Chereads / Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone / Chapter 7 - 6 | Penthouse Owner

Chapter 7 - 6 | Penthouse Owner

"Luxuria's Penthouse ... kau berpikir itu nama tempat ini?" Daeva menyeringai. Baru saja ia ingin membuat jantung Delwyn berhenti berdetak sebab terkejut mendengar nama tempat yang baru saja disebut olehnya. Delwyn hanya diam, membisu tak mampu mengumamkan kata apapun lagi. Duduk di depan Daeva membuatnya terus mengingkatkan kewaspadaan. Sejak kali pertama datang, Delwyn merasa ada yang aneh dengan tempat ini. Tak wajar, semuanya bagaikan ilusi mata yang menipunya.

"Ini adalah rumahku." Daeva menyebut pada akhirnya. "Melihat ekspresi wajahmu saat aku mengatakan Luxuria's Penthouse, kau pasti pernah mendengar legenda tentang itu. Aku juga orang yang modern. Mengikuti setiap alur kehidupan manusia di bumi."

"Kenapa kau terus berbicara seolah-olah kau bukan manusia?" Delwyn mengernyit. "Kau berdiri tadi, kakimu menapak lantai dan bahkan kau punya bayangan di cermin. " Pria itu menoleh. Menatap pantulan wajahnya bersama dengan Daeva di sisi ruangan.

Tentang Delwyn Stewart. Putra sulung dari pengusaha kaya yang namanya digadang-gadang sebagai pebisnis paling sukses sepanjang tahun. Perusahaan besar yang dibangun di dua kota ternama di Amerika Serikat adalah kepunyaan dari keluarga Delwyn. Pria itu mendapat bagian yang tak kalah penting. Sebuah perusahaan big data terbesar, yang merupakan anak cabang dari perusahaan induk di New York City. Orang menyebutnya sebagai Stewart Resource Ltd.

Delwyn bukan sembarang pria yang datang kemari tanpa tujuan yang jelas, pria tampan berwajah khas orang dari Benua Amerika itu datang sesuai dengan arahan dari ayahnya. Selepas sang kakek meninggal, Delwyn harus menurut semua kata pria tua itu, meskipun ia tak begitu akur dengannya. Jika bercerita pasal paras yang tampan, pesona hidung mancung yang berdiri di tengah sepasang alis cokelat tua dan manik mata tajam adalah lukis paling penting untuk pria ini. Kesan sempurna ada pada fisiknya. Semua wanita yang menatap Delwyn tak akan pernah kecewa.

Daeva tersenyum miring. Malas menjelaskan banyak hal. Toh juga, dari semua kabar yang didengar olehnya, Delwyn bukan pria agamis atau semacamnya. Ia tak pernah mempercayai pasal sihir atau mukjizat. Semuanya harus bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Daeva mengangkat tangannya. Menjentikkan jari jemarinya dengan kuat. Tiba-tiba saja angin berembus dengan kencang. Membawa Delwyn masuk ke sebuah ilusi yang luar biasa mengejutkan.

Pria itu kalang kabut saat tahu dimana dia sekarang. Puncak tertinggi Gunung Everest. Delwyn mengenal tempat ini sebab Areeta selalu menceritakan pesona yang didapat kalau memandang dunia dari ketinggian yang tak terkira.

"What the ...." Delwyn ingin menumpahkan segala umpatannya. Namun, itu terhenti di dalam tenggorokannya kala melihat Daeva sudah duduk dengan pakaian tebal yang membungkus tubuhnya. Sedangkan Delwyn? Dia bak orang gila yang datang ke musim dingin menggunakan kaos berbahan murahan.

Delwyn mulai menggigil. "K--kenapa kau membawaku ...." Belum sempat di berbicara, Daeva kembali menjentikkan jari jemarinya. Membawa Delwyn turut serta pergi ke tempat yang jauh lebih baik. Padang rumput yang luas.

Delwyn menghela napasnya beberapa kali. Jari jemarinya kuat meremas sisi sofa di sampingnya. Ini gila! Angin besar baru saja melahap tubuhnya dan membawanya keliling dunia secara tidak langsung.

"Kau masih menganggap diriku sebagai manusia?" Daeva tersenyum picik. Menarik perhatian Delwyn yang masih gelagapan di tempatnya. "Aku akan melakukannya sekali lagi, tebak kita akan pergi ke mana kali ini."

"Wait!" Delwyn berteriak. Menghentikan gerak jari Daeva yang baru saja ingin kembali membawanya. "Stop, please. Itu membuatku mual."

Daeva mengangguk. "Baiklah jika itu yang kau mau."

"Who are you?" Delwyn memulai kembali. "Kau mengenal ayahku?" tanyanya lagi kala Daeva hanya diam, menatapnya dengan puas. Delwyn seperti orang kikuk sekarang.

"Biarkan aku bertanya terlebih dahulu, Mr. Delwyn." Daeva bangun dari tempat duduknya. Berjalan menjauh dari sofa. Wanita itu membuka portal di depannya, menampilkan sebuah ruangan minim cahaya dengan rak besar yang menjadi dindingnya. Mirip seperti perpustakaan.

Delwyn ikut masuk ke sana. Mengabaikan padang rumput yang baru saja menyejukkan hatinya dalam sekejap mata.

"Kau bisa membuat portal? Who are you?" tanya Delwyn lagi.

"Siapa Areeta?" tanyanya tiba-tiba. Kala nama sang kekasih disebut, Delwyn nampak terkejut. Wanita itu tahu banyak tentangnya, mungkin.

"Kenapa kau tanya tentang dia?"

Daeva kembali memainkan jarinya. Lampu-lampu di ruangan menyala mengikuti gerak ujung jari yang berputar dengan ringan. Layar proyektor besar kini ikut andil dalam pembicaraan mereka. Membantu Daeva menjelaskan maksudnya.

"Areeta Bellanca, seorang ahli sejarah yang punya banyak catatan mengejutkan. Siapa dia?" Layar besar di depan Delwyn menampilkan wajah sang kekasih. Semua biodata mengikuti di sisinya.

"Dia kekasihku, why?" Delwyn nampak bingung bukan main. Entah harus bagaimana sekarang. Ia bahkan tak tahu, dimana dirinya sekarang. Dengan keyakinan penuh, Delwyn tahu bahwa pintu di sana bukan pintu keluar yang akan membawanya pada tempat yang ia kenali.

"Kau akan menikah dengannya?" tanya Daeva lagi.

Delwyn mengangguk dengan samar. "Itu rencananya. Kenapa kau bertanya? Dan juga ... who are you?" Delwyn terus aja mencoba untuk membuat wanita aneh di depannya itu mengaku. Setidaknya ia hanya ingin tahu, manusia atau makhluk macam apa yang sedang membawanya jalan-jalan sekarang.

"Aku ingin bertemu dengannya."

"Lakukan itu sendiri. Areeta selalu bertemu dengan orang baru. Katakan saja jika kau tertarik pada benda sejarah dan ingin membeli atau mengkajinya. Areeta pasti akan membantu."

Daeva tersenyum tipis. "Aku tak bisa melakukan itu."

"Kenapa?" sahutnya. Menatap aneh wanita di depannya. "Karena kau bukan manusia? Kau tak bisa keluar dari rumahmu? Jangan-jangan kau adalah ...." Delwyn diam. Memutus kalimatnya. Tatapan mata itu menyapu setiap bagian tubuh Daeva. Ramping dan tinggi, kulitnya putih bersih sedikit pucat. Wajahnya cantik seakan awet muda. "Vampire?"

Daeva terkekeh. "Aku bukan nyamuk penghisap darah, Mr. Delwyn."

"Vampire bukan nyamuk. Dia monster penghisap darah yang—"

"I know it." Daeva menyahut. Sekarang wanita itu menutup pembicaraan. "Pertemukan aku dengan kekasihmu. Buatlah dia datang kemari," pungkasnya meminta. Daeva berjalan ke arah pintu besar di depannya. Hampir saja dia ingin meninggalkan Delwyn di sini, jika saja pria itu tak meraih tangannya. Delwyn membuat Daeva terkejut bukan main. Sebelum ini tak ada orang yang berani menyentuhnya. Lebih tepatnya tak ada orang yang bisa melakukan hal itu.

"Kau menyentuhku?" tanah Daeva melirik tajam.

Delwyn melepaskan genggaman tangannya perlahan-lahan. Kepalanya manggut-manggut tak ada sanggahan. "Kenapa memangnya? Aku akan menjadi batu setelah ini?" Dia terkekeh. Sedang melucu, lama sudah tak melakukan ini pada orang lain.

Daeva menghela napasnya. "Ini yang pertama dan terakhir. Jika melakukan hal seperti ini lagi, aku terpaksa untuk menggambil tanganmu."

"Lagian, mau kemana kau? Kau belum menjawab pertanyaanku."

Daeva diam. Menatapnya dengan malas.

"Siapa kau dan dimana kita sekarang? Aku ingin pulang." Pria itu menatap sekitar. Semuanya terasa tak masuk akal di sini.

"Bangunlah aku akan menjawabnya setelah kau bangun." Ia mendorong pintu besar di depannya. Cahaya putih masuk, menyeruak ke dalam ruangan. Silaunya menutup mata Delwyn.

"Kita sedang berada di alam bawah sadarmu."

... Bersambung ...