Daeva tersenyum ringan, api yang menyala di lilin ke lima, terlihat begitu indah dan besar. Cahayanya berkobar-kobar, menyiratkan keagungan. Hanya tinggal dua lilin yang ada di setiap sisi yang masih padam. Daeva berharap sebelum 1000 tahun kehidupan abadinya, dua lilin itu bisa menyala sekaligus. Mengakhiri semua penderitaan, anugerah, dan hadiah baik juga buruk yang diberikan Loralei padanya dulu.
Jajaran lampion indah menghias di atas cakrawala, menggantikan bintang dan bulan yang biasa menghias angkasa malam. Inilah Daviela. Dunia buatan mirip dengan aslinya. Semua yang dipandang mata oleh Delwyn tak ada yang nyata. Daeva sudah menjelaskan itu, hujan, badai, terik, dan segala jenis musim tak pernah ada di sini. Tak ada musim panas dengan terik yang menyengat, seakan membakar dan memanggang siapapun yang ada di bawahnya. Tak ada juga musim gugur yang sedikit dingin dengan dedaunan indah menyelimuti tanah. Musim dingin dan salju tak ada di sini. Bunga yang bersemi, bukan berarti musim semi datang. Di dalam kubah Daviela hanya ada satu waktu, satu tempat, dan satu suasana. Tergantung bagaimana Daeva menginginkan itu.
"Jadi ini adalah alam bawah sadarmu?" Delwyn mengganti Istilahnya, akan lebih menyenangkan jika dia benar-benar ada di dalam alam bawah sadar seorang iblis, seperti Daeva.
"Daviela adalah ruang imajinasi, aku membawa semua yang tak boleh diganggu oleh manusia dan apapun yang ada di dunia ke tempat ini. Lampiran dan lilinnya tak boleh dirusak."
"Ngomong soal lampionnya, siapa yang berhasil menerbangkan itu?"
Daeva diam sejenak. Ingatannya dibawa kembali, pada masa dunia belum terlalu modern. Semua lampion yang terbang di angkasa adalah semua doa yang dikirimkan oleh orang-orang untuk Daeva. "Pada malam di pertengahan akhir tahun, mereka yang mengabdi padaku, akan membuat perayaannya sendiri. Membeli ribuan lampion dan menerbangkan semuanya di atas angkasa."
"Mereka menerbangkannya di langit-langit dan lampionnya datang kemari sendiri?"
Daeva tersenyum miring. "Aku yang menariknya dan membawanya kemari. Aku mengumpulkan semua itu untuk memperindah Daviela."
"Jadi kau hanya butuh lilinnya?" Delwyn menyahut. Membuat sebuah kesimpulan yang terkesan terburu-buru. Namun, itu benar adanya.
"Lilin ini akan menerangi jalanku. Menuju kembali ke Lembah Penghakiman di Tanah Sheol. Lalu, untuk semua lampionnya ..." Daeva berhenti sejenak. Matanya memandang luas ribuan lampion yang menghalangi jarak pandangannya dengan langit gelap di atas sana. "Itu hanya akan memperindah dan membantuku jika aku beruntung."
Delwyn menarik napasnya dalam-dalam. Entah mengapa, semua keagungan yang dimiliki oleh Daeva seakan hilang begitu saja. Dia mirip wanita tua yang kesepian. Punya harapan, tetapi semesta enggan untuk mengabulkannya dengan mudah. Hidupnya pasti jauh lebih sulit dari ini.
"Bagaimana caraku menyalakan lilinnya?" Delwyn mengubah topik pembicaraan. Nada bicaranya sedikit naik, menghibur, menghanyutkan suasana aneh dan canggung di antara keduanya. "Aku tak punya pemantik sebesar itu untuk menyalakan apinya."
"Entahlah. Itu menyala sendiri setelah kematian orang-orang yang mengabdi padaku. Loralei memilih lima orang tertentu dari sekian banyak yang mengabdi padaku."
Pria itu mengerutkan keningnya. Tak mengerti, tentu saja. Semua yang berhubungan dengan Daeva terasa begitu memusingkan.
"Aku akan berusaha menyalakan itu dan mengirimmu ke alam yang lebih pantas. Mengakhiri kehidupan abadinya dan membuatmu tenang di sana," ujarnya dengan mantap. "Aku janji itu. Kau sudah membantuku. Aku merasa jauh lebih baik sekarang."
Daeva tersenyum tipis. "Kau akan kembali ke perusahaan besok?"
"Berapa hari aku sudah ada di sini?" tanyanya berbasa-basi. Takut kalau Daeva melakukan hal yang sama, seperti waktu itu. Dia disekap secara tidak langsung selama tiga hari. Tanpa Delwyn sadari. Kata Areeta, dia sudah menghilang selama satu minggu.
"Seharian penuh." Daeva menjawab, tersenyum aneh pada akhirnya.
Delwyn menganggukkan kepalanya. "Artinya aku harus pulang dan menemui ayahku untuk membicarakan rapat pemegang saham."
"Masukan ke sana, itu akan mengantar ke stasiun. Kau bisa naik kereta."
Delwyn mengangguk. "Terimakasih."
••• Luxuria's Penthouse •••
"Sama-sama. Senang berbisnis dengan Anda." Areeta tersenyum manis. Melepaskan jabat tangannya dengan pria berbadan besar yang datang untuk melihat-lihat museum sejarah miliknya. Dia seorang kepala dosen di bidang sejarah. Mengkaji benda-benda kuno nan antik seperti yang Areeta lakukan. Namun, tak sejeli dan tak sedalam Areeta. Namanya Tuan Willion Jose. Dia kerap disapa dengan sebutan Mr. Jose. Pria tampan berbadan kekar nan tinggi, dengan wajah barat dan mata biru yang khas. Hidungnya lancip berdiri tegap di tengah sepasang pipi tirus dengan garis rahang yang tegas. Matanya tajam, bak elang. Alisnya hitam legam menyiku di kedua ujungnya. Suara berat menjadi pesona meluluhkan kalau Mr. Jose berbicara. Sedikit menenangkan hati Areeta.
"Aku akan menemuimu lagi, Lady. Aku akan membicarakan ini dengan murid-murid ku untuk kelas minggu depan. Aku benar bahagia kau memberikan ijin dengan begitu mudah, Lady."
Areeta tersenyum manis. Kepalanya mengangguk mengiyakan. Pria ini benar-benar ramah dan pandai memulai topik pembicaraan. Pembawaan yang tenang dan santai, membuat Areeta betah berbicara dengannya.
"Tentu, Mr. Jose. Aku akan menunggu kabar baik dari Anda."
Percakapan berhenti sampai di sana. Seseorang datang menyela keduanya, membuka pintu di balik tirai besar yang ada di sisi Areeta dan Mr. Jose. Delwyn Stewart, sang kekasih.
"Delwyn?" Areeta menyipitkan matanya. Terkejut tiba-tiba saja Delwyn keluar dari sana. "Siapa yang mengijinkan kau masuk ke sini?"
Delwyn nampak linglung. Jujur saja, dia mempercayai Daeva untuk masuk ke dalam sebuah ruangan, katanya itu akan menghantarkan dirinya masuk ke dalam stasiun kereta. Namun, nyatanya tak begitu. Selepas ia melangkah masuk, Delwyn seakan dilahap oleh cahaya yang begitu terang, menyilaukan matanya. Ketika menembus itu, dia berakhir di tempat ini.
"Aku yakin, aku menguncinya lorongnya." Areeta mengimbuhkan. Pintu itu adalah jalan menuju ruang rahasia tempat Althea-lux di simpan. Tak ada yang boleh masuk dan keluar dari pintu itu tanpa seijinnya.
"Aku ...." Delwyn berpikir. Daeva sialan! Dia baru saja mengerjai dirinya? "Aku ... juga tak tahu."
Areeta tersenyum aneh. Melirik Mr. Jose yang ikut bingung dengan keadaannya. Tak mau berdebat di depan kliennya, Areeta mengabaikan sang kekasih sejenak. Fokus pada pria yang ada di depannya sekarang.
"Aku akan menghantar dirinya keluar, Mr. Jose." Areeta tersenyum ramah. Mempersilakan pria itu ikut dengannya. Meninggalkan Delwyn yang masih berdiri kokoh dengan ketidakmengertian dirinya saat ini.
"Aku salah melangkah?" Delwyn kembali menarik pintu yang ada di depannya. Melihat apa yang disembunyikan di balik pintu itu. Kali saja, dia bisa melihat Daeva berdiri dan tertawa terbahak-bahak.
Namun, itu kosong! Hanya ada lorong panjang dengan pintu besar di ujungnya. "Damn!"
.... To be continued ...