Delwyn berdehem untuk yang kesekian kalinya. Bukan tenggorokannya yang gatal atau sebab benda asing masuk ke dalam sana. Namun, karena Daeva. Tak ada cara lain untuk menyadarkan perempuan aneh ini. Melihat seorang gadis yang ingin bunuh diri dengan menggantungkan lehernya di dalam bulatan tali besar di depannya sekarang, membuat Delwyn tak habis pikir lagi. Daeva menyaksikan semua itu dengan begitu tenang. Dia bahkan bermain dengan belati kecil di dalam genggamannya. Seakan tahu bahwa semua berada di luar kuasa Daeva.
"Kau benar-benar akan melihat dia mati sekarang?" bisik Delwyn. Tepat di sisi telinga wanita yang diam melirik ke arahnya dalam sejenak. "Aku tak tega," ujarnya sembari menggelengkan kepalanya. Merinding saat mendengar isak tangis penuh keputusasaan dari gadis itu sekarang. "Kau bisa membantunya sekarang, Daeva."
"Aku tidak mencampuri urusan manusia dengan Tuhannya." Daeva menolak. Tak ada ekspresi saat berbicara kalimat itu. Dia tak punya belas kasih. "Saksikan saja. Kita akan menyelesaikan semuanya lima belas menit paling lama."
Delwyn mengerutkan keningnya. "Kau benar-benar kejam." Dia menggerutu. Ingin rasanya meraih tubuh gadis itu. Namun, dia tak punya kuasa. Daeva membentuk sebuah kubah kaca raksasa untuk melindungi mereka. Tak ikut campur dalam urusan manusia dengan Tuhannya adalah prinsip hidup wanita satu itu. Siapa peduli pasal keputusasaan yang dihadapi gadis muda itu. Daeva hanya memperdulikan pasal imbalan yang dia terima.
"One ...." Daeva menghitung seiring dengan gadis muda itu yang memasukkan kepalanya ke dalam bulatan tali. Menempelkan lehernya di sana. "Two ...." Ia tersenyum manis. Madu surga tak pernah mengecewakan. Rasanya benar-benar luar biasa. "Three!"
Delwyn membuka matanya kala Daeva mengunakan sihir untuk mendorong kursi yang menjadi tumpuan kaki sang gadis. Tubuhnya meronta-ronta bak cacing kepanasan. Napasnya tersengal-sengal, sebab lehernya terikat dengan tali yang menggantung di atas atap.
"Daeva!" Delwyn panik. Mencoba keluar dari kubah kaca yang dibuat Daeva. "Katanya kau tak ikut campur dalam urusan manusia!" Dia berteriak. Menggedor-gedor kubah berharap itu bisa pecah. "Namun! Kau baru saja menarik kursinya dengan sihirmu. Aku melihat itu!" Delwyn terus memprotes. Mencoba memancing Daeva yang diam di tempatnya. Menyaksikan kematian seorang gadis muda yang mulai lemah kehilangan napas dan tenaganya, seakan menjadi tontonan menarik untuk Daeva.
"Please ...." Delwyn memohon. Bersimpuh di depan Daeva. "Kita bisa menolongnya."
Daeva menatap Delwyn. "Aku tidak bisa melakukan apapun. Tugasku hanya mengambil darahnya dan mendapat Amelinda."
"Oh my God!" Seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah. Menerobos adegan menegangkan di sini. Wanita tua dengan penampilan alakadarnya, sepertinya dia begitu panik melihat gadis kecilnya melayang dengan tubuh yang melemah. Sesegera mungkin dia menarik kursi itu kembali. Naik ke atas dan memotong talinya.
Tubuh lemah gadis itu jatuh di atas lantai. Wanita tua yang menggagalkan semuanya terdiam sejenak sesaat melihat ke arah sudut ruangan, tempat Daeva duduk dan membentuk kubah untuk melindungi dirinya sendiri.
"Syukurlah ...." Delwyn tersenyum ringan. Menatap adegan di depannya. Sekarang pandangan mata tertuju pada Daeva. Wanita itu duduk, menatap orang di depannya dengan heran.
"Kenapa? Kenapa wajahmu begitu? Heran karena masih ada orang baik di dunia ini?" tanya Delwyn. Mencecarnya dengan kalimat penghakiman.
"Dia melihatku?" lirih kalimat Daeva menarik perhatian wanita itu. Seperti sedang mendengarnya, tetapi dia berusaha untuk mengabaikan.
Daeva bangun dari tempat duduknya. Berjalan ringan seiring dengan kubah kaca yang mulai menghilang. Namun, dia dan Delwyn tetap berada di bawah bayangan, manusia tidak bisa melihat mereka. Seharusnya begitu.
Wanita tua itu menangis, tangannya gemetar merogoh masuk ke dalam kantung mantel kusutnya. Sesegera mungkin menelpon ambulance.
Daeva mendekat. Berjongkok di sisinya.
"Daeva ... apa yang kau lakukan? Kau akan mencabut nyawanya?" Delwyn menarik tubuh wanita itu. Namun, Daeva bergeming. Ada yang harus dia pastikan.
"Kau ...." Daeva berbisik. "Kau melihatku baru saja?" tanyanya memastikan. Sebelumnya tak ada manusia yang bisa melihatnya jika Daeva juga merapalkan sebuah mantra untuk menghilang dari pandangan manusia. Namun, sepertinya perempuan ini lain.
"Kau melihatku?" ulangnya. Terus memastikan.
Belum sempat Daeva kembali bertanya, sirine ambulan menyela. Suaranya menggema di ruangan. Daeva berdecak. Kesal bukan main, madu surga tak jadi ada dalam genggamannya.
"Kita pulang sekarang," ujar Daeva pada Delwyn. Ia bangkit dari posisinya.
••• Luxuria's Penthouse •••
Unknown, Green Bank, Pocahontas Country, Virginia.
"That's crazy! That's crazy! So crazy!" Delwyn tak henti-hentinya mengumpat. Mondar mandir tak tentu arah, menghalangi pandangan Daeva menatap ke luar jendela. "Kau benar-benar sudah gila!" Sekarang dia berhenti di depan Daeva. Menatapnya seakan dia baru saja melakukan kesalahan yang merobohkan satu dunia.
"Diamlah. Aku sedang berpikir," ujar Daeva. Melirik Delwyn yang diam, benar-benar diam. Namun, dengan tatapan yang mengerikan.
"Bagaimana jika dia benar-benar mati tadi?" Delwyn memprotes. "Kau bisa dipenjara!" Dia merengek. "Aku pun begitu!"
Daeva tak acuh. Dia tak takut pada hukum dunia.
"Segitu penting kah Amelinda untuk dirimu, huh?"
Tak ada jawaban. Tiba-tiba saja bayangan hitam muncul menembus jendela besar yang ada di depannya. Suara gemuruh memenuhi ruangan. Mengagetkan Delwyn yang masih kokoh pada gerutunya.
"Sekarang apa lagi?" tanyanya, menatap langit-langit ruangan. "Decurion?" Seakan sudah hapal, dia menebak siapa yang datang.
"Kau gagal Daeva ...." Suara berat memenuhi ruangan.
Daeva menghela napasnya. "Siapa wanita tadi?" tanyanya. Bangun dari duduknya. Daeva menatap ke sudut ruangan. Bayangan jubah hitam dengan mata yang khas berdiri di sana. Menatapnya penuh amarah, mungkin. Entahlah. Decurion selalu dengan ekspresi begitu. Bahkan dia tertawa dengan wajah marah. Ah, bukan wajah ... entahlah apa namanya. Dia tak berwujud.
"Variabel." Pernyataan yang konyol. "Dia yang disebut sebagai variabel."
"Dia bisa melihatku," sahut Daeva. Penuh keyakinan. "Kami berkontak mata. Dia diam dan terpaku. Dia melihatku."
"Dia melihatmu?" tanya Decurion mengulang. "Kau yakin, Daeva?"
"Aku pun merasa begitu," sahut Delwyn ikut campur. Dia tak mau jadi pendengar saja kali ini. "Hei, kau!" Delwyn menantang. "Kau yang menyuruh Daeva untuk melihat kematian itu bukan? Kau punya hati?"
Decurion menatapnya. Cahaya di dalam mata itu berpendar. Seakan membius, Delwyn tiba-tiba saja jatuh tak sadarkan diri.
"Dia hama menyebalkan," katanya selepas berhasil menidurkan bayi rewel satu itu.
"Bagaimana jika dia bukan variabel?" tanya Daeva. Mengabaikan keberadaan Delwyn di sisinya. "Sebelumnya tak ada manusia yang bisa melihatku dalam anak kubah Daviela."
Decurion berputar. Mengelilingi ruangan. Seakan sedang berpikir, mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
"Decurion!" Daeva tak sabar. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya. Mulai curiga. "Darah perawan itu bukan untuk mematahkan mantra Advocata Ogirth bukan? Itu untuk yang lain."
... To be continued ...