. Fania meminta izin untuk melanjutkan sekolah modelling di Amerika. Meski pernah gagal, dia ingin mencoba sekaliu lagi. Setelah beberapa minggu ayahnya mengizinkan. Karena Ramon berkeyakinan bahwa anaknya akan menjadi sukses di sana. Namun, beberapa saat sebelum berangkat, Fania mengatakan segalanya.
"Termasuk surat itu?"
"Ya. ayah awalnya maerah. Namun semua sudah percuma. Karena Fania tinggal berangkat saja. Mau marah pun buat apa?"
"Syukurlah jika memang begitu kondisinya."
"Mungkln ... karena Mama dan ayah yang gagal mendidik Fania. Apalagi kami memang terlalu memanjakannya," ucap Raniesha lirih.
Fiona segera memeluk Raniesha erat.
"Enggak, Ma, enggak."
Namun, wanita itu terus menangis tanpa henti. Tidak dipedulikanntya jawaban dari Fiona. Meski dalam hati dia juga seerung merasa miris atas perlakuan kedua orang tuanya yang kerap kali tidak adil. Terutama ayahnya.
Setelah merasa puas menangis dalam pelukan Fiona, dia melepas pelukan itu lalu menyeka air mata dengan kedua tangannya.
"Ma..."
"Ada yang ingin Fio katakan lagi."
Fiona lalu menceritakan kejadian beberapa jam yang lalu saat dia bersama Yos dan bertemu dengan Fania.
"Mama yakin dia baik-baik saja. Kamu enggak perlu khawatir."
Fiona hening. Dia teringat akan sesuatu.
Lo lupa ya? ini Fania, Fania adalah anti-menyerah gurl! Kata itu kerap diucapkan Fania kala Fiona merasa khawatir dengannya.
"Ya sudah kamu istirahat gih."
"Mama juga, ya."
"Hmm, tentu saja."
Saat satu langkah lagi menuju keluaar kamar itu ...
"Fii..."
"Iya, Ma?"
"Entah kapan, tapi kamu harus kuat dan siapin mental ya? karena akan selalu ada berita mengejutkan yang lebih dari sekarang."
"Maksud Ma-ma?"
Raniesha tersenyum simpul. "Nanti... kamu akan tahu dengan sendirinya."
Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu beranjak dan pergi begitu saja. Meninggalkan rasa penasaran bagi Fiona.
***
Sejak pagi-pagi sekali Fiona sudah siap untuk berangkat sekolah. Bukan, bukan karena rain. Akan tetapi, itu adalah caranya untuk mengusir rasa sepi yang menghinggapi. Dia rindu bertengkar dengan Fania tiap pagi, lalu berlanjut berdebat di meja makan. Dan endingnya akan dimarahi Raniesha baru benar-benar berhenti. Momen yang telah lalu itu membuatnya benar-benar rindu kini.
"Hai, Fi, tumben berangkatnya pagi?" sapa Devika.
"Lo kalik yang tumben, Dev, kan gue emang biasanya berangkat pagi."
"Oh ya deng, gue lupa. Maaf ya, kalau lagi rajin, suka lupa diri."
Mereka lalu tergelak bersama.
"Tapi, ya, sepagi-paginya lo berangkat, enggak sepagi ini deh."
"Udahlah, yuk ke kelas."
Mereka berangkat menuju kelas bersama-sama. Tidak terasa waktu pun berlalu. Elea, si gadis peka, menyadari sesuatu.
"Fii... are you okay?"
"Yes, why?"
"Ah,, nope."
Elea merasa bahwa Fiona kembali seperti saat mereka baru berkenalan. Bak gadis semi introvert, yang gemar menyendiri dan hanya membaca buku. Padahal, dia biasanya hanya suka membaca komik. It's not Fiona. Begitu batin Elea.
Sasuara tangan bertepuk. Itu adalah ulah Firda dan teman-temannnya. Salah satu dari mereka berdiri di kursi kelas siap memberikan pengumuman.
"Guys, gurls, gue mau kasih pengumuman. So ... hari ini adalah hari ulang tahun Firda, my babies gurl! Dan Firda bakal ngadain birthday party."
Laliu teman Firda yang lain membagikan undangan itu ke semua siswa dan siswi yang berdiri di anatara mereka. Kecuali Fiona, Elea dan Devika.
"Kok mereka enggak dikasiih sih, Fir?" tanya siswi lain.
"Because we ... different level!" ucap salah satu dari anggota grup Firda.
Tidak lama kemudian, datanglah Yos, Wandi dan Fandi. Firda menyadari hal itu dan segera mencari perhatian agar Yos percaya padanya kali ini.
"No, gurl! Enggak boleh gitu," ujar Firda sembari menyodorkan undangan itu kepada Fiona, Elea dan Devika.
"This is for you, girls. Dateng ya."
Lalu dia juga menghampiri Yos dan kedua sahabatnya untuk menyodorkan undangan itu. "Yos, dateng ya. Papa pasti seneng kalau kamu ikut memeriahkan."
Yos tidak bersuara, dia hanya melirik undangan itu acuh tak acuh. Jika bbukan karena ayahnya, dia tidak lagi mau merepon gadis seperti Firda.
"Malam ini ya?"
"Yes, jam tujuh malam."
"Kalau sempet ya," balasnya acuh lalu kembali ke kursinya, begitu pula sisa dan siswi lain yang mulai bubar.
Kedua anggota Firda menghampirinya.
"Are you, okay?"
"Yes, of course. Enggak apa-apa. Kita lihat aja, setelah malam ini, dia masih bisa enggak bersiikap kayak gini sama gue?"
"Maksud lo gini gimana?" tanya Indri lemot.
"Ya, lo lihat aja, seenaknya begitu."
"What are you doing to night? Lo punya rencana."
"Yes! Come on gurl! Gue Firda, enggak mungkin diem gitu aja. Semua rencana gue harus berjalan seperti yang gue mau. Enggak peduli apa pun itu." Firda tersenyum menyeringai.
Fiona masih bersembunyi di balik tembok kelas melanjutkan merapikan sapu demi sapu agar tertata dengan rapi.