Chereads / Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone / Chapter 8 - 7 | 100 Years of Solitude

Chapter 8 - 7 | 100 Years of Solitude

Delwyn memandangi permukaan cangkir teh di depannya. Airnya tenang, bahkan tak bergerak sedikitpun. Daeva yang duduk di depannya sesekali mencuri pandang Delwyn. Bukan pasal wajahnya yang elok, ayu rupawan. Bahkan Delwyn akui, kecantikannya tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Semuanya terasa sangat sempurna dan tidak masuk akal.

Ia mendesah panjang. Gusar, tatapannya nanar kemudian. Kini pria itu menggigit ujung kukunya beberapa kali, mencoba berpikir. Namun, sekuat apapun Delwyn menggunakan isi kepalanya hingga mau meledak rasanya, ia tak bisa menemukan jawaban yang pas. Siapa wanita muda yang duduk di depannya sembari menyilangkan kakinya rapi itu? Setan? Delwyn tak pernah menyangka kalau setan punya perwujudan sesempurna ini.

"Jadi ...." Delwyn memulai. Menarik fokus Daeva. "Kau baru saja membawaku pergi ke alam bawah sadarku dan berbincang di sana?" Ia menunjuk sisi kepalanya. Entahlah, Delwyn tak tahu, bagian kepala mana yang menyimpan memori ingatan di alam bawah sadar. Dia bukan seorang psikiater, Delwyn adalah pebisnis. Semuanya hanya pasal teori dan materi serta fakta lapangan. Jujur saja, sebelum ini Delwyn tak benar-benar percaya pada semua ilmu psikologi manusia. Itu hanya sugesti.

Daeva mengangguk-angguk. Santai, tak berdosa. Meskipun secara terang-terangan wanita ini baru saja menculik jiwa Delwyn tanpa pria itu sadari. "Hanya itu yang bisa membuatmu paham siapa aku."

Delwyn diam sejenak, kembali memutar otaknya. "Kau adalah ...." Ia menjeda, sedikit ragu sebab ekspresi wajah Daeva berharap banyak padanya. "Peri mimpi?"

Daeva mengerutkan keningnya. "Kau pikir aku Oneiroi?" Daeva berdecak. "Derajatku lebih tinggi."

Delwyn masih tidak mengerti. Jika ditelisik, Daeva membawanya ke semua tempat yang ingin Delwyn kunjungi. Semua yang ada di dalam alam bawah sadar menyimpan memori apa yang ia cita-citakan.

"Lalu, semacam pengawal alam bawah sadar? Like a witch?" Delwyn mengernyitkan dahi. "Doctor Strange?"

"Aku tidak menonton film manusia," jawab Daeva dengan tegas. Wanita itu bangkit. Berjalan menuju sudut ruangan. Di sana, ada jam besar yang sudah terlihat begitu tua. Anehnya, Daeva menyimpan benda itu padahal semua yang ada di ruangan ini terlihat begitu mewah.

"Jika tak menonton, tau dari mana tentang Dr. Strange? Dia karakter penyihir yang paling keren." Delwyn ikut berbasa-basi. Dia bangun dari tempat duduknya menyusul Daeva. "Bukan?" tanyanya lagi. "Lalu, kau seperti dewa?"

Daeva melirik kedatangannya. Tak mau memberikan jawaban. Hanya diam, menghela napasnya panjang. "Sesuai perjanjiannya, Delwyn." Ia memulai. Jarinya berputar di depan jam besar di depannya itu. Membuat Delwyn mulai menerka-nerka apa yang ingin dilakukan oleh Daeva sekarang. Menyihir? Mau jadi benda apa? Tumpukan emas?

"Ayahmu mengirimkan dirimu ke sini bukan tanpa sebab. Dia ingin aku menyembuhkan penyakit anehmu itu," ujarnya. Membuat Delwyn kini kembali tersadar akan tujuan awalnya.

"Benar juga!" Ia menjentikkan jarinya. Ingat sesuatu. "Ruangan ini punya banyak listrik dan listrik akan menciptakan medan listrik bukan? Seharusnya aku merasa mual, pusing, atau semacamnya." Delwyn memutar bola matanya. Menyapu setiap sudut ruangan. "Bagaimana aku bisa sembuh dalam satu jam saja?"

"Kau pikir kau berada di sini baru satu jam?" Daeva terkekeh, menghina. Pria ini seperti orang bodoh. Kini Daeva mulai kecewa dengan salah satu keturunan Mr. Jeff Stewart. Pria ini seperti tidak berguna.

"Aku baru datang sekitar satu jam yang lalu."

Daeva memutar tubuhnya. Menatap pria yang ada di depannya sekarang. "Tiga hari, ini adalah waktu yang kau habiskan untuk menjelajahi alam bawah sadarmu. Kau benar-benar menikmatinya."

"What the ...." Delwyn melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu di sana berhenti. Jamnya rusak begitu saja.

"Tak ada yang boleh bergerak di tempat ini tanpa seijin ku, Delwyn. Bahkan itu waktu sekalipun." Daeva menarik tangan Delwyn. Tersenyum manis padanya. Sekarang Delwyn mulai takut dengan wanita ini.

Daeva mengetukkan ujung kuku runcingnya di atas jam mewah milik Delwyn. Waktu kembali berputar, dipercepat beberapa detik sebelum akhirnya berhenti dan menunjukkan waktu yang sebenarnya. Benar, tiga hari berselang.

"Bagaimana bisa ...."

Daeva terus menatapnya. Seakan menikmati kebingungan pria ini. "Semua yang ada di sini hanya ilusimu, Delwyn. Aku mengabulkan semua yang manusia inginkan dalam alam bawah sadar mereka."

Delwyn mengerutkan keningnya.

"Itulah yang dikatakan dalam kitab Althea-lux."

"Althea-lux?" Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Nama itu tak asing.

"Benar, kitab yang sedang diteliti oleh kekasihmu. Itu sebabnya aku memintamu untuk membawanya ke tempat ini dengan sukarela." Daeva menyahut, seakan tahu apa isi hati dan kepala pria di depannya.

"Untuk apa?"

Daeva membuat portal besar di depannya. Membuat Delwyn merasakan hawa dingin yang merambah masuk ke dalam ruangan. Daeva berniat membawa Delwyn masuk ke dalam portal itu. Namun, Delwyn menolak. Pria itu hanya diam, menatap Daeva yang melangkah masuk ke dalam portal.

"Kemarilah. Aku akan menunjukkan sesuatu."

Delwyn menggeleng dengan ringan. "Aku tak mau dibawa ke alam bawah sadar lagi dan menghabiskan waktu berhari-hari di sana. Aku juga tak suka musim dingin, Daeva. Aku harap kau mengerti itu."

Daeva tersenyum tipis. Ia menjentikkan jarinya. Mengubah suasana di dalam portal sekejap mata, layaknya sebuah background yang diganti dalam sekali geser layarnya saja. "Ini bukan alam bawah sadarmu. Namun, tempat tersembunyi yang aku bangun untuk melindungi kepunyaanku."

Delwyn masih bergeming. Ia tak paham apapun. Semua yang dikatakan oleh wanita ini sungguh penuh dengan teka-teki gila.

"Kau akan tahu jika kau ikut denganku. Kita akan memperpanjang perjanjiannya, Delwyn."

"Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan, Daeva! Perjanjian apa?" Delwyn merentangkan tangannya. Seakan sedang memamerkan sesuatu. Ia tak punya apapun sekarang. Benar-benar kosong! Dia bak orang kikuk yang berdiri di tengah kerumunan kota.

"Kakek buyutmu yang memulai ini. Sumpahnya adalah seluruh keturunan sampai aku dilayani dengan baik."

Delwyn kembali mengerutkan kening. Heran. Kalimat itu membuatnya berpikir mengenai hal yang berhubungan dengan seksual. "Kau ingin aku melayanimu di tempatmu?" tanyanya dengan ragu.

Daeva mengangguk dengan polosnya. "Aku ingin dipuaskan. Aku tak ingin kecewa dalam hal apapun. Aku berinvestasi banyak pada keluarga Stewart selama berpuluh-puluh tahun. Aku tak mau merugi Delwyn."

Delwyn benar-benar tak habis pikir. Wanita ini unik dari berbagai macam sudut pandang. Tak ada satupun yang masuk ke dalam logikanya.

"Masuklah. Kita harus memulainya. Jangan membuang waktuku sebab urusanku banyak hari ini. Aku sudah menemanimu selama tiga hari. Kini saatnya kau menemaniku."

Pria itu mulai melangkah dengan ragu. Ia tak akan menemukan jawaban apapun jika hanya diam saja di tempatnya. Sejauh dia hidup di bawah lingkup sang ayahanda, pria tua itu tak pernah sembarang memilih tempat untuk Delwyn. Artinya, meskipun dia tak begitu akur dengan Delwyn, ayahnya pasti akan memilihkan tempat yang pas dan berguna untuk dirinya.

... To be continued ....