Widya sekarang tengah berdiri di hadapan pintu kamar putranya, dua tengah menunggu putranya itu keluar dari kamar membukakan pintu untuknya. Beberapa detik setelah menunggu akhirnya pintu kamar itu terbuka dalam menampakkan seorang remaja laki-laki dengan tersenyum kearahnya.
"Ngapain kamu di dalam kamar?" tanya Widya pada Raja.
"Mainan handphone, ma," jawab Raja apa adanya pada Widya.
Sepasang manik mata Raja menoleh ke samping dan terlihat dari jendela besar yang ada di rumahnya bahwa di luar tengah hujan namun tidak begitu deras.
"Hujan ya, ma?" tanya Raja pada mamanya.
"Iya, hujan. Mama heran sama kamu, sampai ada hujan pun kamu tidak tahu?" tanya balik Widya pada Raja.
"Maaf ma, Raja di dalam tenang dan tidak menganggu kanan kiri jadi baik-baik aja," jawab Raja pada mamanya tanpa merasa berdosa sedikitpun.
"Selalu pintar menjawab," ucap Widya pada Raja sembari menggelengkan kepalanya dan menghela nafas pelan.
"Mama minta kamu turun, ayo makan di bawah," tambah Widya pada Raja dan langsung diangguk i oleh remaja laki-laki itu.
"Oke ma," ucap Raja bersemangat mengiyakan apa yang dikatakan mamanya itu pada dirinya dan setelah itu Raja berjalan menuruni anak tangga rumah yang bersamaan dengan namanya menuju ke meja makan untuk makan bersama.
Remaja laki-laki itu sangat bersemangat jika diminta makan dan sangat tidak bersemangat jika diminta ke kantor. Bagi Raja kantor adalah neraka, dimana dia bertemu dengan banyak kertas dan juga pulpen yang sangat bosan untuk di pandang mata.
Setiap kali Widya mengatakan tentang hal kantor Raja selalu mengalihkan pembicaraan dan paling parahnya Raja pergi begitu saja dari hadapan mamanya.
"Kantor papa kamu hanya kamu pewarisnya jadi kamu harus sering-sering ke sana agar sudah siap jika benar-benar diserahkan ke kamu Ja," ujar Widya menjelaskan pada Raja yang tengah lahap menyantap makanannya.
Mendengar jelas apa yang dikatakan oleh mamanya, Raja memilih diam dan tidak menjawab apa yang dikatakan namanya pada dirinya. Raja terus makan dengan lahap, tidak peduli mamanya mengatakan apa tentang kantor yang sangat membosankan baginya.
Widya merasa bahwa putranya itu tidak mendengarkan dirinya dengan baik, diapun terdiam dan memberikan tatapan elangnya pada Raja membuat Raja langsung takut dan tersenyum tidak berdosa ke arahnya.
"Dari tadi Mama ngomong panjang lebar kamu dengerin nggak sih?" tanya Widya pada Raja
"Raja dengerin ma," jawab Raja apa adanya pada Widya.
"Terus kalau dengerin kenapa mama bertanya tidak kamu jawab?" tanya Widya pada Raja sembari mengerutkan keningnya.
"Kapan mama tanya sama Raja, ma?" tanya balik Raja pada Widya dan berhasil membuat Widya naik darah.
"Kamu masih sama saja Raja. Bandel, susah diajak bicara soal kantor, asal kamu tahu dan kamu harus tahu bahwa kita itu keluarga pengusaha jadi dunia kamu, mama dan papa adalah perkantoran," jawab Widya pada Raja sembari menjelaskan agar Raja dan sangat paham dengan semua yang dikatakan mamanya pada dirinya.
"Raja paham kok, ma," ujar Raja singkat sembari tersenyum.
"Terus kenapa selalu malas-malasan dan pura-pura tidak dengar saat mama membahas tentang kantor?" tanya Widya pada Raja.
"Membosankan ma kalau boleh jujur," jawab Raja yang akhirnya jujur pada mamanya.
"Terus kalau kamu merasa bahwa kantor membosankan, siapa penerus papa kamu?" tanya Widya pada Raja.
"Ya Raja lah ma, kan Raja anak kandung papa," jawab Raja dengan benar dan begitu terlihat membingungkan oleh mamanya.
"Mama pusing ngobrol sama kamu," ucap Widya pada Raja.
"Istirahat dulu kalau pusing, Raja ambilkan air minum dulu agar mama bisa sehat dan tidak pusing lagi," sahut Raja pada mamanya.
"Sudah-sudah biar papa kamu saja yang bicara sama kamu nanti."
Raja hanya tersenyum manis dan asisten rumahnya yang sedari tadi memperhatikan dirinya mengobrol dengan mamanya dibuat senyum-senyum sendiri karena kagum melihat ketampanannya.
Raja menoleh pada paruh baya yang saat ini tengah memperhatikannya.
"Bibi udah makan?" tanya Raja pada paruh baya itu.
"Sudah Aden," jawab paruh baya itu pada Raja dan diangguki oleh Raja.
"Kalau belum Raja ajakin makan bareng," ucap Raja pada paruh baya perempuan itu.
"Aden baik banget, sama persis seperti nyonya dan tuan besar," sahut paruh baya perempuan itu pada Raja.
"Kan Raja anaknya bi, hehehe," ucap Raja pada paruh baya itu sembari bercengir tidak berdosa.
Selesai makan Raja kemudian kembali lagi ke kamarnya tepatnya di lantai atas untuk belajar. Raja memang sangat bosan juga diajak membahas tentang kantor namun tentang pelajaran dirinya begitu bersemangat dan Raja bisa dibilang pintar seperti mama dan papanya.
Baru saja remaja laki-laki itu mendudukkan dirinya di kursi belajar handphone yang dia taruh di atas nakas tiba-tiba berdering menandakan bahwa ada seseorang yang menelepon dirinya.
Raja segera melihat siapakah yang meneleponnya dan menjawab panggilan telepon itu.
"Apa, Sya?" tanya Raja pada Tasya yang meneleponnya.
Raja begitu malas menjawab telepon dari gadis itu namun jika nanti tidak dia jawab maka Tasya akan terus menelepon dirinya sampai dirinya menjawab telepon dari Tasya.
"Kamu dimana? Bisa jemput aku nggak?" tanya balik Tasya pada Raja.
"Aku belajar dan nggak boleh keluar sama papa." setelah mengatakan hal itu pada Tasya, Raja menutup sambungan telepon sepihak dan kemudian kembali fokus belajar setelah mematikan handphonenya agar tidak ada yang menganggu dirinya selama belajar.
Selalu seperti itu, Raja dengan sikap dinginnya tak tersentuh dengan apapun.