#31
Fiona masih menatap dengan sinis. Kesabarannya kali ini sudah habis.
"Lo lebih pilih cowok kayak dia dibanding gue?"
Fiona sudah tidak tahu lagi harus dengan cara apa dia menjelaskan segalanya. Entah dia mengerti bahasa manusia atau tidak? Andai bisa, ingin sekali rasanya dia menonjok lelaki di hadapannya ini lalu beranjak pergi.
"YA. Kenapa—"
Belum selesai Fiona mengeluarkan semua rasa kesal yang ada dalam hatinya, Yoseph menahan tangannya.
"Lepas!" ucap Fiona dengan nada setengah membentak. Namun, bukannya menuruti, Yoseph malah menyematkan jari demi jari ke jari Fiona, dan mereka saling menggenggam dengan erat.
Yos lalu beranjak dari duduknya. "Emang gue cowok yang kayak gimana?"
"Lo cemen, enggak bisa diandalkan, dan ..." dia terhenti lalu menatap Yos dengan remeh, "enggak sebanding dengan Fania. Jadi, lo enggak cocok."
"Oh ya? so ... menurut lo ini artinya apa?" tanyanya lagi sembari mengangkat tangan Fiona yang bergenggaman tangan dengannya kian erat.
Tanpa menunggu jawaban, dia pun berlalu pergi meninggalkan Kelvin yang masih kesal atas jawaban yang diberi oleh Yoseph.
***
Hening. Belum aada yang membuka topik pembicaraan setelah mereka berhasil melarikan diri beberapa saat yang lalu. Sebenarnya, sudah sangat banyak pertanyaan yang bergelayut manja di dalam kepala Fiona untuk Yos. Akan tetapi, dia masih sangat gengsi untuk menyatakannya. Aku kan perempuan. Ucapnya membatin sendiri.
Yang terdengar hanya suara angin yang mulai terasa masuk hingga ke tulang Fiona. Menyadari hal itu, Yoseph menyodorkan jaket tipisnya untuk Fiona.
"Nih, pakai!"
"Lo gimana?"
"Gue laki."
Fiona terkekeh geli mendengarnya. Terasa agak aneh.
"Kok lo ketawa?" tanya Yoseph tidak terima dengan respon yang diberi Fiona.
"Enggak, emang gue ketawa?"
"Wah lo ngeledek!"
Fiona tersenyum simpul. Lalu menatapi alam malam. Mereka tengah menikmati suasana yang agak sepi di tengah malam taman dekat rumah Yoseph. Diam-diam, Yoseph menatapnya dengan rasa bahagia.
"Fi ..."
"Hmm?"
"Gue suka lihat lo kalau lagi senyum."
"Hmm?"
"Enggak lupain aja."
Bertukar posisi, untuk kali ini, Fiona yang terhipnotis melihat Yoseph yang tersenyum dari samping. Dia sangat tampan dan rupawan, walau terkadang dia dingin, tapi dibalik itu punya sisi perhatian yang tak kalah menggemaskan.
"Jadi ... kenapa tadi lo ngajak gue ketemu?"
"Gue ... mau semuanya clear."
"Soal?"
"Pertunangan lo sama Firda. Lo sayang sama dia?"
Yoseph tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. "Enggak."
"Enggak apa? Yang jelas dong!"
"Gue enggak punya perasaan apa-apa sama dia, apa lagi sayang. Gue deket sama dia ... Cuma karena hubungan orang tua kita baik. Dan enggak pernah lebih dari itu."
"Oh gitu ..." balas Fiona sembari menganggukan kepala mengerti.
Dugaannya selama ini benar, tidak mungkin Yoseph memiliki perasaan untuk gadis itu dalam waktu yang berdekatan.
"Kalau lo sendiri? Gimana?"
Fiona membulatkan mulut tidak mengerti. "Gue? Emang gue kenapa?"
"Maksud gue, lo sama Kelvin kan juga dijodohin. Sebentar lagi kan juga akan bertunangan."
"Yos, Kelvin tunangan sama Fania, not with me."
"Kayaknya enggak perlu gue jelasin lo ngerti kan maksudnya?"
"Perasaan gue? Enggak ada, sama sekali buat laki-laki kayak Kelvin."
"Lo bakalan nyerah?"
"Ya, enggaklah lo gilak kalik! Kalau lo?"
"I not have other option, Fi."
"I don't care, but i have."
"What do you mean?"
"Gue enggak mau terima begitu aja, gue enggak bisa lebih tepatnya."
"Lo mau ngapain emangnya?"
"I don't know, but ... gue bakal cari seribu satu macam cara untuk kali ini."
Yoseph menyeka lembut rambut Fiona, "good girl, jangan tiru gue, ya?"
Rasa peduli apa sebenarnya yang kini dia beri? Rasa sayang atau hanya sebatas rasa peduli sebagai kakak? Batin Fiona.
"Lo juga punya pilihan, kan?"
Yoseph menghela napas berat, "entah." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Bukan menyerah, kali ini dia pasrah.
"Nope!" Fiona menatap Yos tajam, "lo juga punya pilihan, tapi yang jadi masalah adalah, lo mau atau enggak?"
"Fi ..." ucapnya lirih sembari menatap Fiona dengan tatapan sendu.
"What? Lo enggak mau?"
"Bukan gue enggak mau, tapi ... ini enggak segampang yang lo kira."
"Emang enggak gampang, tapi pasrah bukan solusi—"
"Lo enggak ngerti gimana kerasnya bokap gue, kan? Jadi, please ... ya?"
"Emang lo ngerti bokap gue? Ha?! Enggak kan?"
"Fi! Biar gue yang menderita, lo jangan. Okay?"
"Oh, yaudah," Fiona melipat tangan di depan dada lalu memanyunkan bibirnya, "kalau gitu, gue pasrah juga."
"Fi..."
"What? Adil kan? Kita, sama-sama menderita. Its enough for you?"
Yos menghela napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar. Mereka kembali hening dan berpegang pada ego masing-masing. Yos sesekali tampak memijat pelipisnya dengan lembut. Kepalanya terasa makin pusing kini. Kemudian dia menarik napas beberapa kali menenangkan diri.
"Fi ..."
"Apa?"
"Gue mau—"
"Enggak ya, enggak ada! Gue enggak mau, titik!" pangkas Fiona sembari menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
"Denger dulu," ucapnya sembari melepas paksa tangan Fiona yang menempel di telinga, "gue kan belum selesai ngomong."
"Apa?" tanya Fiona malas. Dia masih yakin Yos pasti tidak mau menerima tawarannya.
"Yaudah, yuk?"
"Ke mana?"
Yos hanya menganggukan kepala sembari menatap dengan tatapan penuh arti.
"Maksud lo—"
"Iya."
Fiona langsung melonjak girang mendengar jawaban yang diberi oleh Yos. Entah mengapa saat bersama Yos, dia sering merasa bebas untuk bertingkah seperti anak kecil. Seperti yang dia lakukan saat ini misalnya. Baginya itu sangat kekanakan.
"Lo mau balik?" tanya Yos beranjak dari duduk, "kalau iya, mau gue anterin, enggak?"
Fiona menarik paksa tangan Yos, hingga laki-laki yang biasa bersikap dingin itu kembali terduduk tanpa sengaja.
"Duduk dulu sebentar, lo masih punya waktu, 'kan?"
Yos melirik arloji janmnya lalu menganggukan kepala pelan. "Ya, gue ada waktu. Tapi,ini sudah terlalu malam."
"Ada yang pingin gue obrolin sama lo."
"Soal?"
"Alasan gue ngajak ketemu—"
"Eh iya, gue juga mau minta maaf soal tadi." Yoseph lalu menjelaskan bagaimana dia bertemu dengan Kelvin.
Berawal dari iseng karena melihat tombol hijau Fiona di akun aplikasi chat. Lalu tepat saat ingin pergi, Kelvin sudah menunggu di ruang tamu. Dengan bantuan ayahnya dia menginterogasi Yoseph saat dia ingin keluar rumah. Pada awalnya dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi rupanya Kelvin tanpa sengaja mendengar percakapan antara Yoseph dan Yasmin—kakak perempuannya.
Mau tidak mau dia membiarkan Kelvin melangsungkan aksinya, walau dia tidak setuju sekalipun. Mau bagaimana lagi? Kelvin berada pada pihak yang kuat, ayah Yos.
"Syukur deh."
"Loh, kok jadi syukur sih, Fi?"
"Lah iya, soalnya gue kira lo udah rencanain sejak awal, termasuk chat yang lo kirim ke gue."