Daeva menutup pintunya dengan hati-hati. Kakinya melangkah keluar dari ruangan, kembali pada dunia nyata yang dihuni oleh manusia. Tatapan matanya menelisik, cahaya redup senja di luar sana menyambut kepulangannya dari tanah arwah. Daeva begitu lelah, mengembara ke sana kemari, berharap bisa bertemu Loralei pada akhirnya. Meksipun dia hanya mendapat harapan kosong tentang itu. Loralei bak 'manusia' sibuk yang mengurus akhir jaman. Dia tak bisa ditemui sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Hanya mengutus Decurion untuk berbicara dan menyampaikan pesan. Tak semuanya mendapatkan pintu untuk bertemu dengan Sang Agung Loralei.
"Aku pikir kau akan menginap." Seseorang menyahut keheningan. Daeva menatapnya. Delwyn duduk di bawah string lampu gantung di sudut ruangan. Memamerkan segelas anggur merah di dalam genggamannya.
"Sejak kau kau di sana?" tanya Daeva. Membuat langkah ringan menuju ke arah Delwyn, setiap langkah kakinya seakan punya medan listrik untuk menyalakan semua lampu di ruangan.
"Aku mencari tombol lampu ruangan ini, ternyata ada padamu?" Delwyn berbasa-basi. Kembali meletakkan secangkir wine di atas meja. Menyambut datangnya tuan rumah yang sejak tadi ia nanti-nanti.
"Kenapa tak pulang?" Mengabaikan pertanyaan dari Delwyn, Daeva fokus pada dirinya sendiri. Ia duduk di atas kursi. Tepat di depan pria yang kembali meneguk wine di dalam gelas. "Kau mulai betah tinggal di sini?"
Delwyn menganggukkan kepalanya. Tersenyum aneh. "Nyatanya tempat ini menyimpan banyak pesona luar biasa. Aku berkeliling dan menemukan semua yang tak aku temukan di kota besar."
Daeva menyeringai tipis. "Apa itu?" ujarnya sembari menarik botol wine bersama gelas kosong di sudut meja. "Anggur merah klasik?" tanyanya menebak asal. Anggur merah yang diminum Delwyn tentu diambil dari ruang penyimpan Daeva, dia sengaja tak menyediakan anggur mahal untuk Delwyn. "Anggur ini seharga dengan sepuluh rumah mewah."
"Ketenangan." Delwyn menjawab. Singkat, padat, dan tak perlu dipertanyakan lagi. "Aku mendapat itu. Jadi aku benar-benar tak mau pulang untuk sekarang."
Pembicaraan terhenti. Delwyn menatap Daeva yang hanya mengangguk-angguk. Tak ada yang ingin dia bicarakan lagi.
"Ngomong-ngomong, kau habis dari mana? Aku tak melihatmu ada di dalam sana tadi. Aku sudah mencari ke semua sudut Penthouse ini." Delwyn memutar pandangan matanya. Dia lelah mencari Daeva ke sana dan kemari, anehnya ia tak bisa menemukan Daeva di manapun. Lebih aneh lagi, saat melihar perempuan ini keluar dari ruangan yang ada di sana. Itu hanya gudang kosong tempat penyimpanan barang-barang antik milik Daeva. Delwyn tak berani menyentuh apapun di sana. Siapa pernah menyangka, jika semua benda punya 'pemiliknya' masing-masing. Semua yang ada di dalam Penthouse mewah ini bukan benda yang bisa disentuh oleh tangan kosong manusia biasa seperti dirinya. Dia harus jauh lebih waspada.
"Dunia arwah."
Delwyn menyipitkan matanya. Daeva tak sedang bergurau. Tak ada senyum bahkan tawa yang menyela. Yang ada, dia terlihat begitu lelah.
"Kau berlarian dengan pada arwah di sana?"
Daeva tersenyum tipis. "Aku bertemu dengan kakekmu." Daeva menyahut. Sekarang Delwyn terkejut mendengar itu. Tak bisa berkata apapun lagi. "Mr. Jeff Stewart adalah pengabdi yang paling berbeda dari semua yang sudah mengabdi padaku." Daeva melirih. Nada bicaranya tak sesuai dengan kalimatnya. Seakan dia tak mau membanggakan sang kakek.
"Kenapa nada bicaramu begitu? Kau bertengkar dengan kakekku?" Delwyn mencoba melucu. Akan tetapi itu tak mempan sama sekali. "Maksudku ... kau bahkan jauh lebih tua darinya. Bukan hal yang aneh jika kau mencintainya."
Daeva menundukkan pandangan sejenak. Helaan napas melepaskan keresahan. "Dia bertanya padaku ... kenapa aku tidak pernah membawa dirinya pergi ke ruang lilin dan lampion," imbuh Daeva. Memulai. Kalimatnya seperti teka-teki untuk Daelwyn. Penuh misteri. Dia tak bisa mencernanya dengan mudah.
"Kau punya ruang lampion? Semacam pameran?"
Daeva menatap Delwyn dengan serius. Setelah perjanjian itu ditandatangani, Delwyn adalah pengganti kakeknya sekaligus manusia kesekian kalinya yang mengabdi pada Daeva. Harapannya adalah, dia bisa menyelesaikan semua ini sebelum satu tahun terlewatkan begitu saja tanpa hasil yang memuaskan. Dia tak punya cukup waktu untuk berbasa-basi.
"Mau melihatnya?" tanya Daeva tiba-tiba. Delwyn diam. Menatapnya dengan canggung. Daeva terlalu banyak membuka pasal dirinya, meskipun mereka baru mengenal satu sama lain.
"Itu ruang yang sangat pribadi, mengingat kakekku tidak kau bawa ke sana. Kenapa kau mengajakku ke sana sekarang? Kit baru saling mengenal satu sama ...." Kalimat Delwyn menggantung. Angin kencang tiba-tiba saja menerpa dirinya. Dia berpindah tempat. Matanya mengerjap beberapa kali, mencoba menerima suasana baru yang ada di depannya.
Hanya dalam sekejap, Delwyn berdiri di depan sebuah patung berbentuk kepala rusa dengan tanduk banteng yang sedikit menyeramkan ditambah dengan air berwarna merah pekat, layaknya seperti darah tetapi tidak kental dan tidak berbau amis. Itu air yang normal.
Delwyn melirik Daeva yang berdiri tegap, sembari melipat tangannya di belakang punggung. Gayanya begitu khas dan elegan. Wajahnya cantik dengan tatapan mata yang tak pernah meragukan.
"K--kau menggali ruang alam bawah sadarku lagi?" Delwyn memutar tubuhnya, ia baru menyadari bahwa ini ruangan terbuka. Bukan tersembunyi di dalam bangunan, ini lebih mirip lapangan yang luas.
"Aku tak menyangka aku memikirkan tempat seindah ini." Delwyn kembali berdiri menghadap satu arah yang sama dengan Daeva. Dia takjub setelah melihat puluhan, ratusan, ah mungkin ribuan lampion terbang di atas sana menghias langit lepas.
"Ini ...."
"Ini adalah Deviela." Daeva menyela kegembiraan pria yang ada di sisinya. "Bukan alam bawah sadarmu. Ini adalah ruang lampion dan lilin yang ingin dilihat oleh kakekmu. Namun, aku tak pernah mengajaknya kemari."
"Daviela?" Delwyn mengulang. Mengejarnya dengan sedikit gagal. Logatnya tak sesempurna milik Daeva. "Kenapa kau tak memberi lihat ini pada kakekku? Kau juga bisa mengajaknya ke sini sekarang. Kau bisa memanggil arwah."
Daeva menghela napasnya panjang. Menyimpan berat hati di dalam sana. "Itu melanggar aturan, Delwyn. Sang agung Loralei tidak akan mengijinkan aku membawa arwah pergi dari tempatnya tanpa alasan yang jelas."
"Lalu kenapa kau mengajakku ke sini?"
"Kakekmu yang meminta. Katanya, biarkan cucuku melihat semua kebenaran pasal Daeva Desdemonav. Agar dia tidak ragu apapun dan bisa menyalakan dua lilin yang tersisa," ucapnya sembari menggerakkan jari jemarinya. Sihir keluar dari sela jari jemari cantik itu. Gerak tangannya begitu luwes, seakan sedang mengangkat sesuatu naik ke udara. Secara bersamaan, tujuh lilin keluar dari permukaan tanah, mengelilingi patung besar yang ada di depan mereka.
"Ribuan manusia mengabdi padaku. Namun, hanya orang-orang terpilih saja yang bisa menyalakan lilinnya, Daelwyn."
"Lalu lampionnya?"
"Hanya jika ketujuh lilin ini menyala, aku akan bisa terbang dan menjadi abu. Hukumanku akan selesai dan aku akan dikebumikan dengan layak. Entah surga atau neraka, bumi tidak akan menolakku lagi."
... To be continued ...