Olixir, Lembah perdamaian.
Angin berembus dengan kencang. Menyapu apapun yang ada di sekitarnya. Tak peduli itu adalah manusia, atau apapun yang dianggap tidak penting di dunia. Dedaunan jatuh dari atas pohon, musim gugur datang di tempat ini. Suasana yang khas, dingin.
Sang Agung Loralei duduk di singgasana. Menatap matahari terbit, lalu kembali terbenam. Bayangan hitam menemaninya sepanjang waktu. Decurion punya banyak wujud. Tak hanya satu, Sang Agung Loralei memiliki banyak Decurion di luar sana. Mengawasi dan mewakili, salah satunya adalah milik Daeva Desdemonav.
"Waktunya tidak banyak ...." Dia mulai berbicara. Suaranya menggema. Loralei tinggal di sebuah lembah, dalam legenda, lembah itu disebut sebagai Olixir. Sebuah tanah perdamaian. Mengusung konsep, tak mengakui dosa maupun pahala. Semua dianggap sama dan imbang. Tuhan yang menentukannya. Konsep pengadilan di sini jelas-jelas berbeda. Tak ada satu pun manusia yang bisa memahaminya. Hanya Sang Agung Loralei, atas kuasa sang pimpinan yang menentukannya. Mau dibawa kemana, Lembah penghakiman, Tanah Iblis Sheol? Tak ada yang tahu.
"Daeva terus bersikeras bahwa Delwyn Stewart adalah penerus yang paling baik." Decurion menyahut. Bayangannya agung menjadi mata untuk Loralei sekarang. "Haruskah aku membunuh anak manusia itu dan menunjukkan pada Daeva bahwa dia bukan manusia yang tepat?"
Sang agung Loralei diam. Pandangan matanya tertuju pada satu portal besar di depannya. "Bagaimana dengan Althea-lux?" Dia mengalihkan perhatian. Memang, Daeva yang sedang diawasi dari mata Decurion. Namun, pikirannya bukan mengkhawatirkan hal itu.
"Jika rahasia di dalam Althea-lux dibuka, maka iblis akan datang dan menghancurkan manusia." Suaranya menggema. Tegas memberi penekanan. "Katakan pada Daeva, dia tidak boleh membuang waktunya lagi jika tak ingin bernasib sama dengan Dierdre."
Decurion tak memberi jawaban. Dia terbang ke sana kemari. Mencari tempat yang pas, mungkin.
"Pergilah para Daeva, katakan padanya ... aku butuh darah gadis perawan yang mati malam ini."
Decurion diam. Di berhenti di sudut lembah. Mata hijau itu menatap ke arah Loralei. Penuh pertanyaan. Dia meminta Daeva untuk tidak ikut campur pada kematian manusia, tetapi perintahnya berkata lain.
"Hanya Daeva yang bisa mengambilnya." Loralei mengeluarkan sebuah guci berukuran kecil. Segenggam telapak tangan orang dewasa. Memberikan itu pada Decurion. "Berikan ini padanya. Dia akan mati pukul delapan malam nanti. Ambil darahnya dan tetap pastikan ruh ada di dalam gadis itu. Aku tak ingin berurusan dengan Aias."
Selepas menyelesaikan kalimatnya, Loralei lantas menghilang. Meninggalkan aroma wangi yang khas. Entah pergi kemana, jika Daeva mengiranya menganggur, maka dia salah besar. Banyak hal yang dilakukan olehnya belakang ini. Termasuk mencoba memecahkan mantra milik Advocata Ogirth.
••• Luxuria's Penthouse •••
Washington DC, Amerika Serikat.
Sepanjang jalan, tak ada yang berbicara. Delwyn duduk sebagai tukang stir di sini. Mengarahkan mobilnya untuk menyusuri padatnya jalanan kota. "Akan berbahaya jika ayahku tahu aku berkeliaran di Washington DC alih-alih menyembuhkan diri di Green Bank." Dia menyela keheningan yang ada. Melirik Daeva yang diam duduk menatap jalanan di luarnya. Membosankan. Daeva bisa melakukan teleportasi untuk sampai ke tempatnya.
"Kenapa kau diam saja? Merasa bersalah?" Delwyn terkekeh-kekeh. "Itu yang seharusnya kau rasakan sejak kemarin. Tepat saat membuatku malu di depan Areeta."
Daeva masih kokoh dalam diamnya. Perlahan-lahan bibirnya bergerak. Merasakan sesuatu yang memanggilnya. Sepersekian detik berlalu, bayangan hitam menghadang mereka. Seperti mendung. Namun, hanya milik Daeva dan Delwyn saja.
"Kenapa tiba-tiba gelap?" Delwyn heran. Memelankan mobilnya. Menerobos kabut hitam yang ada di depannya. Suasana berubah. Bukan lagi jalanan kota yang ramai. Seseorang membawa mereka ke sebuah jalanan sisi kota, yang jarang dilalui oleh orang banyak. Bukan Green Bank. Delwyn akan mengumpat mati-matian jika sihir Daeva membawanya pulang pergi ke Green Bank seenaknya begitu.
"What ...." Delwyn menghentikan mobilnya. Sekarang mereka bukan hanya menepi dari sisi jalanan kota. Mereka benar-benar berada di tempat yang asing. Di tengah pemukiman penduduk yang sepi. Orang-orang sudah beristirahat sekarang.
"Kau yang melakukan ini, Daeva?"
Daeva melepas sabuk pengamannya. Tak mau menjawab Delwyn. Dia turun dari dalam mobil. Melihat keadaan sekitar. Delwyn mengekorinya, meksipun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia kikuk dan bodoh jika sudah dihadapkan dengan urusan Daeva dan segala dunia sihirnya itu. Delwyn hanya bisa mengikuti saja. Itulah definisi pengikut di sini.
"Daeva!" Delwyn memanggilnya. Sekarang awan mendung menyertai. Sekelebat bayangan muncul dari dedaunan di atas sana. Membuat Delwyn terkejut bukan main. Bayangan itu menyambar tubuh Daeva. Melewatinya begitu saja.
"Kau tak apa?" tanya Delwyn berlari mendekat. "Sepertinya ada badai."
"Decurion," ucapnya dengan lirih.
"Decurion?" Delwyn mengulang. Akhirnya dia melihat itu! Decurion. Katanya bayangan hitam yang terwujud dengan mata hijau atau biru yang berpendar indah. Namun, jika ditatap terus menerus, maka itu akan berubah menjadi menyeramkan.
"Daeva!" Suara tiba-tiba saja menggema. Semua gelap, bak malam yang ditimpa malam lagi. Bayangan Delwyn seakan dilahap oleh Decurion. "Aku membawa kabar untukmu ...." Sekarang bayangan itu benar-benar muncul, menampakkan wujudnya. Benae kata Daeva, mata itu indah, berjubah tetapi tak ada raga di dalamnya. Hanya seperti jubah hitam terbang yang tak karuan. Delwyn tak bisa mendeskripsikan itu dengan baik. Baru kali ini dia melihat wujud seaneh itu.
"Loralei yang mengirimmu membuat kekacauan ini? Di mana kita?" tanyanya. Tak ada rasa takut, itu hanya dimiliki oleh Delwyn saja. Lututnya bergetar saat suara Decurion bergemuruh bak banjir bandang di depannya.
"Pukul delapan malam hari ini ...." Dia memulai. Entah itu tangan atau bukan, sebuah bayangan menyerahkan guci berukuran kecil pada Daeva. "Ambilah darah seorang gadis perawan yang mati malam ini," ucapnya. Bukan hanya Delwyn yang tak mengerti, tetapi juga Daeva.
"Aku disuruh mengambil ruh manusia? Itu berdosa." Daeva berdecak. "Loralei mulai membenciku? Aku juga tak mau berhubungan dengan Aias. Dia malaikat pencabut nyawa yang sombong. Aku tak kuat melihat wajah sombongnya itu."
Decurion memutar. Mengelilingi Daeva juga Delwyn di bawahnya. "Advocata Ogirth ...." Suaranya kembali menggema. "Sepertinya itu yang ingin dipatahkan oleh Loralei dengan menggunakan darah perawan yang mati tepat di pertengahan bulan akhir tahu. Waktunya sangat cocok, Daeva."
Daeva mengerutkan keningnya. "Kau gila?" Dia menggerutu. "Aku tidak mau. Cari iblis yang lain," katanya menolak.
"Amelinda ....." --baru saja Daeva ingin melangkahkan kakinya untuk pergi, tetapi kalimat itu menahannya.
Daeva menatap Decurion. Mengabaikan Delwyn yang memaksa untuk segera keluar dari bayangan hitam ini. "Madu surga?"
"Itu bayaranmu."
Daeva tersenyum kuda. "Really? Kau berjanji?"
Decurion diam. Menandakan bahwa itu bukan hal yang main-main. Semuanya atas perintah Sang Agung Loralei.
"Setuju!" katanya mengakhiri pembicaraan.