Chereads / Venganza The Twins / Chapter 38 - Bara Cemburu

Chapter 38 - Bara Cemburu

"Fio, ayo sarapan bareng. Nasi goreng sudah siap!" jerit Raniesha dari dapur.

Sementara Fiona baru saja selesai mengenakan seragam putih abu-abu miliknya. Tidak seperti biasanya yang membantu ibunya, kali ini dia terlambat bangun. Karena semalam tidur terlalu larut. Belum lagi setelah pulang dia harus membereskan kamar dan sedikit membereskan dapur.

Jadilah dia terlelap pukul satu malam dini hari. Itu sungguh tidak apa baginya, selama ayah tidak marah, semuanya sungguh terasa baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian dia menuju ruang makan bersama kedua orang tuanya yang tengah menikmati sarapan bersama. Seperti biasa, setelah sarapan ayahnya menikmati segelas kopi sembari membaca koran di depan rumah. Menurut Ramon, meski teknologi sudah begitu canggih, tapi membaca koran tetaplah yang terbaik.

Porsi nasi goreng Fiona sudah tersisa setengah porsi.

"Ini susunya, Fi."

"Fio kan enggak begitu suka susu, Ma."

"Ya, Mama tahu. Tapi setidaknya kamu harus belajar dong."

Seperti biasa, tidak ada pilihan lain dan akhirnya dia menurut saja. Padahal, perutnya sudah terasa sangat penuh.

"Hmm, Ma ... Fio boleh tanya enggak?" tanya Fiona ragu.

"Tanya aja. Ada apa?"

"Ayah, enggak marah sama Fio?"

"Soal apa?"

"Fio semalam pulangnya larut banget loh. Biasanya kalau kayak gitu kan, ayah pasti nungguin di ruang tamu."

"Ah itu ya? Mama enggak tahu, jujur aja. Soalnya semalam jam 10 udah tidur.  Coba kamu tanya aja sama ayah."

"Takut, Maa." Fiona memperlihatkan ekspresi canggung.

"Takut kenapa?" suara berat tiba-tiba terdengar. Ayahnya diam-diam menguping pembicaraan mereka. Tanpa sengaja.

Fiona membisu, tidak berani menjawab. Sosok ayah yang kejam, suka pilih kasih, dan tak jarang berlaku tidak adil padanya masih begitu melekat. Meski ayahnya sudah menjadi lebih baik belakangan ini, tetapi memori itu masih terekam jelas di matanya.

"Ini udah, kan?"

"Udah, Ma." Fiona menatap ayahnya penuh dengan rasa gugup. Namun dia menahan dan berlakon bahwa dia sungguh baik-baik saja. Karena makanan sudah habis, kini dia bisa pergi beranjak menuju sekolah. Dengan takut terlambat sebagai alasan. "Ya sudah, kalau begitu, Fio berangkat dulu, Yah, Ma—"

"Tunggu dulu. Ini segelas susu hangat yang tadi sengaja Mama buatkan belum kamu habiskan," pangkas ibunya.

Lagi dan lagi Fiona tidak bisa menolak. Tidak tega lebih tepatnya. Meskipun dia sendiri tahu bahwa ibunya sengaja melakukan hal ini agar dia bisa bicara lebih dalam dengan ayahnya.

Dahulu, mereka adalah dua orang yang akrab hingga suatu kejadian yang membuat mereka menjadi canggung dan jarangnya komunikasi membuat mereka saling salah paham.

"Maaf." Mulai Ramon.

"Maaf untuk apa, Yah?"

"Kamu menjadi takut dengan Ayah."

"Enggak, bukan begitu."

"Lalu?"

Raniesha sibuk mencuci piring sisa mereka sarapan. Sengaja memberi mereka ruang untuk saling bicara. Dia ingin sedikit menjauh agar mereka benar-benar hanya bicara berdua. Akan tetapi, dia juga ingin tahu apa yang mereka bahas kali ini.

"Karena bisanya Ayah pasti marah kalau Fio pergi dan pulang terlalu lama, terlalu malam apalagi dengan teman laki-laki."

"Maaf jika kamu berpikir Ayah begitu. Tapi sungguh, Ayah tidak pernah bermaksud seperti itu." hening. Baik Fiona mau pun Ayahnya hening untuk sesaat, yang terdengar hanya suara aliran air dari keran cucian piring Raniesha. "Tapi sungguh ... Ayah melakukan itu karena rasa sayang sebagai  seorang Ayah."

"Seorang Ayah?"

"Ya, lagi pula semalam Yos sudah menghubungi Ayah kalau kalian akan pulang agak terlambat. Ayah percaya karena tahu siapa dia, dan Ayah juga yakin kamu akan aman saat bersama dia."

Fiona tertegun sekaligus merasa bahagia. Tidak sangka ayahnya begitu percaya pada Yos.

Andai saja kami tidak terikat dengan hubungan keluarga yang ... agak menyeramkan. Dan tidak bisa melawan. Andai saja ... lirih Fiona.

"Kenapa Ayah percaya dengan Yos?"

"Dia laki-laki yang baik dan Ayah kenal cukup baik dengan keluarga besarnya tidak hanya ayahnya saja. TAPI ... tidak seratus persen. Buktinya, semalam Ayah menunggu kamu hingga selamat dan aman sampai rumah. Ayah juga tahu kamu yang sudah memberesken dapur, kan?"

Ayahnya berbeda sekali hari ini. Tidak biasanya dia banyak bicara. Bisanya dia biasa menjawab iya, tidak, atau hanya gumaman. Kalau pun bicara banyak isinya hanyalah amarah yang ujuungnya membuatnya sakit hati.

"Ayah nungguin Fio?"

"Ya." Anggukan tipis Ramon dia berikan.

"Ayah adalah Ayah walau—"

"Fi, berangkat gih nanti kamu telat, loh," pangkas ibunya dengan suara yang agak lantang hingga mereka merasa terkejut.

Fiona berpamitan lalu beranjak pergi dengan kang gojek yang telah menunggu sejak lama di depan rumah.

"Ayah, kamu kenapa bilang begitu sama Fio?!" tanya Raniesha setelah memastikan Fiona sungguh sudah pergi jauh.

"Maaf, Ma. Lupa."

***

Selamat. Fiona masih selamat dari hukuman sekolah. Kurang dari satu menit saja dia terlambat, pasti kena hukuman, kena poin pula dari sekolah. Sangat ketat. Tidak! Ini terlalu ketat bagi Fiona. Tapi dia sungguh bahagia menjalaninya.

Di sekolah, Firda diberikan banyak kado dan beberapa bunga dari gadis di sekolah. Bukan. Bukan sebagai kado ulang tahun, tapi kado karena sebentar lagi akan bertunangan dengan Yos. Tanpa henti dia terus tersenyum dengan lebar, bahkan di depan Fiona.

Fiona memasang wajah sedih. Bukan. Bukan karena iri atau cemburu dengan setiap kado dan bunga yang Firda terima, tapi karena dengan melihat semua itu seolah semua semakin tampak jelas bahwa Yos akan bertunangan dengan Firda. Jika dia masih dekat dengan Yos maka akan ada berita bahwa dia mendekati kekasih orang.

"Hai, Fi!" sapa Wandi dengan ceria.

"Hmm," balas Fiona sekenanya.

"Dih, lesu amat,  semangat dikit, dong!"

"Apa sih, Wan? Kalau Cuma mau gangguin gue, pergi aja sono!"

"Galak amat. Lagian, lo kan sibuknya sama YOS mulu, sesekali sama gue dong."

Jika diingat-ingat lagi, ada benarnya juga. Selama ini, Fiona hanya sibuk dengan Yos. Hampir setiap hari. Mungkin mulai sekarang ada baiknya dia menjaga jarak. Fiona sadar, hidup tidak selamanya akan begini, toh bagi Yos dia hanyalah seorang adik.

"Ya udah, lo mau gue sibuk sama lo juga?"

"Mau dong," balas Wandi sembari mengedipkan mata dengan manja.

Lucu memang. Mereka bertetangga, tapi untuk bertemu saja jarang, apalagi main. Mungkin karena belakangan ini Fiona lebih sering mengurus masalah Fania dan perjodohan keluarga yang sama sekali tidak penting itu.

"Yaudah, kalau lo lagi butuh temen, hubungi gue aja, lagian yang selama ini jarang chat kan ... gue. He he he."

"Yeeeuh, dasar!"

"Yaaah maaf kalik, ahelah."

Mereka tergelak bersama. Dari jauh Yos menyaksikan dengan rasa cemburu yang membara. "Mereka dekat lagi?"