Cahaya merambah masuk melalui celah tirai yang terbuka. Suasana pagi yang khas. Delwyn bangun dari tempat tidurnya. Melirik jam digital berbentuk persegi panjangnya yang ada di sisi ranjangnya. Pukul tujuh lebihnya beberapa menit. Ia bangun, mengusap wajahnya dengan kasar. Tak menyangka dirinya akhirnya tidur di tempat orang lain. Terasa begitu nyenyak. Delwyn hampir lupa semua kejadian kemarin malam. Seakan semuanya kembali dimulai pagi ini.
Delwyn melangkah turun dari ranjang. Tatapan matanya tertuju pada meja makan dengan menu yang sudah tak sama lain. "Daeva menyiapkan semua itu?" gumamnya dengan lirih. Namun, Delwyn tak mau memperdulikan hal lain lagi. Dia memilih melanjutkan langkahnya. Berjalan ke kamar mandi dan membasuh dirinya.
••• Luxuria's Penthouse •••
"Daeva pergi?" Ia mengerutkan keningnya. Delwyn tak tahu kemana perempuan itu minggat pagi-pagi begini. Selepas menyarap, dia naik ke lantai atas. Tepatnya menuju ke tempat Daeva berada. Namun, anehnya tidak ada Daeva di sana. Tempatnya kosong. Seperti Daeva telah mengijinkan Delwyn untuk menggunakan sihirnya, pria itu berhasil baik lift dan turun ke lantai dasar. Normalnya dia bertemu banyak orang pagi ini.
"Kemana?" tanyanya. Penuh tanda tanya.
"Menemui seseorang."
Delwyn mengerutkan keningnya. "Dia punya teman?"
••• Luxuria's Penthouse •••
Daeva tertawa ringan. Menatap hamparan rumput sembari mendengarkan lelucon kuno milik pak tua yang ada di sisinya. Hawa dingin berembus, musim salju datang di tempat ini. Namun, anehnya ada bunga yang begitu cantik bermekaran di depannya. Tak ada yang tanya, sesosok arwah memanggilnya kemari. Dia ngotot ingin berbicara dengan Daeva, meskipun itu sedikit melanggar perjanjian dengan hukum arwah yang berlaku.
"Kau memanggilku hanya ingin mengatakan lelucon pasal kuda pacu yang kau punya di masa lalu?" Daeva akhirnya menyela. Pak gendut di sisinya menggelengkan kepala. Dia sudah selesai dengan leluconnya.
"Aku dengar dari Loralei bahwa cucuku akhirnya kau yang kau pilih. Kenapa bukan putraku?" Pria itu menoleh. Menatap ke arah Daeva. "Karena Delwyn jauh lebih tampan dan segar ketimbang Halmet?" Tawa kembali muncul.
Tak akan marah, dia paham benar seperti apa pak tua itu. Candaannya memang selalu begitu. Dia selalu menyuruh Daeva untuk segera menikah dan punya keluarga. Bukan mengakhiri kehidupannya, tetapi untuk mengakhiri kesendiriannya meskipun Mr. Jeff Stewart --pria yang ada di sisi Daeva sekarang, tahu bahwa Daeva tak perlu melakukan itu. Dia bukan manusia, dia bukan perempuan biasa yang bisa melanjutkan hidup dengan memiliki keturunan. Tujuannya hidup adalah menebus tujuh dosa dan meminta doa seseorang yang tulus untuk menyalakan lilin abadi dan menenangkan lampion dengan doa di dalamnya.
"Karena aku melihat dirimu ada di dalam dirinya. Bukan putramu. Halmet tak punya jiwa yang aku butuhkan. Sekuat apapun aku berusaha, dia tak akan menjadi manusia yang bisa menerbangkan lampion untukku." Daeva menoleh. "Terimakasih untuk semua pengabdianmu, Mr. Jeff. Aku mendapat satu lilin yang menyala lagi. Aku berharap, Delwyn membuka dua jalan yang tersisa dan aku bida mengakhiri semuanya."
Pria yang dipanggil Mr. Jeff mengangguk. Wajahnya berseri, pengabdiannya untuk Daeva tak berakhir di dunia saja. Semua kebaikan yang ia punya, membawanya dengan mudah melewati Tanah Sheol.
"Aku yang harusnya berterimakasih padanya, Daeva. Kau telah memilih cucuku untuk mengabdi padamu. Itu artinya dia akan mendapat pintu yang baik seperti diriku sekarang."
Daeva tersenyum manis. Mengalihkan pandangan matanya. "Jadi tempat seperti ini yang selalu ingin kau datangi?" Daeva menyela. Mengubah topik pembicaraan mereka. "Musim salju dengan ribuan bunga warna-warni yang menghias. Itu mustahil," ungkapnya lagi. Terkekeh.
"Semua mimpi manusia tak ada yang tidak mustahil, Daeva. Semua mimpi manusia adalah konyol."
Daeva mengangguk dengan ringan. "Tentu saja. Itulah kenapa mereka menyebutnya dengan mimpi."
Daeva menarik napasnya dalam-dalam. Menahannya sejenak lalu menghembuskan itu dengan ringan. Mencoba untuk menikmati suasana imajinasi milik Mr. Jeff.
"Delwyn bukan pria yang mandiri, Daeva. Jadi tolong bantulah dia sesekali." Pria itu kembali mengimbuhkan. "Dia adalah pria bodoh yang berusaha menunjukkan diri pada ayahnya, bahwa dia adalah orang yang pantas."
Daeva terkekeh. "Bukankah itu terlalu jelas?" Ia menoleh. Menatap Mr. Jeff. "Itulah mengapa aku berkata bahwa dia mirip denganmu, Mr. Jeff."
Keduanya tertawa. Pembicaraan terhenti sejenak. Melepaskan semua beban. Seakan tak pernah terjadi sesuatu hal yang buruk di antara keduanya sebelum ini.
"Ngomong-ngomong ...." Daeva kembali menyela. Suara ringan itu menarik fokus Mr. Jeff. Mereka tak bisa menghabiskan waktu hanya untuk tertawa. Mengunjungi arwah sama halnya dengan mengunjungi tahanan kota. Semuanya punya waktu yang berjalan. Daeva tak seharusnya berada di sini bersama Mr. Jeff. "Bagiamana bisa kau membujuk Loralei untuk memanggilku datang kemari? Dia bukan tipe iblis yang lunak."
Mr. Jeff tersenyum lega. "Aku punya satu permintaan yang bisa dikabulkan sebagai hadiah atas mengabdi padamu, Daeva."
Daeva mengerutkan keningnya. "Dan aku menggunakan itu?" tanyanya. Sedikit panik, itu seperti mendapat satu jarum emas di atas ribuan tumpukan jerami.
Mr. Jeff mengangguk. "Memangnya aku mau minta apa lagi? Aku sudah mati sekarang. Setelah ini, akan ada hari penimbangan dosa dan pahalaku. Katanya ... kebaikan akan dilipatgandakan oleh Loralei dan membantuku di hadapan Pimpinannya. Setalah itu aku akan diadili dan menentukan berapa hari aku harus masuk neraka atau menetap di surga. Itu alurku sekarang, Daeva."
"Kau bisa meminta bertemu bidadari yang cantik atau semacamnya. Itu akan menghiburmu sejenak," ucap Daeva. Kalimatnya membuat Mr. Jeff tertawa renyah.
"Aku sudah tua, Daeva. Lagian, bertemu denganmu dan mengobrol membawamu ke tempatku adalah impianku sejak dulu. Ini jauh lebih dari cukup."
Daeva menghela napasnya. Ia kembali menatap apapun yang ada di depannya sekarang. "Halmet beruntung punya ayah sepertimu. Jika tidak, dia tak punya membawahi puluhan induk perusahaan dan hidup dengan penuh martabat."
"Itu semua berkat dirimu, Daeva."
Daeva menyunggingkan senyum. "Aku hanya menjalankan perintah. Kau membantu menyalakan lilin ke lima. Jadi aku harus membayar itu."
"Kapan lilinnya menyala, Daeva?"
Daeva menoleh.
"Aku tidak pernah melihat lilin dan lampion terbang yang selalu kau ceritakan."
Daeva memutar tubuhnya, menghadap Mr. Jeff. Ingatannya kembali pada malam kematian pria itu. Penuh harapan di dalam hatinya, tak mau berpuluh-puluh tahun menyia-nyiakan waktu dan kesempatan dengan 'memelihara' orang yang salah, malam itu Daeva berdiri di dekat sebuah danau kecil, di kelilingi tujuh lilin besar setinggi gajah berdiri. Lilin kelima adalah fokusnya malam itu. Harapannya was-was, kala itu tak kunjung menyala. Namun, saat dia ingin melangkah pergi, api muncul dari sumbu lilin itu. Begitu besar, bahkan menerangi hampir seluruh ruangan yang ada. Apinya begitu cantik dan hangat.
Daeva menunjuk sisi kepalanya. "Aku menyimpannya di dalam sini."
... To be continued ....