"Hm." Singkat, padat dan sudah cukup. Meski itu adalah jawaban yang tidak pernah disukai oleh Firda. Namun, itu jelas lebih baik daripada harus berdebat dengan Yos saat acara penting seperti ini.
Setelah itu, Yos kembali menuju Fandi dan Wandi. Mereka tengah berdiri di antara Elea dan Devika.
"Hei, Bro, gimana?"
"Apa yang gimana, Wawan?!"
"Wandi, wandi!"
"Udahlah Wawan aja, biar penulis enggak bingung sama kisah kita."
"Kita?"
"Terserah bodo amat!"
Fandi beberapa kali tertangkap basah melirik Fiona tanpa henti. Bukan karena takjub akan kecantikan gadis itu malam ini, tapi karena ... penampilan Fiona nyaris tidak ada bedanya dengan Fania, orang yang dia cintai namun kini menjabat sebagai mantan kekasih.
"Fan, Fiona cantik ya?" bisik Devika.
"Hmm, cantik."
"Terus, lo jadi suka sama dia?"
Fandi menggeleng pelan. Elea menyadari sesuatu, sorot mata Fandi kini tampak sendu. Dia hampir saja lupa bahwa Fandi pernah mencintai satu wanita dan orang itu adalah kembaran dari Fiona.
"Gue cuman ... keinget aja sama seseorang."
Devika menggigit bibir bagian bawahnya, dia merasa bersalah. Harusnya dia tidak bertanya atau sekadar nyeletuk seperti tadi. Rutuknya dalam hati.
Spontan Devika menyeka lembut bagian punggung belakang Fandi. Fandi menyadari itu dan menoleh ke arahnya dengan senyum tipis. "Gue enggak apa-apa. Jangan merasa bersalah begitu."
"Enggak. I'm not."
"Terus maksud tangan lo tadi, apa?"
"Gue cuma lagi semangatin lo. Ya, gue merasa bersalah, tapi bukan itu alasannya. Gue percaya, kalau cinta sejati bisa mengalahkan segalanya."
Fandi terdiam. Kata-kata itu menjadi penyemangat baginya. "I agree with you."
"Ke sana, yuk!" ajak Elea pada Fiona.
Tampak dari jauh Ervin tengah menikmati beberapa makanan dan minuman di tengah cewek-cewek cantik. Semenjak tidak bersama Elea, dia kembali merespons semua perempuan yang mendekatinya. Wajar saja, wajahnya yang tak kalah tampan dari Yos, juga dia aktif di beberapa organisasi.
Sebelumnya dia memang populer, namun tidak pernah merespon gadis mana pun karena bukan itu yang dia mau. Melainkan Elea. Sebagai bentuk agar segera bisa move on, dia melakukan ini semua. Walau tidak berhasil, setidaknya dia tidak merasa kesepian.
Elea hanya bisa menatap dari jauh. Sejauh ini, dia mengenal Ervin dengan baik. Menurut kacamata Elea, dia laki-laki baik dan bisa diandalkan. Bersama Ervin dia merasa hangat dan harinya terasa lebih bersemangat. Tapi ... setiap mengingat penyakitnya, dia tidak bisa berkutik. Baginya menurut pada orang tuanya adalah yang terbaik saat ini. Termasuk jika harus menikah dengan laki-laki yang tidak dia cintai selama ini. Alvin. Saudara sepupu dari Eervin.
Fiona yang menyadari hal itu menyemangati dengan menepuk punggung Elea perlahan. "Lo udah ngobrol sama dia?"
Elea menggeleng pelan. "Enggak. "
Dia kembali menghela napas. Dadanya terasa sesak setiap melihat Ervin. Andai saja bisa, dia ingin mengatakan bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Tapi toh untuk apa? Hanya akan memperkeruh keadaan. Dan itu tidak akan merubah segala yang ada.
"Kenapa?"
"Enggak ada yang perlu dibicarain lagi. Semua sudah jelas, Fi."
"Maksud lo soal Alvin?"
"Iya, dia juga sudah tahu gue akan sama Alvin nantinya. Enggak akan ada yang berubah."
"Tapi El—"
"Dia pasti akan baik-baik aja tanpa gue. Lagi pula cepat atau lambat, gue enggak akan ada di sini."
Fiona menghela napas pelan sembari memejamkan mata lalu membukanya kembali. "Bukan Ervin yang gue maksud, tapi lo, El. Lo sendiri gimana?"
"Gue nyaman sama dia. Dia baik, pengertian, dan gue nyaman sama dia. Dia juga selalu bisa bikin gue jadi diri sendiri."
"Obrolin, El."
Elea masih saja terus mengelak. Dia tidak mau mendengar pendapat orang lain. Baginya, ini adalah jalan terbaik yang bisa dia lakukan.
"El, listen me. Usia enggak ada yang tahu. Bisa aja, Ervin yang duluan pergi daripada lo."
"Kok lo ngomong gitu sih?"
"Kalau lo sakit, setidaknya mental lo harus sehat. Lo harus bahagia. Jangan mentingin orang terus. Menumpuk segalanya dalam hati lo, enggak akan bikin semua masalah kelar atau hati lo sembuh. Dia akan datang bersamaan, saat lo lagi down."
"Hai, sorry ganggu. Gue boleh gabung?" sapa Ervin dari belakang. Memecah perdebatan di antara mereka.
"Hai, Vin. Elea katanya mau ngomong sama lo."
"Fio!"
"Sebelum lo nyesel, kesempatan enggak datang dua kali," bisik Fiona sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
***
Suara musik dari dalam mobil Yos terdengar jelas. Kini tibalah giliran Elea.
"Di sini aja, Yos."
"Okay."
Elea membuka pintu mobil lalu dia segera memasuki rumah mewahnya. Sementara di dalam mobil hanya ada Yos dan Fiona.
"Are you happy?" mulai Yos.
"Hmm. Partynya lumayan seru. And how about you?"
"What do you think?"
Yos hening. Dia teringat kembali saat Firda mengumumkan pertunangan. Yang awalnya hanya rumor tidak jelas kini semua orang tahu bahwa mereka sungguh akan bertunangan.
"A-ah itu—"
"Enggak apa-apa, santai aja."
Fiona menjadi merasa tidak enak hati. Padahal maksudnya hanya untuk membuka topik agar tidak hanya hening seperti sebelummnya, namun yang terjadi malah membuat perasaan Yos tersinggung. Saat ini orang yang paling memahaminya mungkin adalah Fiona.
Ya, Fiona. Dia tengah berada dalam kondisi dan posisi yang sama. Ingin menolak, tapi tidak ada daya dan upaya.
"Enggak perlu canggung sama gue, santai aja."
"Soalnya lo dari tadi diam mulu."
"Coba lo lihat sekarang jam berapa?"
Fiona melirik arloji di lengan kirinya. Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. "Udah tengah malam banget, kan?"
Fiona hanya menjawab dengan anggukan."Terus, kenapa?"
"Fii... gue belom ada rebahan dari pagi. So, gue capek banget sekarang. Makanya gue Cuma diam," jelas Yos.
Tidak! Tentu saja karena juga banyak beban yang sedang dipikirkan Yos. Ucap Yos membatin.
Fiona hanya menganggukan kepala—lagi—tanda mengerti. Tidak berapa lama kemudian, mereka tiba di depan rumah Fiona. Tanpa berlama-lama lagi, Fiona segera masuk rumah.
"FII!" teriak Yos.
Fiona menundukan tubuh mengarahkan ke kaca mobil yang terbuka. "Hm? Ada apa, Yos?"
"Thank you ya?"
"E-eh, iya. Thank you, gue lupa, maaf."
Yos tersenyum lebar melihat Fiona yang malu salah tingkah. "Enggak apa-apa. Masuk gih. "
Fiona melepas jas dari tubuhnya lalu menuju pintu sopir dimana Yos berada. "Ini. Terima kasih, hangat."
"Like you?"
Fiona terkekeh geli. Dia melambaikan tangan tanda berpamitan lalu ingin maju melangkah masuk, namun ... "Fi!"
"Ya?"
"Can i say something?"
"Sure. What do you want say?"
"By the way lo cantik."
Fiona segera masuk menuju rumah dengan wajah yang memerah menahan malu. Sementara Yos, tergelak lalu berlalu pergi meninggalkan halaman rumah Fiona.