Chapter 18 - 17. Fairytale.

Basic normal fitted begitu pas membalut tubuh jenjang nan anggun milik Daeva. Membuatnya terlihat begitu mewah dengan ciri khas busana yang elegan. Inilah Daeva Desdemonav, wanita yang tak akan pernah gagal dalam memadu madankan gaun dan segala jenis bentuk pakaian untuk dia kenakan.

--dan di sinilah Daeva berada, sebuah ruangan besar yang terbuka untuk umum. Museum kota yang menyimpan banyak cerita, kisah unik, menyingkap masa lalu yang tak pernah diketahui oleh manusia dewasa-dewasa ini.

Daeva tak perlu mendengar semua itu, pemandu mesum tak berguna jika disandingkan dengan dirinya. Ia adalah saksi cerita dunia berubah. Membisu, tanpa bisa berkata pada dunia. Alasan Daeva tak pernah berurusan dengan benda kuno dan sejarahnya adalah sebab dia tak ingin mengingat apapun yang sudah terjadi di masa lalu. Nyatanya semua hanya meninggalkan luka dan memori lama yang tak kunjung habisnya.

"Replika Kapal Clotida." Suara seseorang menyela dirinya. Daeva menoleh, memutar tubuhnya ringan. Menyambut kedatangan pak tua berbadan gempal, berjenggot tebal layaknya Santa Claus. "Aku paling suka ini," ujarnya tertawa. Suara yang khas, Daeva menghapal itu.

"Kita tak bisa mendapatkan yang asli, museum kota tak diijinkan untuk itu, Nona." Dia melirik Daeva yang masih diam. Senyum tipis menjawab kalimatnya. Siapa yang butuh benda aslinya kalau orang-orang percaya cerita hanya dengan melihat tiruannya?

"Aku bertemu dengan seorang wanita tua yang bermain lilin api dengan anaknya di tepi rawa ...." Daeva memulai. Mengulas kembali masa saat legenda kapal ini terdengar begitu hangat diperbincangkan di setiap penjuru kota di Amerika Serikat. "Dia menatapku sembari menangis ...."

Pria gempal itu menoleh pada Daeva. Kalimatnya seakan penuh duka. Hatinya sedang tak baik-baik saja.

"Dia bangun dan menggendong anaknya yang sudah lemah tak bernyawa. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Matanya merah, jari jari tangan yang terluka." Dia mengimbuhkan. "Aku bertanya apa yang terjadi ...."

"Dia menjawab apa?" tanyanya pada Daeva.

"Dia tak menjawab itu. Alih-alih menjelaskan mengapa sang putri kecil kehilangan nyawanya dengan tubuh telanjang bulat, dia lebih memilih menangis dan memohon aku memberi nyawa pada putrinya. Dia memohon, seorang ibu memohon pada reinkarnasi iblis untuk menghidupkan kembali anaknya lagi." Helaan napas panjang menghentikan sejenak kalimatnya. Melirik kalender tua yang ada di sisi pintu masuk museum.

"Anda memberikan nyawa padanya lagi?"

Daeva menoleh. Ditatapnya pak tua itu dengan penuh ketegasan. Kepalanya mengangguk-angguk. "Ketulusan doa ibu membuatku melakukannya. Aku memberi nyawa meksipun aku tahu, aku tak seharusnya melakukan itu."

"Apa yang terjadi selanjutnya?" tanya pak tua itu lagi. Daeva sering datang ke sini, tetapi baru sekarang dia mau mengulas masa lalunya. Berhubungan dengan replika bangkai kapal yang ada di depannya.

"Aku memberinya nama, sebab dia hidup dengan darahku." Wanita itu mengerjapkan matanya. Penuh penyesalan. "Aku memberikan dia nama Daviela. Menganggapnya seperti anakku sendiri, berharap dia bisa menjadi lilin ke dua yang menyala dengan terang. Namun, aku salah ...." Daeva tersenyum kecut. Tangannya terlipat ke belakang. Memahami keadaan adalah hal yang sulit.

"Daviela? Itu nama yang cantik, Nona."

"Wajahnya juga cantik. Ibunya selalu memuja itu kala dia melayaniku selama bertahun-tahun lamanya. Dia selalu bercerita padaku, menyanjung putrinya. Aku tak punya ibu semasa hidupku menjadi manusia .... jadi begitu lega dan bahagia mendengar manusia punya cinta yang begitu tulus. Mereka menyebutnya masih sayang dan cinta seorang ibu. Katanya itu tak bisa ditandingi."

Pak tua berbadan gempal di sisi Daeva mengangguk. Setuju, dia juga manusia. Hidupnya di dunia sudah berusia kepala tujuh. Menjadi pemimpin dan pemilik museum kota yang ramai dikunjungi kalau akhir pekan, membuatnya hidup dengan nyaman. Semuanya berkat Daeva. Dia yang memberi kepercayaan itu padanya.

"Aku juga punya seorang ibu, Nona. Dia meninggal sepuluh tahun silam. Dia mendoakan aku agar aku masuk surga, alih-alih berpikir doa untuk dirinya sendiri di akhir kalimat yang dia bisa ucapakan."

Daeva tersenyum miring. "Aku iri denganmu."

"Mr. Liam ...." Daeva memanggilnya lagi. "Gadis itu mengembara menggunakan kapal ini," ujarnya lagi. Kalimat itu membuat pria di sisinya terkejut. Ini pengakuan yang mengejutkan. Daeva tak pernah menceritakan apapun saat mampir ke sini. Dia yang sering mengeluh.

"Ini adalah kapal pengangkut budak," ujarnya. Memperjelas. "Gadis itu pergi sebagai budak?"

Daeva mengangguk. "Aku terkejut saat ibunya bilang kalau putri yang hidup atas tetesan darahku menghilang dan tak terdengar kabarnya lagi. Katanya dia bekerja sebagai pelayan di toko sutra. Namun, dia pergi pagi hari dan senja tak pernah kembali. " Daeva kembali bercerita. "Hingga aku berpikir bahwa dia kabur bersama saudagar kaya atau menjadi selir sebuah kerajaan yang menjadi penyintas antar benua."

"Bagaimana kau melacaknya?" Pak tua itu menyahut. Kisahnya begitu menarik. "Kau memasang semacam pelacak di tubuhnya?"

Perempuan yang berdiri di sisinya mengangguk lagi, tersenyum ringan kemudian. "Darahku adalah pelacak yang sempurna. Aku menemukan keberadaannya dan mengirim Decurion untuk menjemputnya."

"Namun?" Seakan tahu bahwa alur tak berjalan mulus, Mr. Liam menyanggahnya terlebih dahulu. "Hal buruk terjadi bukan?"

"Decurion datang terlambat, iblis jahat memakan tubuh Daviela dan menyerap darahku dalam tubuhnya. Menjadi lebih kuat setelah mendapat energi baru bercampur karunia dari Loralei."

Mr. Liam kini diam, kisahnya seperti dongeng menyeramkan, iblis pemakan manusia.

"Aku menemuinya ...." Daeva menghela napasnya panjang. "Berusaha mengambil darahku kembali. Namun dia terlalu kuat sebab itu. Aku kalah dan harus meninggalkan peperangan. Iblis itu menguasai tubuh anak yang aku bangkitkan dengan darahku. Menjadikannya sebagai pengikut dan menuliskan sebuah kitab tua yang hilang di balik reruntuhan bangunan tempat iblis itu mengambil energi manusia."

Liam tak mau membuka mulutnya. Dia tak tahu apa-apa, mungkin mendengar adalah hal yang paling tepat untuk menghargai keluh kesah Daeva.

"Setelahnya ... legenda menyebar ke segala penjuru kota. Tahun demi tahun berganti, manusia pertama menemukan kitab itu dan mengkajinya dengan baik. Separuh kitab berhasil dikaji, diterjemahkan dengan begitu sempurna. Aku mendapat salinannya dari mata Decurion."

"Kitabnya benar-benar masih ada?"

Daeva mengangguk. "Setelah manusia itu mengkajinya, sebuah manta dirapalkan untuk menyegel kitabnya agar iblis lain tak bisa mengambilnya bahkan manusia yang tak diberi akses tak bisa menyentuhnya." Ia menghela napasnya panjang untuk kesekian kalinya. "Jika saja aku tak memulai kisahnya dengan memberikan darah untuk menghidupkan gadis itu ... dunia tak akan terancam bahaya. Kitab itu tak akan pernah ada dan manusia tidak seharusnya mengkaji benda itu."

Liam menatap Daeva. "Apa nama kitabnya, Nona?"

Daeva menoleh, hendak menjawab. Namun, suara menyeru dari belakang tubuhnya.

"Althea-lux ...."

Keduanya sama-sama menoleh, menatap siapa yang baru saja datang. Delwyn.

... Bersambung ....